Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 dikritisi lantaran berpotensi menciptakan dampak negatif yang luas bagi perekonomian.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan kebijakan tersebut akan menekan masyarakat kelas menengah dan kalangan pengusaha, meskipun tujuannya memperbaiki penerimaan negara.
“Kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR adalah kelompok yang paling terdampak,” kata Achmad dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/11/2024).
Kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada tinggi nya harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan rokok. Padahal, daya beli kelompok menengah akan tergerus sehingga memicu pengurangan konsumsi barang penting.
Apabila daya beli menurun, konsumsi domestik yang merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut melemah.
“Peningkatan biaya hidup akan semakin terasa berat karena pendapatan kelas menengah tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan,” ujarnya.
Menurut Achmad, gaji UMR bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tambahan beban dari kenaikan PPN ini dinilai akan menciptakan tekanan psikologis dan ekonomi yang besar bagi masyarakat.
Di sisi lain, PPN 12% juga akan memicu inflasi yang merupakan ancaman besar bagi stabilitas ekonomi. Inflasi yang tinggi tak hanya merugikan masyarakat tetapi juga sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
“Dengan biaya produksi dan operasional yang meningkat akibat kenaikan PPN, UKM harus memilih antara menaikkan harga produk mereka atau mengorbankan margin keuntungan,” terangnya.
Kondisi ini dapat memengaruhi keberlanjutan usaha mereka dan berujung pada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, inflasi yang dipicu oleh kenaikan PPN juga bisa menghambat investasi.
“Investor mungkin ragu untuk menanamkan modalnya di pasar yang kurang stabil, mengingat daya beli yang menurun dan prospek ekonomi yang melambat,” terangnya.
Padahal, dia menilai pemerintah seharusnya berfokus pada memperluas basis pajak dan memperbaiki efisiensi penerimaan pajak. Masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum digarap secara optimal, terutama dari sektor-sektor ekonomi besar yang selama ini belum terjangkau secara maksimal.
Lebih lanjut, pemerintah perlu mengevaluasi pengeluaran negara yang tidak produktif, termasuk penggunaan anggaran untuk proyek-proyek mercusuar yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat seharusnya dikurangi.
“Reformasi fiskal yang fokus pada efisiensi anggaran akan lebih efektif daripada sekadar menaikkan pajak,” ujarnya.