JAKARTA – Akademisi dari Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI), Darmawan Purba menilai persoalan batas wilayah di Indonesia bukan hanya perkara administrasi dan harus diatur melalui regulasi yang lebih rinci.
Sebelumnya, usulan agar perbatasan antara wilayah diatur secara rinci dalam sebuah undang-undang khusus mengemuka di parlemen agar sengketa rebutan empat pulau antara Pemprov Aceh dan Sumatera Utara tidak terulang kembali.
Sumut dan Aceh memperebutkan Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan yang ada di perbatasan kedua provinsi. Sengketa empat pulau muncul setelah terbit putusan Kemendagri yang mengalihkan pengelolaan administrasi empat pulau itu dari Aceh ke Sumut.
Menurut Darmawan, kasus sengketa antara Aceh dan Sumut merupakan salah satu contoh nyata yang menunjukkan bahwa perbatasan masih menjadi titik rawan dalam relasi antara provinsi atau antara kabupaten dan kota. Tapi dia mengingatkan agar pengaturan lebih rinci mempertimbangkan muatan UU lain yang sudah ada sebelumnya.
“Kalau tidak, hal itu bisa bertabrakan dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori atau aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah,” ujarnya, Minggu 22 Juni 2025.
Dia menerangkan, beberapa aspek yang mesti dijadikan dasar dalam pengaturan batas wilayah. Pertama, aspek yuridis mengacu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Pembentukan Daerah dan peraturan perundangan terkait penataan ruang dan administrasi kependudukan.
Penyempurnaan UU, juga perlu menyertakan lampiran batas wilayah secara kartografis serta koordinat geospasial yang akurat dan mutakhir. Aspek historis perbatasan juga perlu dimuat untuk jadi acuan dalam menentukan batas wilayah.
“Menggali sejarah pemekaran atau pembentukan wilayah, termasuk dokumen-dokumen seperti besluit Belanda, peta lama, atau keputusan administratif pada masa lalu. Ketiga, aspek geospasial, harus berdasarkan data dan peta geospasial yang telah disahkan oleh Badan Informasi Geospasial dan berstandar nasional,” jelas Darmawan.
Hal lain yang harus dipastikan adalah aspek partisipatif. Penyusunan detail perbatasan antarwilayah harus melibatkan pemerintah daerah terkait, masyarakat lokal, dan tokoh adat agar tidak menimbulkan konflik sosial. Selain itu, aspek sosial ekonomi juga harus diperhatikan agar batasan daerah tidak merugikan secara ekonomi kepada masyarakat, khususnya dari sisi pelayanan publik dan ekonomi lokal.
“Ini menyangkut tentang bagaimana pemerintah daerah mengelola rumah tangganya sendiri. Apalagi jika di kemudian hari ada perbatasan wilayah yang memiliki sumber daya potensial. Ini ditakutkan terjadi konflik,” tutup Darmawan.
