Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat

Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat

Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
TAHUN
2026 akan menandai persimpangan penting dalam sejarah hukum Indonesia. Untuk pertama kalinya, negara benar-benar beranjak dari bayang-bayang kolonial ketika KUHP lama digantikan oleh KUHP yang disusun anak bangsa.
Namun, pada saat negara menyiapkan langkah besar itu, ada satu lubang besar yang belum ditutup: ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
Di tengah semangat menegakkan hukum yang lebih manusiawi, negara justru belum menghadirkan payung hukum bagi salah satu komponen bangsa yang paling tua dan paling rentan: masyarakat hukum adat.
KUHP baru memberi ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukum adat. Namun, ruang itu kini sekadar ruang kosong.
Hakim diminta menerapkan
living law,
sementara negara belum pernah memberikan kepastian tentang siapa
masyarakat adat
, apa hukum adatnya, di mana yurisdiksinya, dan lembaga adat mana yang berwenang menjalankan penyelesaian adat.
Negara menginginkan hakim bekerja dengan peta, tetapi petanya belum pernah ditarik garisnya.
Mendefinisikan masyarakat hukum adat bukan persoalan sederhana. Para akademisi berbicara mengenai persekutuan hukum yang memiliki wilayah, tatanan sendiri, dan tradisi yang berkelanjutan.
Pemerintah daerah lebih sering memandangnya dari kaca mata administratif: siapa yang diberi surat keputusan, dialah masyarakat adat.
Sementara banyak komunitas adat justru hidup di luar kerangka administratif itu, tetapi tetap menjalankan hukum adat yang diwariskan turun-temurun.
Di sinilah RUU Masyarakat Hukum Adat memiliki peran krusial. Ia harus memberikan definisi yang bukan hanya antropologis, tetapi yuridis dan operasional.
Tanpa definisi ini, penerapan
living law
dalam KUHP baru akan berbasis pada interpretasi yang liar. Hakim akan menafsirkan secara berbeda, aparat akan menafsirkan secara berbeda, dan pada akhirnya masyarakat adat sendiri terjebak dalam ketidakpastian.
Negara tidak boleh membiarkan identitas adat bergantung pada selembar keputusan kepala daerah; pengakuan harus berdasar pada unsur-unsur yang sah secara hukum sekaligus hidup dalam kenyataan sosial.
Tidak ada masyarakat adat tanpa wilayah adat. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah adat di Indonesia belum pernah diakui secara resmi.
Banyak pemerintah daerah enggan menetapkan wilayah adat karena takut berhadapan dengan kepentingan ekonomi, izin konsesi, dan proyek-proyek strategis.
Akibatnya, masyarakat adat hidup dalam ruang fisik yang diwariskan leluhur mereka, tetapi tidak memiliki kepastian hukum yang melindungi ruang itu.
Padahal KUHP 2026 membutuhkan kepastian wilayah dalam menentukan apakah peristiwa pidana berada dalam yurisdiksi adat atau tidak.
Tanpa kejelasan wilayah, penyelesaian adat dapat dianggap tidak sah, padahal hukum adat adalah bagian dari keutuhan konstitusional bangsa.
Lebih buruk lagi, masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat dapat dipandang sebagai pelanggar hukum, bukan sebagai pemilik hak asal-usul.
RUU Masyarakat Hukum Adat harus memastikan adanya pemetaan partisipatif dan registrasi wilayah adat secara nasional, menjadikan wilayah adat bukan sekadar klaim kultural tetapi hak yang dijamin negara.
Salah satu kekosongan paling serius dalam RUU yang beredar sekarang adalah tidak hadirnya FPIC—
Free, Prior, and Informed Consent
.
Padahal FPIC adalah standar internasional yang menyatakan bahwa masyarakat adat harus diberi kesempatan memberikan persetujuan sebelum proyek pembangunan dimulai, dengan informasi lengkap dan tanpa tekanan.
FPIC bukan sekadar formalitas; ia adalah wujud penghormatan atas martabat dan kedaulatan komunitas adat.
Ketiadaan FPIC membuat masyarakat adat rentan menjadi korban pembangunan. Konflik agraria, penggusuran, dan kriminalisasi yang menimpa tokoh-tokoh adat berakar pada tidak diakuinya hak untuk mengatakan “tidak”.
