Jakarta –
Presiden Prabowo Subianto meminta percepatan penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun. Pakar menyebut nuklir bisa jadi solusi untuk sumber energi Indonesia.
Meski punya sinar matahari yang melimpah, Prof Deendarlianto Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) berpendapat bahwa panel surya bukan jawaban yang paling utama.
“Kalau solar panel itu kan rule of thumb-nya kan 1 MW itu kan 1 hektar. Kita nggak bisa bayangkan berapa hektar kita butuh kalau semuanya pakai solar panel, ya nggak cukup kan,” katanya kepada detikINET melalui sambungan telepon, Selasa (26/11/2024).
Apalagi, energi tidak semata untuk pembangkit saja. Ada juga energi yang harus dipenuhi untuk urusan transportasi.
“Ya kalau kita berpikir solusi terbaik ya nuklir. Seperti yang disampaikan oleh Pak Presiden itu nuklir bagus,” ujar lulusan S3 Universitas Tokushima, Jepang, tersebut.
Ada beberapa fase untuk mewujudkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Fase tersebut antara lain fase lisensi, fase konstruksi, final test, kemudian baru operasional. Semua itu membutuhkan waktu minimal tujuh tahun.
Saat ini, Indonesia belum memiliki PLTN. Menurut Prof Deen, pembangunan untuk riset sudah dilakukan di Indonesia, tapi belum untuk pembangkit listrik.
Lebih lanjut, Prof Deen menyebutkan sejumlah keunggulan menggunakan PLTN. Pertama, energy density yang dihasilkan sangat besar. Yang kedua, otomatis energy cost-nya juga rendah. Akan tetapi ada beberapa masalah yang jadi tantangan.
“Ya beberapa masalah saja ya, satu masalah sosial saja, susceptibility masyarakat dan juga investment cost kan cukup besar di awal. Tapi kalau kita committed, semua bisa sih,” ujarnya optimis.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintahan Prabowo Subianto berencana membangun PLTN sebagai bagian dari bauran energi nasional. Rencananya, terdapat setidaknya 5 GW dari pembangkit jenis ini hingga 2040.
“Jadi ini komitmen dari Indonesia untuk itu. Di samping itu ada 5 Giga Watt lebih dari tenaga nuklir,” kata Ketua Delegasi Indonesia untuk COP 29, Hashim Djojohadikusumo saat diwawancara CNBC Indonesia di sela rangkaian acara COP29 di Baku, Azerbaijan.
(ask/fay)