“Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,”
Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay mengatakan diperlukan penataan terkait proses rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu guna menjaring tenaga yang profesional dan berintegritas dalam perbaikan sistem pemilu di tanah air.
“Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,” kata Hadar saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
Hal itu disampaikannya merespons pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“PSU kita di dalam keadaan yang jumlahnya demikian banyak dan sebagian besar itu sebetulnya menunjukkan ketidakberesan penyelenggara pemilunya,” ujarnya.
Dia lantas berkata, “Itu ada biaya besar yang harus ditanggung, harus digunakan, dan seharusnya ini (PSU) tidak terjadi kalau memang kita punya penyelenggara pemilu yang memang baik.”
Untuk itu, dia mengatakan agar proses seleksi tenaga penyelenggara pemilu harus dipastikan terbuka, terukur, dan bebas dari kepentingan politik.
Dia juga memandang penting pula untuk mempertimbangkan tenaga penyelenggara pemilu diisi oleh orang-orang yang memiliki kematangan usia.
“Kalau mereka adalah orang-orang yang sudah lebih matang, seharusnya mereka dalam bekerja untuk wasit-wasit penyelenggara pemilu itu tidak akan melihat atau memanfaatkan faktor itu,” ucapnya.
Termasuk, lanjut dia, memastikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan ada di setiap level penyelenggara pemilu.
Selain itu, Hadar menilai perlu mempertimbangkan ulang keberadaan penyelenggara pemilu yang bersifat permanen. Menurut dia, apabila jarak keserentakan pemilu tidak berjauhan maka tidak perlu memiliki penyelenggara pemilu yang permanen di daerah.
“Jadi itu bisa dikurangi jumlahnya, dan tidak perlu dibuat permanen kalau memang jarak antara satu kelompok pemilu yang serentak dengan satu kelompok pemilu yang lain atau pilkada itu berdekatan,” tuturnya.
Dia pun menekankan bahwa kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pemilu akan sangat bergantung pada penyelenggaranya.
“Bahkan ada banyak yang bilang, sebagian besar atau 50 persen pemilu itu sudah kita bisa dapatkan sebagai satu pemilu yang baik kalau penyelenggaranya itu juga bekerja dengan baik, sesuai dengan aturan yang berlaku,” paparnya.
Terlebih, ujarnya lagi, Indonesia memiliki lembaga penyelenggara pemilu yang terbilang lengkap, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Kita punya penyelenggara yang sangat lengkap, dan itu sangat besar, otoritasnya juga luar biasa besar. Ada KPU, ada Bawaslu, dan ada DKPP, tetapi pertanyaannya kok pemilu kita ini bermasalah terus? Jadi ini sesuatu yang harus kita cari jawabannya. Jangan-jangan memang ada persoalan dari penyelenggaranya,” ucap dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025