Jakarta, CNBC Indonesia – Dominasi Starlink milik SpaceX sebagai layanan internet berbasis satelit mendapat ancaman dari China. Negara kekuasaan Xi Jinping tersebut mulai kencang menggenjot proyek internet satelit di orbit rendah Bumi (LEO).
Sebagai informasi, saat ini Starink memiliki hampir 7.000 satelit aktif yang melayani sekitar 5 juta konsumen di lebih dari 100 negara, menurut SpaceX. Layanan tersebut bertujuan mengalirkan internet berkecepatan tinggi di area-area remot yang belum terjangkau infrastruktur internet konvensional.
SpaceX menargetkan ekspansi megakonstelasinya menjadi 42.000 satelit. Sementara itu, China berambisi memiliki 38.000 satelit yang tersebar di tiga proyek internet LEO-nya, masing-masing dinamai Qianfan, Guo Wang, dan Honghu-3.
Selain Starlink, perusahaan Eropa Eutelsat OneWeb juga sudah meluncurkan lebih dari 630 satelit LEO. Amazon juga merencanakan konstelasi LEO dalam skala besar yang dinamai ‘Project Kuiper’ dengan lebih dari 3.000 satelit.
Namun, hingga kini Amazon baru meluncurkan dua prototipe satelit. Pertanyaannya, dengan kompetisi yang sangat tajam, apa alasan China rela menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk membuat megakonstelasi?
Steve Feldstein dari Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan Starlink telah menunjukkan kemampuannya membawa akses internet ke masyarakat di pelosok dunia. Di saat bersamaan, China selama ini terkenal dengan kebijakan penyensoran ke masyarakatnya.
Untuk itu, Feldstein menilai kemampuan Starlink menjangkau masyarakat di pelosok menjadi ancaman bagi kebijakan penyensoran China.
“Jika Starlink bisa menyediakan konten tak bersensor ke masyarakat China atau masyarakat di negara sekutu China, hal ini akan menjadi akhir dari rezim penyensoran. Untuk itu, China perlu memberikan alternatif,” kata Feldstein, dikutip dari CNBC International, Senin (16/12/2024).
Hal tersebut diamini Blaine Curcuo, pendiri Orbital Gateway Consulting. Ia mengatakan China bisa mempromosikan akses internet pembeda ke masyarakat di pelosok di beberapa negara.
“Ibaratnya, China bisa mengatakan ke pemerintah beberapa negara bahwa mereka memang tak secepat [Starlink] dalam menjangkau pasar. Namun, mereka memiliki keunggulan dalam menyensor konten yang diakses masyarakat di beberapa wilayah,” Curcio menjelaskan.
Para ahli menilai konstelasi China memang tak akan dipilih oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), Eropa Barat, Kanada, dan sekutu mereka. Namun, banyak pula negara-negara yang memiliki nilai dan norma serupa China akan senang dengan layanan yang ditawarkan negara tersebut.
“Rusia misalnya. Selain itu Afganistan dan Suriah juga belum dijangkau Starlink. Ada banyak juga bagian Afrika yang belum tercakup,” kata Juliana Suess dari German Institute for Internatonal and Security Affairs.
Suess menambahkan bahwa 70% infrastruktur 4G di Afrika telah dibangun Huawei yang merupakan raksasa teknologi asal China. Jadi, untuk menggelontorkan internet berbasis satelit China di wilayah tersebut dinilai bakal lebih mudah.
Selain memiliki pengaruh geopolitik, proyek konstelasi internet China juga dinilai krusial untuk meningkatkan keamanan nasional, terlebih ketika infrastruktur internet konvensional di darat kerap terganggu selama masa perang.
“Memiliki senjata berbasis satelit dipandang sebagai keuntungan besar bagi militer. Menurut saya, China melihat peluang itu sehingga mau berinvestasi untuk tujuan keamanan nasionalnya,” kata Feldstein.
(fab/fab)