Pemerintah Abai Reformasi Polri
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KEBERADAAN
frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
political will
yang memadai dari pemerintah.
Putusan MK
semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
political will
, di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Pemerintah Abai Reformasi Polri
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)