Jalanan Kashgar yang bersejarah di kawasan gurun di China sebelah barat dikenal sebagai tempat lahirnya budaya Uyghur. Di tempat ini terdapat”Kota Kuno” yang belakangan ramai dikunjungi turis.
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar bangunan terbuat dari batu bata khas kota tua ini dihancurkan pemerintah China karena kekhawatiran gempa bumi, meski sudah bertahan selama hampir dua ribu tahun.
Kelompok aktivis Uyghur mengatakan penghancuran kota tua ini sebagai sebuah”genosida budaya.”
Di tempat ini terdapat banyak kios yang menawarkan suvenir, seperti magnet kulkas, perhiasan murah, dan instrumen musik tradisional, sementara pengunjung bisa menaiki kereta listrik melewati kerumunan atau mengenakan kostum tradisional Uyghur untuk dipotret di masjid.
China mengatakan lebih dari 180 juta turis datang ke provinsi Xinjiang sepanjang tahun ini, karena penawaran diskon dari pemerintah China.
Pos-pos pemeriksaan sudah tidak ada lagi, tapi diganti dengan jaringan kamera dengan teknologi pengenalan wajah.
Ini jadi termasuk salah satu bentuk pengawasan yang menurut laporan PBB tahun lalu sebagai “bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan”.
‘Rebranding besar-besaran’
Selama beberapa tahun, wilayah Xinjiang ditutup dari sebagian besar media dunia, di tengah kampanye pemerintah China untuk membasmi ekstremisme di kalangan penduduk Uyghur dan minoritas Muslim lainnya.
Tindakan keras ini terjadi setelah puluhan tahun terjadinya kerusuhan, termasuk yang pernah terjadi di ibu kota Urumqi, menewaskan ratusan orang pada tahun 2009 dan serangan mobil terhadap pejalan kaki di Lapangan Tiananmen di Beijing pada tahun 2013, yang menewaskan lima orang.
Ketika serangan pisau dan bahan peledak di stasiun kereta Urumqi membayang-bayangi kunjungan Presiden Xi Jinping ke provinsi tersebut pada tahun 2014, ia memerintahkan para pejabat untuk “menyerang dengan keras” sebagai bentuk melawan terorisme.
Sejak itu, sejumlah akademisi, peneliti, jurnalis, dan pakar hukum mendokumentasikan pelanggaran yang meluas yang dilakukan pemerintah, termasuk dikirim ke kamp, kerja paksa, dan kebijakan untuk mencegah kelahiran.
Amerika Serikat menyebut tindakan keras tersebut sebagai “genosida”, meski Australia belum menggunakan kata yang menggambarkan usaha pemusnahan etnis tersebut.
China awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp itu, meski kemudian menyebut semua “pusat kejuruan”ditutup pada tahun 2019.
Saat ini provinsi Xinjiang sedang memasuki kondisi “normalisasi”, sementara pada saat yang sama rebranding atau upaya mengubah citra Xinjiang sedang dilakukan besar-besaran.
Tur di Xinjiang yang diatur
ABC diundang dalam tur media ke Xinjiang yang diselenggarakan dan dikurasi oleh pemerintah China untuk memamerkan apa saja yang ditawarkan di provinsi tersebut.
Namun tidak ada satu pun pejabat yang mau diwawancara.
Kami dibawa ke sebuah taman kanak-kanak Uyghur, di mana para siswa membacakan ayat-ayat dalam bahasa Mandarin di kelas, kemudian mereka menari di taman sambil diiringi musik tradisional.
Ada sebuah pabrik yang sedang berkembang pesat milik pebisnis lokal, di mana satu dari lima pekerjanya disebut berlatar belakang minoritas Muslim.
Di tempat pengemasan susu kami bisa mengambil gambar pekerja melalui dinding kaca saat mereka memantau produksi.
Dan pusat-pusat pedesaan dengan mural berwarna-warni bergambar kolam ikan menggambarkan gambaran kehidupan desa yang harmonis, tetapi penduduk desa yang sebenarnya sangat sedikit.
“Perubahan di Xinjiang sungguh luar biasa,” kata Nie Zhaoyu, seorang kader desa dari Ximen kepada ABC.