Dalam konteks KUHP 2026, ketiadaan FPIC menghadirkan risiko besar: masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya dapat dengan mudah terjerat pidana karena negara gagal menjamin hak mereka sejak awal.
RUU Masyarakat Hukum Adat harus menyertakan FPIC sebagai jantung perlindungan hak asal-usul.
Hukum adat tidak dapat berjalan tanpa lembaga adat. Namun, hingga kini negara belum memiliki daftar lembaga adat yang diakui secara hukum.
Tidak ada standar mengenai struktur kelembagaan, mekanisme pengambilan keputusan, maupun legitimasi pemimpin adat.
Padahal, KUHP 2026 memberi ruang bagi lembaga adat untuk menyelesaikan perkara tertentu, dan keputusan adat dapat menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana.
Tanpa pengaturan kelembagaan yang jelas, penyelesaian adat akan sulit diakui. Putusan adat berpotensi dianggap tidak sah karena tidak ada kepastian mengenai siapa yang berwenang mengeluarkannya.
Aparat penegak hukum juga akan berada dalam posisi yang sulit ketika harus menilai apakah penyelesaian adat layak dijadikan dasar pertimbangan hukum negara.
Karena itu, RUU Masyarakat Hukum Adat harus membangun fondasi kelembagaan adat yang kokoh, bukan hanya sebagai representasi tradisi, tetapi sebagai institusi yang diakui negara.
Regulasi mengenai masyarakat adat saat ini tersebar di berbagai undang-undang sektoral: kehutanan, lingkungan hidup, pesisir, minerba, desa, dan penataan ruang. Tidak satu pun dari undang-undang itu memberikan pengakuan yang utuh.
Akibatnya, aparat penegak hukum harus bekerja dengan potongan-potongan aturan yang tidak pernah berbicara satu sama lain.
RUU Masyarakat Hukum Adat harus hadir sebagai lex generalis yang mengharmonisasi seluruh aturan sektoral. KUHP 2026 akan sulit diterapkan tanpa harmonisasi ini.
Aparat akan kebingungan menentukan yurisdiksi adat, hakim akan gamang saat mempertimbangkan hukum adat, dan masyarakat adat tetap tidak memiliki kepastian hukum.
Hanya dengan harmonisasi yang jelas, KUHP 2026 dapat menjadi sistem pidana nasional yang menghormati pluralisme hukum bangsa.
Konstitusi telah mengamanatkan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Namun sejak amandemen UUD 1945 dua puluh tahun lalu, negara belum pernah benar-benar menindaklanjuti mandat itu secara memadai.
Pengakuan adat masih bersifat parsial, sektoral, dan sering kali bergantung pada kemauan politik kepala daerah. Padahal hak adat adalah hak konstitusional sekaligus bagian dari hak asasi manusia.
Dengan hadirnya KUHP baru, negara tidak bisa lagi menunda penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat. Tanpa regulasi ini, penerapan
living law
hanya akan menimbulkan ketidakpastian.
Pengakuan adat bukan sekadar pengakuan kultural; ia adalah langkah negara memulihkan martabat komunitas yang telah menjaga tanah, hutan, sungai, dan tradisi jauh sebelum republik ini berdiri.
RUU Masyarakat Hukum Adat bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan prasyarat moral dan konstitusional bagi pemberlakuan KUHP 2026.
Tanpa undang-undang ini, hukum adat tidak akan pernah bisa terintegrasi secara adil ke dalam sistem hukum pidana nasional.
Masyarakat adat tetap akan berada dalam posisi paling rentan: tidak diakui wilayahnya, tidak dihormati hak asal-usulnya, dan tidak dilibatkan dalam pembangunan yang menyentuh ruang hidup mereka.
Negara tidak boleh membiarkan
living law
menjadi slogan kosong. Jika bangsa ini sungguh-sungguh ingin memasuki era hukum nasional yang berkeadilan, maka pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat harus menjadi prioritas. Karena keadilan tidak boleh ditunda, dan masyarakat adat tidak boleh lagi menunggu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.