Malang (beritajatim.com) – Jika organisasi menawarkan pelajaran tentang kepemimpinan dan birokrasi, maka kedai kopi menawarkan universitas kehidupan dalam skala mikro. Di sinilah para mahasiswa ini menemukan ruang ekspresi, laboratorium bisnis, dan pelajaran tentang kemanusiaan yang sesungguhnya.
Bagi Izzul, menjadi barista adalah linearitas sempurna dari ilmunya di bangku kuliah. “Di dunia kopi itu saya jelas mendapatkan banyak hal-hal yang lebih nyata tentang implementasi teori dan kajian yang saya dapatkan di kampus. Sehingga kepuasan itu menjadi nilai tambah,” jelasnya.
Ia tidak lagi hanya membahas teori manajemen di kelas, tetapi mempraktikkannya langsung: mengelola stok, melayani pelanggan dengan karakter beragam, hingga ikut campur dalam strategi bisnis kedai.
Di sisi lain, Faris menemukan kebebasan berekspresi yang mungkin sulit didapatkan dalam struktur organisasi yang kaku. “Di barista itu benar-benar ngasih ruang ekspresi yang lebih fleksibel dan bebas. Di balik bar, saya juga bisa melakukan eksplorasi, mencoba kombinasi baru, bahkan saya bisa membuat signature drink versi diri saya sendiri,” tuturnya dengan antusias.
Baginya, menjadi barista bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah seni. Ini adalah kanvas untuk kreativitas yang dinamis, sebuah pelarian dari struktur formal menuju sesuatu yang lebih organik dan personal. Panggung ini juga mengajarkan kemandirian yang nyata, sesuatu yang menjadi mata uang paling berharga di era ini.
“Saya merasa lebih mandiri dan somehow lebih relevan sama zaman sekarang,” ungkap Faris. “Ada rasa bangga aja sih, karena bisa berdiri di kaki sendiri, tetap produktif. Itu semua bikin saya ngerasa nyambung sama realitas sekarang.”
Izzul mengamini sentimen ini. “Kalau merasa keren, ya enggak sih. Cuma saya merasa lebih mandiri, lebih diinginkan untuk bisa bertarung di hadapan dunia yang keras. Masyarakat menuntut cowok juga harus bisa menghasilkan duit, belajar cari duit sedini mungkin,” kata dia. [dan/beq]