“Lalu lintas, jalan raya, kehidupan, lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat yang meningkat Kita bisa melihat senyum bahagia di wajah masyarakat.”
Tur tersebut, yang berlangsung selama seminggu diikuti sekitar 20 jurnalis dari seluruh dunia, diawasi dengan ketat.
Kami hanya diberikan waktu sedikit untuk berbicara langsung dengan penduduk setempat di tengah kesibukan program tur.
Di Urumqi,pusat aksi kerusuhan di masa lalu, kami diizinkan berjalan-jalan dan mengambil gambar tanpa batasan, boleh juga lewat tengah malam, dan tanpa pengawasan.
Keluarga Uyghur tampil santai sambil menikmati makanan kebab dan otak domba di pasar malam yang ramai.
Mereka yang kami ajak bicara mengatakan kota ini aman dan kehidupan mereka baik-baik saja.
Namun permintaan kami ditolak saat ingin melihat salah satu bekas kamp, di mana lebih dari 1 juta orang diyakini dikurung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Sosok pria dan kameranya
Dalam tur tersebut, ABC dan salah satu media dari Amerika Serikat mendekati seorang penjual suvenir yang mengaku pernah menghabiskan waktu di kamp tersebut.
Dia bukan bagian dari tur yang sudah diatur.
Ketika kami mulai mewawancarainya, pria lain yang belum pernah kami temui muncul dengan kamera, berdiri di samping kami dan merekam setiap jawabannya.
Imamu Maimaiti Sidike, ayah dengan tiga anak, tidak menunjukkan tanda-tanda terintimidasi saat dengan tenang menggambarkan “ideologi agama yang sangat radikal”yang membuatnya dipenjara selama tujuh bulan.
“Saya tidak mengizinkan istri saya bekerja,” katanya.
“Saya percaya jika kami menghabiskan penghasilannya, kami akan ke neraka dan memaksanya untuk tinggal di rumah. Saya juga mempromosikan nilai-nilai ini kepada orang-orang di sekitar saya.”
Dia membantah adanya penganiayaan di fasilitas kamp tersebut, dengan mengklaim kalau ia mendapat makan dengan baik, bisa bermain catur dan membaca buku dan bahkan diizinkan pulang pada akhir pekan.
“Setelah belajar, saya menyadari bahwa pandangan agama radikal merugikan orang. Saya tidak lagi memiliki pola pikir seperti itu. Saya bisa bergaul dengan orang-orang dari etnis dan agama apa pun.”
Komentar tersebut sesuai dengan narasi yang ditetapkan pemerintah, menurut Peter Irwin, Associate Director untuk penelitian dan advokasi di lembaga Uyghur Human Rights Project (UHRP).
“Mereka memakai narasi ini karena takut dan ancaman hukuman yang selalu ada karena melanggar aturan Orang-orang sangat takut untuk mengatakan hal yang salah, bertemu orang yang salah, atau berkomunikasi dengan orang dari luar negeri,” jelas Peter.
“Mereka menahan orang-orang karena mengekspresikan nilai keagamaan yang paling mendasar Memiliki Al-Quran di rumah bisa membuat Anda ditahan selama 10 tahun. Apakah itu masyarakat yang normal?”
Kebebasan beragama ‘tak ada sama sekali’
Di Kashgar hari ini, bendera China berkibar di atas kubah masjid yang runtuh.
Suara adzan pun tak lagi terdengar.
Jenggot panjang dan kerudung sulit ditemukan.
Kami tidak dapat menemukan siapa pun yang tahu di mana bisa membeli Al-Quran.
Masjid Id Kah yang berusia 600 tahun dan bisa menampung5.000 jemaah Muslim, kini hanya jadi objek wisata utama.
Pemandu kami awalnya tidak ingin kami masuk saat waktu salat, namun akhirnya mereka mengizinkannya.
Pada hari kami berkunjung, beberapa orang sedang salat,kebanyakan dari mereka adalah warga lanjut usia dan tidak satu pun yang berusia di bawah 50 tahun.
Imam masjid, Maimaiti Jumai mengatakan kepada kami kalau ia “sangat puas”dengan upaya pemerintah China untuk membasmi ekstremisme.
