Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah diminta melakukan seleksi ketat terhadap sekolah penerima program makan bergizi gratis, dengan prioritas pada sekolah-sekolah yang siswanya berasal dari kalangan menengah bawah. Hal ini bertujuan untuk memastikan program berjalan efektif dan tidak menimbulkan masalah baru, baik dari segi sosial maupun lingkungan.
Menurut peneliti Core Indonesia Eliza Mardian, yang fokus pada bidang pertanian dan industri, salah satu tantangan utama dari penerapan program MBG adalah perilaku siswa terhadap makanan yang diberikan, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas.
“Anak-anak dari masyarakat kelas menengah bawah lebih menghargai makanan dibandingkan dengan anak-anak dari kalangan menengah atas,” ujar Eliza kepada Beritasatu.com, Sabtu (21/12/2024).
Eliza menjelaskan terkait program makan bergizi gratis, siswa dari kalangan menengah bawah cenderung menghabiskan makanan yang diberikan karena mereka lebih menghargainya. Sebaliknya, siswa dari kalangan menengah atas sering kali membuang makanan karena dianggap tidak sesuai dengan selera mereka.
“Saya pernah mengunjungi sekolah kalangan menengah atas, dan banyak makanan yang dibuang karena mereka tidak suka,” tambahnya.
Selain itu, siswa dari kalangan menengah atas sering membawa bekal dari rumah dengan menu yang lebih variatif, seperti lauk udang tepung. Kondisi tersebut, membuat mereka kurang antusias terhadap makanan dari program MBG yang bernilai Rp 10.000 per porsi.
Eliza juga menyoroti dampak lingkungan dari program MBG, terutama jika makanan yang tidak dikonsumsi menjadi sampah. Ia menekankan perlunya infrastruktur pengolahan sampah di sekolah untuk mengatasi timbunan makanan yang terbuang.
“Sampah makanan bisa menjadi masalah serius jika sekolah tidak memiliki infrastruktur untuk mengolahnya, seperti membuat kompos atau ekoenzim,” jelasnya terkait program makan bergizi gratis.