Masa depan politik Yoon dipertanyakan setelah dia tiba-tiba mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12) malam, yang menangguhkan pemerintahan sipil dan melarang semua aktivitas partai politik serta mengendalikan media.
Namun darurat militer itu hanya berlangsung selama enam jam setelah 190 anggota parlemen menggelar voting untuk menolaknya dan mendesak Yoon untuk mencabutnya. Darurat militer itu resmi dicabut oleh Yoon pada Rabu (4/12) dini hari.
Partai Demokrat, sebagai oposisi utama, bersama lima partai oposisi lainnya kemudian mengajukan mosi pemakzulan, yang isinya menuduh penetapan darurat militer itu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan undang-undang lainnya.
Jika mosi pemakzulan itu diloloskan oleh parlemen, maka selanjutnya Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang dan memutuskan apakah akan menempatkan kembali atau mencopot Yoon dari jabatannya.
Jika pemakzulan itu diperkuat oleh para hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nanti, maka Yoon akan menjadi Presiden kedua Korsel yang dimakzulkan sejak mantan Presiden Park Geun Hye tahun 2017 lalu.
Presiden Korsel Meminta Maaf kepada Rakyat, Tapi Tak Mundur dari Jabatan
Yoon menyampaikan pidato pada Sabtu (7/12) pagi, yang merupakan pidato pertamanya sejak darurat militer pekan ini, di mana dia meminta maaf kepada rakyat Korsel karena telah menimbulkan “kegelisahan dan ketidaknyamanan” selama penetapan darurat militer.
Namun Yoon tidak mengumumkan pengunduran dirinya seperti diharapkan banyak pihak. Dia menyatakan dirinya menyerahkan nasib jabatannya kepada partainya, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang kini berkuasa di Korsel.
“Saya tidak akan menghindari tanggung jawab hukum dan politik terkait deklarasi darurat militer ini,” katanya. “Saya akan menyerahkan kepada partai kami untuk menstabilkan situasi politik di masa mendatang, termasuk masa jabatan saya,” ucap Yoon.
Yoon terpilih menjabat Presiden Korsel sejak Mei 2022 lalu untuk masa jabatan lima tahun.
(nvc/idh)