Rakyat mau jadi ASN saja syaratnya ketat sekali, tetapi kok posisi sepenting presiden dan wakil presiden sebuah negara enggak bisa seketat itu.
Jakarta (ANTARA) – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Sri Zul Chairiyah mengusulkan adanya tim independen untuk meminimalkan jumlah calon setelah penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Profesor Sri Zul Chairiyah menjelaskan bahwa negara dapat membentuk tim independen tersebut untuk melihat kesiapan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tim independen ini dapat diisi oleh akademikus, ekonom, hingga praktisi hukum.
“Akan tetapi, tidak ada orang partai di dalamnya,” kata Prof. Sri saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.
Menurut dia, secara teknis dapat dimulai dengan partai politik mengajukan nama pasangan calon presiden dan wakil presiden, kemudian tim independen menyeleksi kelayakannya, lalu partai politik mendeklarasikan pencalonannya.
Selain itu, dia mengusulkan agar persyaratan pencalonan juga diperketat seperti berusia minimal 40 tahun dan maksimal 70 tahun serta minimal telah menempuh pendidikan S-2 untuk menunjukkan kualitas pendidikan dan pola pikirnya.
Selanjutnya, tidak pernah terjerat kasus pidana atau perdata sebelumnya, serta telah menjadi anggota partai politik selama 3 atau 5 tahun dan mendalami visi maupun misi partainya.
“Bukan karbitan atau jadi anggota partai karena ingin mencalonkan diri. Ini juga bisa sebagai bentuk penyaringan kualitas kader untuk menjadi pemimpin,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa pengetatan pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut agar rakyat dapat merasakan keadilan.
“Rakyat mau jadi ASN (aparatur sipil negara) saja syaratnya ketat sekali, tetapi kok posisi sepenting presiden dan wakil presiden sebuah negara enggak bisa seketat dan seberkualitas itu yang tersaring?” katanya.
Sebelumnya, Kamis (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.
MK menilai presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.
Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Pewarta: Rio Feisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025