JAKARTA – Bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November lalu menyisakan duka mendalam. Total 1.140 jiwa melayang, dengan rincian 513 jiwa di Aceh, 365 jiwa di Sumatera Utara, dan 262 jiwa di Sumatera Barat. Tragedi ini meluluhlantakkan sendi kehidupan masyarakat di sepanjang wilayah terdampak dan kembali mengingatkan urgensi kesiapsiagaan menghadapi bencana di Indonesia, negara yang rawan bencana akibat letak geografisnya di “cincin api pasifik”.
Indonesia telah memiliki payung hukum yang kuat, yakni UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan, yang menjadi panduan kerja BNPB dan BPBD selama ini. Secara paralel, dunia internasional mengadopsi Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015–2030 (SFDRR).
Meskipun UU Kebencanaan bersifat mengikat secara nasional, Kerangka Sendai berfungsi sebagai panduan global non-mengikat yang diadopsi 187 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Kerangka ini lahir pasca-tragedi gempa dan tsunami dahsyat di Jepang pada Maret 2011, yang menewaskan lebih dari 15.000 jiwa, dan menekankan pendekatan komprehensif dari pencegahan hingga pemulihan.
Gempa di Palung Jepang yang terjadi dengan kekuatan 7,2 Skala Richter (SR) yang memunculkan tsunami setinggi 10 meter, menggulung sisi timur Pulau Honshu dan menewaskan lebih dari 15.000 jiwa. Untuk pertama kalinya Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 yang terbentuk dari hasil konsultasi antar pemangku kepentingan resmi, sekarang kerangka itu menjadi acuan sejumlah negara dalam menangani bencana. Sekarang aturan itu diadopsi 187 negara anggota PBB, dilatarbelakangi tragedi gempa dan tsunami dahsyat yang melanda Jepang pada Maret 2011.
lokasi banjir di Aceh (Antara)
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 menguraikan tujuh target yang jelas dan empat prioritas tindakan untuk mencegah risiko bencana baru dan mengurangi risiko bencana yang ada: (i) Memahami risiko bencana; (ii) Memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana; (iii) Berinvestasi dalam pengurangan bencana untuk ketahanan; dan (iv) Meningkatkan kesiapan bencana untuk respons yang efektif, dan untuk “Membangun Kembali Lebih Baik” dalam pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kerangka kerja ini bertujuan untuk mencapai pengurangan risiko bencana dan kerugian yang signifikan dalam hal nyawa, mata pencaharian, dan kesehatan, serta aset ekonomi, fisik, sosial, budaya, dan lingkungan dari individu, bisnis, komunitas, dan negara selama 15 tahun ke depan.
Kerangka kerja ini bertujuan untuk mencapai pengurangan risiko bencana dan kerugian yang signifikan dalam hal nyawa, mata pencaharian, dan kesehatan, serta aset ekonomi, fisik, sosial, budaya, dan lingkungan dari individu, bisnis, komunitas, dan negara selama 15 tahun ke depan.
Bentuk perbaikan pasca banjir bandang mencakup pemulihan awal (rehabilitasi) seperti pembersihan lumpur, bantuan logistik, layanan kesehatan, dan trauma healing, serta rekonstruksi jangka panjang berupa pembangunan hunian tetap yang lebih aman dan infrastruktur tangguh bencana, termasuk relokasi ke zona aman dan perbaikan lingkungan, dengan fokus pada pemulihan ekonomi, sosial, serta peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana mendatang.
Tahap Rehabilitasi (Pemulihan)
Pembersihan & Layanan Dasar, membersihkan lumpur dari fasilitas umum, perkantoran, dan rumah warga dengan bantuan alat berat serta memulihkan akses transportasi dan air bersih.
Bantuan Kemanusiaan, penyaluran logistik (makanan, air bersih), bantuan medis, dan kegiatan trauma healing (pemulihan psikologis) bagi korban, terutama anak-anak.
Bantuan Ekonomi: Pemberian bantuan tunai untuk renovasi ringan atau modal usaha agar masyarakat bisa memulai kembali aktivitas ekonomi. Kesehatan, penyediaan fasilitas kesehatan, edukasi sanitasi, dan pencegahan penyakit pasca-banjir yang bisa timbul.
ilustrasi penanganan bencana (Ist)
Tahap Rekonstruksi (Pembangunan Kembali)
Pembangunan Hunian, pembangunan rumah tetap (huntap) di zona aman, jauh dari bantaran sungai atau lereng curam, dan hunian sementara (huntara) untuk masa transisi.
Infrastruktur Tangguh, pembangunan kembali infrastruktur (jembatan, infrastruktur listrik, jaringan air) dengan standar yang lebih kuat terhadap bencana.
