Achmad juga menyoroti kebijakan pendidikan di Indonesia yang selama ini, pendidikan dalam negeri seperti menara gading. Tinggi dan indah, tetapi terputus dari realitas di bawahnya.
“Mahasiswa diajarkan teori, dihafal, diuji, lalu lulus. Namun, setelah mereka melewati pintu kampus, dunia kerja menatap mereka dengan satu pertanyaan yang menohok: “Apa yang bisa kamu kerjakan?”,” ujarnya.
Di sinilah letak persoalannya. Sistem pendidikan Indonesia gagal membekali mahasiswa dengan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan pasar kerja.
“Tak ada jembatan antara dunia akademik dan dunia industri. Kurikulum tertinggal dari zaman, dan kampus terlalu asyik dengan urusan internal akreditasi, indeks kinerja dosen, jurnal bereputasi tanpa pernah bertanya: “Apakah lulusan kami dibutuhkan?”,” jelasnya.
Padahal, pendidikan seharusnya bukan hanya tentang gelar, melainkan tentang keberdayaan. Di negara-negara maju, universitas menjadi pusat inovasi, kolaborasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
“Di sini? Terlalu sering kampus beroperasi seperti pabrik ijazah. Lulusannya pun bingung, mereka berdiri di tengah jalan raya ekonomi tanpa peta, tanpa kendaraan, tanpa arah,” ujarnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5049356/original/065792900_1734064396-1734060449909_s-m-sarjana-apa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)