Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) menilai industri manufaktur atau pengolahan nonmigas akan sulit berkontribusi hingga 20% ke Produk Domestik Bruto (PDB). Apalagi, sumbangsihnya ke PDB stagnan cenderung menurun dalam sedekade terakhir.
Ketua Umum FIPGB Yustinus Gunawan mengatakan stagnasi kontribusi manufaktur yang tertahan di level 18% salah satunya dipicu kenaikan harga bahan bakar gas untuk industri sehingga biaya produksi masih tinggi.
“Akhir 2025 manufaktur sangat sulit kontribusi 20%, karena stagnan di 18% dalam satu dekade,” kata Yustinus kepada Bisnis.com, Minggu (21/9/2025).
Menurut Yustinus, manufaktur Indonesia dinilai stagnan dalam satu dekade terakhir akibat kebijakan harga gas bumi yang kurang konsisten. Terlebih, terdapat kenaikan harga gas bumi yang signifikan pada 2015 menjadi salah satu pemicunya.
Kala itu, pemerintah menaikkan harga gas bumi sangat tinggi dalam waktu berdekatan. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat manufaktur tertekan.
Namun, pemerintah sempat berupaya menstabilkan pasokan energi untuk industri baru yang terlihat pada 2016 melalui terbitnya Perpres 40/2016 tentang kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT).
Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada Januari 2020, ditandai dengan keluarnya Kepmen ESDM No. 89.K/2020.
“Yang ingin saya sampaikan bahwa kebijakan HGBT terbukti efektif menaikkan kinerja manufaktur pada awal pandemi, bahkan ketika Covid-19 mengganas dengan varian Delta,” jelasnya.
Namun, penerapan kebijakan tersebut tidak berjalan maksimal karena adanya pengaturan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) oleh pemasok gas. Akibatnya, volume pasokan gas bumi dengan harga HGBT jauh lebih kecil daripada alokasi yang ditetapkan.
“Kinerja manufaktur masih ekspansif, tetapi cenderung turun, bahkan sempat kontraksi ketika PGN menurunkan AGIT. Mungkin masih ingat darurat gas bumi untuk industri pada pertengahan Agustus 2025, ketika PGN secara mendadak dan sepihak menurunkan AGIT ke 48%,” tuturnya.
Dia menegaskan bahwa ada hubungan erat antara pasokan gas bumi industri dengan skema HGBT terhadap kinerja manufaktur.
“Hubungan pasokan gas bumi industri dengan HGBT terhadap kinerja manufaktur adalah berbanding lurus dan langsung. Jika AGIT HGBT turun maka kinerja manufaktur turun, begitu pula pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Pihaknya pun mendesak pemerintah untuk lebih konsisten menegakkan regulasi Perpres 121/2020 yang terkini dilaksanakan secara penuh. dengan Kepmen ESDM 76/2025, yaitu volume pasokan HGBT sepenuhnya sesuai alokasi dalam Kepmen tersebut.
Dengan konsistensi itu, dia memperkirakan kinerja manufaktur akan meningkat mulai akhir semester I/2026. Kontribusi manufaktur bisa terus meningkat hingga 20,8% terhadap PDB pada 2028, atau akhir 2027.
Yustinus mengingatkan bahwa dukungan energi, khususnya gas bumi, merupakan kunci daya tahan sektor manufaktur di tengah ketidakpastian global.
“Perlu energi yang sangat berpihak ke manufaktur untuk bertahan dan meningkat di tengah ketidakpastian geopolitik dan geo-ekonomi dunia,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor industri pengolahan masih menjadi penggerak utama ekonomi kuartal II/2025. Adapun, sumbangsihnya terhadap PDB mencapai 18,67% (year on year/YoY).
Jika dilihat secara tahunan, capaian kuartal kedua tahun ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, yakni 18,52% YoY pada kuartal II/2024 dan 18,25% pada kuartal II/2023.
Angka tersebut terus tumbuh sejak terperosok ke level 17,84% yoy pada 2022. Sayangnya, kontribusi manufaktur periode baru ini masih cenderung stagnan, bergeming jika dibandingkan sedekade lalu atau kuartal II/2015 yang mampu tembus ke angka 20,91% YoY.