“Upaya yang dilakukan negara kami dalam menindak ekstremisme, menurut saya, menjadi contoh bagi dunia,”ujarnya.
Hal serupa juga terjadi di institut Islam Xinjiang di Urumqi, di mana calon Imam berikutnya diberikan pelajaran bahasa Mandarin, di bawah bimbingan direktur Abdureqip Tumulniyaz.
“China, Xinjiang, kami tidak akan membiarkan [ekstremisme] mengakar,” katanya kepada ABC.
Ketika ditanya mengapa hanya ada sedikit tanda-tanda keberadaan Islam di Xinjiang, ia mengatakan ketaatan beragama sudah terlalu berlebihan sebelum pemerintah China turun tangan.
“Orang-orang salat di jalan, memblokade mobil;mereka sembahyang di rumah sakit, sehingga dokter tidak dapat membantu pasiennya; juga di pesawat sampai tidak bisa lepas landas.”
Menyebut klaim tersebut sebagai sesuatu yang “tidak masuk akal”, Peter Irwin juga mengatakan UHRP sudah mendokumentasikan penghancuran ribuan masjid serta penahanan atau penghilangan lebih dari 1.500Imam Uyghur dan tokoh agama lainnya.
“Para Imam dicopot atau ditahan atau dipenjara dan para Imam yang tersisa hanya diperbolehkan menyampaikan khotbah yang sejalan dengan apa yang dikatakan pemerintah China,”katanya.
“Jadi kebebasan beragama tak ada sama sekali dan sudah banyak digantikan oleh sesuatu yang bisa dinikmati turis.”
Terputus dari keluarga mereka
Dorongan besar pariwisata yang dilakukan Partai Komunis China di Xinjiang menjadi pukulan bagi warga Uyghur di seluruh dunia yang tidak bisa berbicara lagi dengan keluarga mereka di kampung halaman, apalagi mengunjungi mereka.
Yusuf Hussein meninggalkan Xinjiang pada tahun 1999 dan sekarang tinggal di Adelaide, ibukota Australia Selatan.
Dia menjaga kontak rutin dengan keluarganya di Xinjiang, menelepon untuk mengobrol hampir setiap minggu.
Namun pada tahun 2017, tahun ketika kamp penahanan bagi warga Uyghur mulai beroperasi, ia tak bisa lagi melakukannya.
“Setelah itu, saya tidak mendengar lagi kabarnya. Mereka tidak mengangkat telepon,” ujarnya.
Tahun lalu, dia mendapat kabar buruk.Ayahnya meninggal tiga bulan sebelumnya.
“Itulah satu-satunya kabar yang saya terima. Dan tidak memberikan rincian apa pun apakah [ayah saya] sakit atau berada di kamp konsentrasi atau di mana,” katanya.
Museum mengerikan di Xinjiang
Seperti kehancuran akibat Revolusi Kebudayaan pada tahun 1960an dan pembantaian Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, China tampaknya memulai kampanye kolektif untuk melupakan tindakan keras di Xinjiang.
Sebuah museum di ibu kota Urumqi, yang mengirim pesan soal “Perang Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang”, menguraikan secara rinci periode kerusuhan berdarah di provinsi tersebut.
Bahkan menampilkan video slow-motionyang mengerikan dari sandera yang dibunuh oleh teroris ISIS di Suriah, untuk menunjukkan “pengaruh asing”yang menular keXinjiang.
Ada puluhan senjata, pisau, dan bom yang dipajang.
Kemudian, terjadi perubahan nada yang mengejutkan, panel gambaran keharmonisan dan kemakmuran Xinjiang saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Tindakan keras yang sudah dilakukan selama satu dekade terhadap penduduk Uyghur disebut dalam museum sebagai “instrumen hukum yang kuat”, meski menurut para aktivis merupakan upaya untuk menghapus seluruh budaya.
“Hasil yang bermanfaat sudah dicapai,”bunyi kutipan dalam museum tersebut.
Artikel ini diproduksi Erwin Renaldi dari laporan dalam bahasa Inggris
Lihat juga Video ‘Ilmuwan Dibalik Kapal Selam China yang Capai Laut Terdalam di Bumi’: