Jakarta, Beritasatu.com – Publik kembali dihebohkan dengan sejumlah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter. Kasus ini dinilai mencoreng citra profesionalisme dalam dunia kedokteran. Lantas, bagaimana sebenarnya pengaturan hukum di Indonesia terkait kasus pelecehan seksual? Berikut ulasan lengkapnya!
Salah satu kasus yang tengah menjadi sorotan publik adalah dugaan pelecehan seksual oleh calon dokter spesialis anestesi terhadap pasien di RSHS, Bandung. Tak lama berselang, kasus serupa kembali mencuat, kali ini melibatkan seorang dokter kandungan di Garut, Jawa Barat, yang diduga melakukan pelecehan terhadap pasien di ruang praktik.
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual merupakan tindakan bernuansa seksual yang dilakukan baik secara fisik maupun nonfisik, dengan sasaran pada organ seksual atau seksualitas korban.
Bentuk-bentuk pelecehan ini dapat berupa siulan, lirikan, ucapan bernada seksual, sentuhan pada bagian tubuh, gerakan atau isyarat seksual, dan bahkan dapat berdampak pada kesehatan serta keselamatan korban.
Di Indonesia, kasus pelecehan seksual telah diatur dalam berbagai regulasi hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Berikut adalah pasal-pasal dan peraturan yang relevan:
Regulasi Hukum Terkait Pelecehan Seksual
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP memuat sejumlah pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku pelecehan seksual, meskipun belum secara spesifik mengatur semua bentuk pelecehan seksual. Beberapa pasal tersebut antara lain:
Pasal 281: Mengatur perbuatan cabul di muka umum dengan ancaman pidana penjara hingga 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp 4,5 juta.Pasal 289: Mengatur perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan ancaman pidana penjara hingga 9 tahun.Pasal 290: Mengatur perbuatan cabul terhadap orang yang tidak berdaya atau di bawah umur, dengan ancaman pidana penjara hingga 7 tahun.Pasal 292-296: Mengatur berbagai bentuk pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan sanksi bagi pelaku yang memfasilitasi perbuatan cabul.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
UU ini secara khusus mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik:
Pelecehan seksual fisik: Melibatkan kontak fisik seperti menyentuh atau meraba bagian tubuh korban, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp 50 juta.Pelecehan seksual non-fisik: Meliputi tindakan tanpa kontak fisik, seperti ucapan bernada seksual atau pengiriman konten pornografi tanpa persetujuan korban. Ancaman hukumannya berupa penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal Rp 15 juta.
UU ini juga mencakup aspek pencegahan, penanganan, perlindungan, serta pemulihan hak-hak korban kekerasan seksual.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
UU ini memberikan perlindungan khusus bagi korban kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, seperti pelecehan oleh pasangan atau anggota keluarga lainnya, serta mengatur sanksi pidana bagi pelaku.
4. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021
Peraturan ini mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, sebagai respons terhadap meningkatnya kasus pelecehan seksual di kalangan mahasiswa dan dosen.
Pelecehan seksual termasuk yang dilakukan oknum dokter adalah tindak kejahatan yang kerap kali dipandang sebelah mata karena minimnya bukti. Namun demikian, penting bagi aparat penegak hukum dan masyarakat untuk terus menegakkan keadilan bagi para korban, serta menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku sesuai peraturan yang berlaku.