Penataan Ruang, penetapan zona merah (larangan hunian tetap) dan zona aman, serta penetapan jalur hijau. Peningkatan kapasitas, pelatihan sumber daya manusia dan penyusunan rencana kedaruratan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Menurut Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, biaya membangun kembali Aceh dan Sumatera pasca banjir bandang diperkirakan menelan sekitar 51,82 T. Untuk pembangunan kembali dan pemberian santunan korban yang mengalami musibah meninggal atau hilang,
Menteri Menko PMK, Pratikno mengatakan pemerintah memastikan memiliki anggaran yang memadai untuk memulihkan kondisi rumah yang rusak akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera.
“Presiden juga menjamin bahwa pemerintah mempunyai anggaran yang memadai untuk menyelesaikan ini dengan sebaik-baiknya,” Kata Pratikno usai RTM, Rabu kemarin. Dalam rapat tersebut, pemerintah berencana memberikan sejumlah bantuan kepada masyarakat terdampak bencana, baik pembuatan hunian sementara dan hunian permanen. Bahkan alokasi santunan korban yang meninggal dan hilang kepada ahli warisnya.
Perubahan Jangka Panjang
Perubahan Material Bangunan, masyarakat cenderung membangun rumah dari bata dengan pondasi lebih tinggi karena khawatir banjir terulang. Perubahan Perilaku, peningkatan kesadaran akan risiko bencana, namun kadang diiringi perubahan sosial seperti memudarnya gotong royong.
Strategi terintegrasi melibatkan semua pihak (pemerintah, swasta, filantropi, publik) dengan kolaborasi erat, komunikasi transparan, dan tujuan bersama, fokus pada pendekatan berlapis seperti Trisula KPK (Penindakan, Pencegahan, Pendidikan) untuk isu korupsi, atau GRC (Governance, Risk, Compliance) untuk bisnis, serta pemanfaatan teknologi digital dan kepemimpinan yang kuat, demi mencapai hasil yang holistik, efisien, dan berkelanjutan dalam berbagai sektor seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau pemberantasan korupsi.
Strategi Terintegrasi Sinergi Multi-Sektor
Kondisi Aceh Utara (Antara)
Untuk memastikan dana triliunan rupiah tersebut tepat sasaran dan bebas dari penyelewengan, pemerintah mengadopsi strategi terintegrasi yang melibatkan empat elemen kunci:
Pemerintah: Menjadi regulator, fasilitator, penyedia regulasi, dan penjamin akses setara.
Sektor Swasta: Berkontribusi melalui inovasi, investasi, dan implementasi praktik terbaik (misal: GRC).
Lembaga Filantropi: Memberikan dukungan spesifik, menjembatani kesenjangan, dan memperkuat program di komunitas.
Masyarakat : berperan aktif dalam partisipasi, pelaporan, dan edukasi publik.
Pendekatan Holistik (Trisula KPK) untuk Integritas dalam Pemulihan
Dalam menghadapi tantangan pemulihan pascabencana seperti yang digambarkan dalam konteks ini, penting untuk mengadopsi pendekatan holistik guna memastikan integritas dan akuntabilitas dalam penggunaan sumber daya. Pendekatan ini mencakup beberapa lini utama:
Penegakan Aturan: Memastikan penerapan peraturan yang tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau pelanggaran dalam proses pemulihan.
Perbaikan Sistem: Melakukan perbaikan sistematis melalui transparansi dalam proses pengadaan dan pengelolaan anggaran, penerapan manajemen risiko yang terstruktur, serta pemanfaatan teknologi digital untuk akuntabilitas.
Peningkatan Kesadaran: Melakukan kampanye dan edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dalam pemulihan bencana dan risiko penyimpangan.
Langkah ini bukan sekadar membangun kembali gedung yang runtuh, melainkan memperbaiki pola pikir dan perilaku kolektif. Perubahan material bangunan ke arah yang lebih tangguh dan peningkatan kesadaran risiko menjadi kunci agar tragedi serupa tidak berulang di masa depan.
Dengan kolaborasi erat antar-pemangku kepentingan, Indonesia diharapkan mampu mengubah sisa-sisa kehancuran di Sumatera menjadi momentum kebangkitan ekosistem yang lebih tangguh terhadap bencana.
Pemanfaatan Teknologi dan Kolaborasi Strategis
Pemanfaatan teknologi digital, seperti platform berbasis online untuk transparansi dan manajemen risiko, dapat membantu menghindari hambatan informasi antar-lembaga dan mempercepat pengambilan keputusan yang akurat.
Selain itu, kolaborasi strategis antar-pihak yang terlibat sangat krusial. Dukungan dari berbagai pihak dan pembangunan kemitraan yang kuat dapat mempercepat proses pemulihan dan inovasi yang dibutuhkan.
Melalui strategi terintegrasi yang melibatkan berbagai sektor dan pendekatan holistik ini, pemulihan pascabencana diharapkan tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi secara menyeluruh, menuju hasil yang lebih efisien dan berkelanjutan.
