Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Pelajaran dari Krisis Pasar Modal

Pelajaran dari Krisis Pasar Modal

Jakarta

Selasa (18/3/2025) bursa saham lintang pukang. Pada perdagangan saham pada sesi I di Bursa Efek Indonesia (BEI) IHSG anjlok 5,02% ke level 6.146. Sebanyak 581 saham turun, 105 naik, dan 271 tidak bergerak. Seluruh sektor berada di zona merah. Utilitas turun 12,2% dan bahan baku 9,82%.

MSCI, JP Morgan, dan Goldman Sachs menurunkan peringkat Bursa Efek Indonesia menjadi Tidak Layak Beli. Kapitalisasi pasar ambruk, dan arus dana asing keluar besar-besaran, memperparah tekanan jual di bursa. Pada sesi II, kembali IHSG terpangkas 5%, meski lebih baik dari sesi I, yang ditutup turun 6,12%.

Simpulannya, kepercayaan investor merosot. Penyebabnya, selain faktor global, adalah faktor domestik, kebijakan pemerintah, atau kebijakan publik. Analisis yang beredar di berbagai media, termasuk di media sosial menyebutkan, setidaknya ada lima kebijakan yang ditengarai berkorelasi langsung, dua setengah langsung, dan satu yang tidak langsung.

Kebijakan pengesahan Danantara, penghapusan utang KUR, penghapusan utang UMKM Rp 12,5 Triliun, pembentukan Koperasi Merah Putih di mana pemerintah menginisiasi pembentukan 80.000 koperasi desa dengan pinjaman Rp 400 triliun dari bank BUMN (Rp 5 miliar per desa), defisit anggaran, penambahan utang baru, dan merosotnya pendapatan pajak.

Dua yang setengah langsung adalah minimnya komunikasi dan transparansi kebijakan, terutama di sektor ekonomi dan keuangan yang membangun wacana ketidakjelasan mengatasi krisis, dan pernyataan bahwa saham adalah bentuk perjudian yang pasti merugikan. Kebijakan yang tidak langsung berpengaruh adalah revisi UU TNI.

Indonesia masih jauh dari ancaman krisis seperti 1998. Namun kejadian kemerosotan bursa saham tidak boleh dipandang enteng. Sikap yang, menurut teori geografi politik, khas negara tropis, karena budaya risk management yang lebih rendah. Pasar modal tidak menentukan semuanya, namun menjadi salah satu indikator penting.

Jika seseorang sakit dan demam tinggi, maka yang dilakukan medis adalah meletakkan thermometer badan di ketiak, untuk didapatkan suhu demamnya. Hanya diukur di ketiak saja, tidak di seluruh badan, bukan? Itulah prinsip indikator.

Namun, ada yang harus kita syukuri. Krisis pasar modal hari ini tidak merembet ke krisis yang lain, misalnya penarikan tabungan atau rush, ataupun berebut belanja bahan pokok. Artinya, kita punya kesempatan untuk belajar dan menyadari bahwa pasti ada yang salah dalam penyelenggaraan negara ini.

Masalah Kebijakan

Pemerintahan tradisional berprinsip bahwa legitimasinya tuntas sejak kemenangan pemilu. Titik. Tidak salah, namun kuno dan kadaluwarsa. Pemerintahan modern dan profesional mempunyai dua takaran untuk mengatakan bahwa ia memiliki legitimasi atas kekuasaan yang dijalankannya.

Pertama, adalah kemenangan politik yang disahkan secara hukum, sehingga menjadi legitimasi legal. Ke dua, pada saat Pemerintah menjalankan pemerintahannya secara efektif. Ini yang dicatat oleh Michael E. Porter (2006) bahwa “What makes government effective? This is among the most important question facing any society, because the failure of government is all too common and often catastrophic. There are numerous examples of countries that have been saddled by bad government policies, poor implementation, ethical failures, and the inability of government to change when it necessary. The victims are citizens, whose lives and live-hoods suffer”.

Permasalahannya adalah bagaimana membangun kebijakan yang efektif. Lagi-lagi, pemerintahan tradisional dan kuno serta kadaluwarsa berprinsip bahwa kekuasaan harus dipatuhi rakyat. Jadi, apa pun kebijakan dibuat, rakyat harus patuh. Apa pun kebijakan itu. Inilah yang banyak diajarkan di kelas-kelas dan pelatihan politik.

Kelas yang yakin bahwa ajaran Machiaveli adalah yang terbaik, valid, dan paling relevan. Inilah yang disebut pemerintahan dengan kebijakan jenis pertama. Bahwa kebijakan publik adalah hak prerogatif dari kekuasaan. Ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai konteks kewenangan Pemerintah, namun kesewenang-wenangan Pemerintah. Ini adalah pemerintah dengan kualitas kebijakan level satu.

Level ke dua, adalah pemerintah yang mengerti bahwa kebijakan publik adalah tugasnya, dan sebagai tugas harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan cara yang sebaik-baiknya. Artinya, mengikuti proses dan prosedur yang wajar dan terhormat. Tidak perlu ber-“petak-umpet”. Pemerintah seperti ini tahu bahwa kebijakan yang dibuatnya adalah untuk publik, dan bukan untuk kelompok tertentu, apalagi kelompok yang berkuasa.

Namun, jika pemerintah hendak masuk ke level selanjutnya, lebih hebat lagi. Sebagai penyelenggara negara, Pemerintah memastikan bahwa kebijakan publik adalah hadiah bagi rakyat. Hadiah yang wajar adalah sesuatu yang membahagiakan yang diberi, dan caranya pun membahagiakan.

Seorang anak berulang tahun, maka orang tuanya membelikan kue ulang tahun dengan lilin di atasnya. Bahkan, menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan anaknya. Ada yang alergi cake dan cokelat, sehingga dibuatkan pudding buah. Memberikannya pun dengan meletakkan di meja dengan lembut, dan bukan dilemparkan, apalagi dilemparkan ke muka anaknya yang berulang tahun. Sudah banyak contoh negara yang pemerintahnya melakukan hal tersebut. Mulai dari Singapura, Tiongkok, Korea Selatan, bahkan Vietnam.

Namun untuk Indonesia, negara dengan demokrasi Pancasila, maka level yang harus dicapai adalah level 4: bahwa kebijakan publik yang unggul menjadi hadiah Pemerintah kepada rakyat. Namun, kebijakan publik yang unggul menjadi hak dari rakyat. Untuk itu, yang diperlukan adalah penyelenggara pemerintahan yang mempunyai nilai diri bahwa kekuasaan yang diperolehnya adalah kehormatan, dan bukan hak yang diperoleh dari pemilu belaka.

Ini adalah level pemerintahan dengan nama pemerintahan yang profesional dan bertanggung jawab. Profesional, sebagaimana ditulis Abeng dan Nugroho dalam Manajemen sebagai Profesi (2024), lebih tepat merujuk kepada prinsip Hippocrates, Bapak Ilmu Kedokteran, “Primum non nocere” yang terjemahan langsungnya adalah First, do no harm, yang difahami adalah tidak melakukan apa yang diketahuinya salah.

Pelajaran

Krisis pasar modal Selasa kemarin, tanpa harus saling menuding, adalah indikator bahwa ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan publik kita hari ini. Apa yang harus dilakukan? Melakukan pers conference, kunjungan meyakinkan, atau bahkan intervensi ke pasar modal? Boleh, namun tidak cukup.

Yang kita perlukan hari ini adalah merubah mindset kita, para policy makers, bahwa sudah sepatutnya kita mengakui bahwa legitimasi terbaik dari pemerintahan Indonesia adalah dua: legitimasi legal, menang pemilu dan diangkat, dan strategikal, yaitu menghadirkan kebijakan-kebijakan publik yang andal, yang unggul. Pemerintahan yang profesional dan bertanggung-jawab tidak bisa lagi hadir dengan prinsip hak prerogatif, hak bagi mereka yang putus asa karena tidak dapat menjawab dan menjelaskan dengan baik apa yang terjadi.

Kita perlu masuk ke ranah ke empat, ranah pemerintahan Indonesia dengan demokrasi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Bahwa menghadirkan kebijakan publik yang unggul adalah hak rakyat Indonesia, dan bahwa Pemerintah melakukannya bukan karena keterpaksaan, namun karena Pemerintah sadar bahwa kehadirannya untuk menghadirkan kebijakan yang unggul tersebut bukan karena hak, bukan karena tugas, melainkan karena kehormatan yang diberikan kepadanya oleh rakyat Indonesia dan amanah dari Tuhan yang Maha Esa.

Riant Nugroho

Penulis adalah Pengajar Pasca Sarjana FISIP Unjani, Sespimti POLRI, dan Lemhannas. Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia.

(fdl/fdl)

Merangkum Semua Peristiwa