Paradoks Diplomasi: Keraguan Manfaatkan Solidaritas Global Saat Bencana
Dosen Hubungan International Universitas Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta
BENCANA
banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang telah merenggut lebih dari 900 jiwa, menggugah perhatian dunia untuk memberikan bantuan.
Malaysia dan China menjadi dua negara pertama yang menyalurkan bantuan ke Aceh. Seperti dinyatakan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, bantuan tersebut diterima tanpa hambatan dan tidak ada alasan untuk mempersulit pihak yang ingin menolong. (
Kompas
, 8/12/2025)
Pernyataan Gubernur Aceh ini menarik karena muncul di tengah kabar adanya resistensi dari sebagian pihak terkait masuknya bantuan asing.
Kesan adanya keraguan ini menunjukkan bahwa persoalan kemanusiaan di Indonesia masih sering dipandang melalui kacamata kecurigaan geopolitik.
Pertanyaannya adalah apakah menolak bantuan merupakan pilihan diplomatik yang tepat ketika rakyat sedang membutuhkan?
Jawabannya tidak sesederhana hitam-putih. Namun, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa keterbukaan justru dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan, seperti yang terjadi pada penanganan tsunami 2004.
Ketika tsunami 2004 menghancurkan Aceh dan sebagian Sumatera Utara, pemerintah kala itu membuat keputusan berani dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi
bantuan internasional
.
Lebih dari 50 negara, ratusan lembaga asing, dan ribuan relawan masuk ke Aceh dalam waktu singkat.
Bantuan kemanusiaan tersebut bukan sekadar teknis, melainkan juga wujud diplomasi yang mencerminkan kedewasaan suatu negara dalam membangun kepercayaan internasional (
international trust-building
).
Bantuan internasional waktu itu tidak hanya mempercepat penyelamatan dan pemulihan, tetapi juga membuka ruang dialog politik yang pada akhirnya turut berkontribusi terhadap proses perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki tahun 2005.
Inilah contoh klasik dari apa yang dalam kajian hubungan internasional disebut
disaster diplomacy,
yaitu bagaimana bencana dapat membuka jalan bagi stabilitas, kerja sama, dan diplomasi konstruktif.
Tsunami 2004 menjadi tonggak bagi pembentukan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan BNPB, yang kini menjadi instrumen diplomasi teknis Indonesia dalam forum global.
Indonesia bahkan menjadi pemimpin ASEAN dalam ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) dan siap mengirim, menerima, serta mengoordinasikan bantuan lintas negara.
Dengan kata lain, menerima bantuan bukan ancaman bagi kedaulatan, melainkan bagian dari arsitektur diplomasi modern yang justru memperkuat posisi Indonesia di dunia.
Bahwa ada kekhawatiran tentang intervensi, pengaruh politik, atau agenda terselubung merupakan sesuatu yang wajar. Namun, hal tersebut tidak boleh menjadi satu-satunya lensa membaca situasi.
Diplomasi yang dewasa bukan diplomasi yang curiga pada setiap uluran tangan, melainkan diplomasi yang tahu kapan harus menjaga jarak dan kapan harus membuka pintu.
Negara-negara yang matang secara diplomatik seperti Jepang, Turkiye, ataupun Australia rutin menerima bantuan internasional ketika menghadapi bencana besar tanpa merasa reputasi atau kedaulatannya menurun.
Mereka memahami prinsip dasar yang berlaku di PBB dan ASEAN karena bantuan kemanusiaan bersifat netral, tidak mengikat, dan tidak mengurangi kontrol negara penerima.
Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan di kawasan seharusnya memiliki kepercayaan diri yang sama.
Diplomasi yang kuat tidak tercermin dari kemampuan menolak, tetapi dari kemampuan mengatur, mengawasi, dan mengarahkan bantuan internasional agar tetap sesuai kebutuhan nasional.
Dalam berbagai forum global, Indonesia selalu menempatkan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Prinsip ini sejalan dengan sila ke-2 Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Konsistensi prinsip ini diuji bukan hanya ketika Indonesia mengirim bantuan ke luar negeri, tetapi juga ketika Indonesia menerima bantuan dari negara lain.
Sikap defensif berlebihan justru menciptakan paradoks diplomasi. Indonesia ingin diakui sebagai bagian dari komunitas internasional, tetapi ragu memanfaatkan solidaritas global saat bencana.
Bantuan Malaysia dan China dalam situasi ini adalah ekspresi solidaritas yang apabila dikelola dengan transparan dan terkoordinasi dapat memperkuat hubungan bilateral, memperdalam kerja sama, sekaligus menguatkan citra Indonesia sebagai negara yang matang dan percaya diri.
Apalagi bila dibandingkan sebelum tsunami 2004, Indonesia hari ini memiliki kapasitas penanggulangan bencana yang jauh lebih baik.
Dengan kehadiran BNPB, Badan SAR Nasional, dan sistem komando terpadu, Indonesia sepenuhnya mampu menentukan batas, ruang gerak, dan bentuk bantuan yang dibutuhkan.
Dalam kerangka diplomasi, ini disebut
controlled openness,
yaitu keterbukaan yang tetap dalam kendali negara.
Maka, yang diperlukan bukanlah penolakan, melainkan mekanisme diplomatik yang rapi, meliputi prosedur gerbang tunggal (
single gate policy
) bagi bantuan asing, pengawasan ketat lintas kementerian, transparansi publik, dan pemetaan kebutuhan yang jelas sehingga bantuan benar-benar efektif.
Dengan mekanisme ini, bantuan internasional tetap berada di bawah kedaulatan Indonesia, sekaligus menjaga kredibilitas diplomasi kita di mata dunia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Paradoks Diplomasi: Keraguan Manfaatkan Solidaritas Global Saat Bencana
/data/photo/2025/12/10/6938da5a4dd81.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)