Liputan6.com, Jakarta – Jauh dari gemerlap kota, di sudut Hokkaido, Jepang, pemuda asal Indonesia, M. Riri Janal Mutakin, tengah sibuk menjalani rutinitasnya sebagai salah satu pegawai di perusahaan pertanian.
Di usia yang baru menginjak 28 tahun, ia telah menjalani hidup sebagai pekerja migran di Jepang selama hampir tujuh tahun. Sebuah perjalanan yang dimulai dari keinginan sederhana, yakni memperbaiki ekonomi keluarga dan membangun masa depan yang lebih baik.
Pria yang akrab disapa Riri ini pertama kali datang ke Jepang pada 2018 sebagai peserta program magang atau kenshusei. Setelah menyelesaikan masa magang selama tiga tahun, ia sempat kembali ke tanah air, namun tak berselang lama, ia kembali lagi kali ini dengan status visa kerja keterampilan (Tokutei Ginou).
“Tahun sekarang, jalan tahun ketujuh ya, dari tahun 2018. Tapi, itu dari 2018 itu, dulu kan masih magang. Itu kontrak kerja selama tiga tahun. Nah, sempat pulang dulu. Mungkin kalau di 2021-an. Dan balik lagi di 2022 sampai sekarang,” kata Riri kepada Liputan6.com, ditulis Sabtu (3/5/2025).
Sejak 2018, ia bekerja di sebuah perusahaan pertanian di Jepang yang memproduksi sayur-sayuran. Alasan Riri merantau bukan karena petualangan semata. Ia melihat peluang ekonomi yang tak bisa ia dapatkan di Indonesia.
“Kebanyakan orang-orang yang kerja ke Jepang bukan hanya saya saja. Saya juga banyak bertanya ke orang-orang yang datang ke Jepang. Tujuannya sama itu, ingin cari modal untuk usaha. Setelah cari modal untuk usaha dan setelah pulang, buka usaha di Indonesia,” ujar Riri.
Kekurangan Tenaga Kerja
Ia menambahkan, Jepang saat ini tengah menghadapi kekurangan tenaga kerja yang cukup besar, bahkan menurut data yang ia baca, dari tahun 2024 hingga 2029, Jepang diperkirakan membutuhkan sekitar 820 ribu pekerja migran. Di sini, peluang besar terbuka lebar.
“Kenapa nggak kerja di Indonesia saja? Mungkin karena pertama, bisa dibilang kerja di Indonesia agak sulit. Dan peluangnya berbanding terbalik dengan di Jepang. Ditambah sekarang Jepang membutuhkan banyak pekerja. Kalau menurut data yang saya baca, dari 2024 sampai 2029, Jepang membutuhkan pekerja migran sebanyak 820 ribu orang. Peluangnya lebih besar,” ungkapnya.
Adapun gajinya di Jepang berkisar antara Rp 15 hingga 20 juta per bulan, angka yang jauh lebih besar dibandingkan penghasilan rata-rata petani lokal di Indonesia.
“Kisaran Rp 15 juta sampai 20-an,” imbuhnya.
Dari penghasilannya itu, ia secara disiplin menyisihkan 25 persen untuk ditabung dan diinvestasikan dan sejauh ini, ia sudah berhasil membeli sawah dan tanah di kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat.
“Biasanya sih sekitar 25 persenan dari gaji yang didapat, kalau saya sendiri. Dan ditabung buat investasi masa depan juga, kebanyakan dibelikan tanah, sawah untuk usaha dilanjutkan di Indonesia,” katanya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5205986/original/098371000_1746154571-IMG-20250501-WA0000.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)