Usai menduduki Kota Aleppo dan mengusir pasukan Presiden Suriah Bashar Assad, milisi Islam Sunni Hay’at Tahrir al-Sham atau HTS, berjanji tidak akan merundung minoritas di wilayah yang kini berada di bawah kendali mereka.
HTS, yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Amerika Serikat (AS) dan Dewan Keamanan PBB, bercokol di utara Suriah serta di Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, dan kini dikabarkan mulai bergerak ke arah Hama.
“Ketika berhasil mengambil alih Aleppo, mereka meyakinkan anggota kelompok minoritas bahwa mereka akan mengizinkan mereka hidup berdampingan,” kata Chrissie Steenkamp, seorang profesor madya Perubahan Sosial dan Politik di Universitas Oxford Brookes Inggris, kepada DW.
“HTS memang suka menggambarkan diri mereka sebagai pihak yang tidak terlalu menindas kelompok minoritas dan agama lain,” kata Steenkamp. Sebagai konsekuensi dari perang saudara di Suriah selama hampir 14 tahun, tidak ada statistik yang akurat tentang minoritas etnis dan agama di Suriah.
Namun, perkiraan yang ada sangat mirip, yaitu populasi Suriah yang berjumlah hampir 25 juta orang terdiri dari sekitar 70% Muslim Sunni, 13% Muslim Syiah yang sekitar 10% di antaranya adalah Alawi, serta minoritas Kurdi, Kristen, dan Druze di negara tersebut.
Ruang bagi kebebasan beragama
Selama lima tahun terakhir, HTS, yang diterjemahkan menjadi “Organisasi Pembebasan Levant,” bertindak sebagai pemerintahan de facto di benteng oposisi utama terakhir Suriah di wilayah barat laut, Idlib, dengan sekitar empat juta warga Suriah yang sebagian besar pengungsi.
“Selama ini, HTS telah membuka diri bagi minoritas agama,” kata Jerome Drevon, analis International Crisis Group yang telah bertemu dengan para pemimpin HTS, kepada DW.
Misalnya, komandan HTS telah bertemu dengan perwakilan Kristen untuk menyampaikan kekhawatiran mereka, katanya.
“Masalah utamanya adalah tentang perumahan, karena banyak rumah warga Kristen di wilayah Idlib telah disita oleh para pengungsi dari tempat lain di Suriah,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa “HTS telah mengembalikan rumah dan tanah tersebut kepada pemiliknya yang beragama Kristen.”
Sejak 2018, umat Kristen di wilayah Idlib juga dapat merayakan hari raya keagamaan mereka seperti Paskah atau Natal. “Hak-hak mereka telah membaik secara signifikan,” kata Drevon, menyoroti proses serupa dengan minoritas Druze.
Sasaran strategis hanya untuk Suriah
HTS pro-Turki, yang didirikan pada tahun 2011, awalnya terkait dengan militan al-Qaeda. Namun, kelompok tersebut terpecah lagi karena HTS tidak berupaya membangun kekhalifahan global.
“Mereka ingin mengambil alih rezim Suriah dan menciptakan rezim baru sebagai gantinya,” kata Drevon kepada DW.
“Untuk ini, mereka telah menyatakan kesiapan mereka untuk menciptakan hubungan strategis dengan Turki, Irak, dan hanya beberapa hari yang lalu, mereka bahkan memiliki komunike yang mengatakan bahwa mereka dapat memiliki hubungan dengan Rusia juga,” tambahnya.
Rusia, serta Iran, adalah sekutu utama Assad sementara Turki termasuk di antara pendukung kelompok pemberontak oposisi. “Namun, semua ini tidak mengubah fakta bahwa ada banyak jihadis di jajaran HTS,” kata analis Timur Tengah Guido Steinberg kepada media Jerman ARD awal minggu ini.
“Oleh karena itu, kita harus berasumsi bahwa HTS juga bertindak seperti kelompok jihadis yang melakukan tindakan kekerasan terhadap minoritas agama dan etnis,”
Menurut asumsinya, kekuasaan HTS bisa membuahkan “rejim teror bagi penduduk, terutama di distrik Aleppo yang juga dihuni oleh warga Kristen dan Kurdi.”
Kelam catatan HAM
Hiba Zayadin, seorang peneliti senior di Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara dari Human Rights Watch, meragukan bahwa HTS menganut corak Islam yang toleran.
“Ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kaum minoritas termasuk Syiah, Kurdi, dan Alawi saat ini, berasal dari catatan hak asasi manusia yang buruk dari HTS dan faksi-faksi Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki, yang telah bergabung dengan HTS dalam operasinya baru-baru ini,” kata Zayadin kepada DW.
“Pelanggaran sebelumnya terhadap kedua kelompok tersebut termasuk penganiayaan terhadap umat minoritas agama dan etnis termasuk kekerasan, pemindahan paksa, serta penghancuran warisan budaya dan agama,” tambahnya.
Namun, kaum minoritas dan aktivis politik atau pembangkang Suriah tidak hanya terancam di wilayah yang diperintah oleh pemberontak Islam. “Di wilayah yang dikuasai pemerintah, mereka yang dianggap menentang rezim, termasuk karena mereka berasal dari wilayah yang sebelumnya atau saat ini dikuasai oposisi atau yang merupakan bagian dari sekte terpinggirkan, termasuk Sunni dan Kurdi,” kata Zayadin.
“Mereka berisiko mengalami penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan penindasan yang berkelanjutan,” imbuhnya. Dia tidak melihat banyak harapan untuk fajar baru hak asasi manusia di Suriah.
“Dinamika sektarian secara signifikan membentuk pengalaman hidup kelompok etnis dan agama yang sering terperangkap dalam siklus ketakutan, pengungsian, dan penindasan,” katanya.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris