Penambang Bukit Jaddih Bangkalan Keluhkan Kendala Mengurus Perizinan

Penambang Bukit Jaddih Bangkalan Keluhkan Kendala Mengurus Perizinan

Bangkalan (beritajatim.com) – Perwakilan penambang Bukit Jaddih, Jev Vanand, menyatakan pentingnya percepatan dan kejelasan proses perizinan tambang. Pernyataan disampaikan menyusul tragedi meninggalnya enam santri di bekas galian C area pertambangan Kabupaten Bangkalan.

Dalam penyampaiannya, Jev menekankan bahwa para penambang sebenarnya sejak lama berusaha mengurus perizinan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan perubahan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.

Ia menyebut seluruh proses mulai dari rekomendasi tata ruang, WIUP, eksplorasi, laporan tahunan, hingga pascatambang telah dijalankan.

Namun, proses tersebut terganjal birokrasi yang berubah-ubah akibat perpindahan kewenangan dari kabupaten ke provinsi, lalu ke pusat, dan kembali lagi ke provinsi. Akibatnya, sejumlah izin sempat mati dan perlu diajukan ulang.

“Seakan-akan kami ini tidak pernah mengurus izin. Tidak. Sejak 2018 kami terus mengurus, tapi peralihan kewenangan membuat semuanya ribet,” ujarnya, Kamis (27/11/2025).

Menurut Jev, insiden tewasnya enam santri di bekas galian C harus menjadi momentum untuk mempertegas pentingnya penambangan yang legal dan terkontrol.

Ia menyebut, jika perizinan berjalan lancar, maka pengawasan pemerintah dan kewajiban pascatambang dapat terlaksana dengan baik. Sehingga risiko bahaya di area galian dapat diminimalisasi.

“Kalau semuanya legal dan teradministrasi, pemerintah bisa mengawasi, kita bisa bekerja sesuai aturan, dan wilayah galian tidak menjadi lokasi terbengkalai yang membahayakan masyarakat,” kata Jev.

Ia menegaskan para penambang justru tidak ingin beroperasi secara ilegal. Sebab legalitas memberi kepastian bagi perusahaan, pemerintah, dan keamanan lingkungan.

Jev meminta pemerintah daerah dan Forkopimda Bangkalan untuk memfasilitasi komunikasi resmi antara penambang dan pemangku kebijakan, terlebih setelah munculnya sorotan publik atas keselamatan kawasan tambang.

“Kami mohon pemerintah daerah memfasilitasi pertemuan. Jangan sampai kami dianggap tidak tertib, padahal perizinannya yang tersendat karena birokrasi,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa ribetnya perizinan tidak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga kehidupan masyarakat sekitar tambang. Banyak warga bergantung pada pekerjaan turunan tambang seperti pembuat batu bata, pembuat bator, hingga penyedia limestone untuk kebutuhan pembangunan.

“Kami juga berkontribusi ke PAD. Jadi kita ini membantu pemerintah, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Saat ini, kata Jev, hambatan terbesar berada pada perizinan lingkungan di tingkat Provinsi Jawa Timur. Beberapa izin yang sebelumnya sudah terbit kini direvisi kembali karena perubahan aturan baru.

“Ini yang membuat kami seakan-akan seperti belum mengurus apa-apa. Padahal semua proses kami ikuti,” katanya. [sar/but]