JAKARTA – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira meminta Pemerintah sebaiknya membatalkan terlebih dahulu kenaikan tarif PPN 12 persen dan beralih untuk mengenakan pajak kepada orang kaya melalui pajak kekayaan (wealth tax), yang memiliki potensi mencapai Rp81,6 triliun.
“Batalkan dulu kenaikan tarif PPN 12 persen. Pajaki orang kaya melalui wealth tax karena ada potensi Rp81,6 triliun,” ujarnya kepada VOI, Senin, 22 Desember.
Selain itu, Bhima menyampaikan sebaiknya pajak karbon, pajak produksi batubara, dan pajak windfall profit komoditas ekstraktif perlu diberlakukan. Peningkatan kepatuhan pajak juga harus dilakukan, sehingga rasio pajak dapat meningkat tanpa membebani daya beli kelas menengah ke bawah.
“Kemudian pajak karbon dijalankan, dan pajak produksi batubara serta pajak windfall profit komoditas ekstraktif itu didorong. Kepatuhan pajaknya juga dinaikkan sehingga ada kenaikan rasio pajak tanpa ganggu daya beli kelas menengah kebawah,” tuturnya.
Di sisi lain, Bhima juga turut menyoroti posisi Indonesia yang menempati urutan kelima dengan Upah Minimum Regional (UMR) terendah di Asia Tenggara, namun berbanding terbalik dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) yang tinggi.
Bhima menilai kebijakan ini membebani masyarakat, terutama pekerja, dengan pajak yang lebih tinggi sementara pendapatan mereka tidak mampu mengejar beban hidup yang terus meningkat.
“Itu artinya pemerintah cuma bebankan pajak yang lebih tinggi ke masyarakat khususnya pekerja, sementara pendapatan tidak mampu mengejar beban hidup yang tinggi salah satunya karena pungutan pajak,” jelasnya.
Menurutnya, peningkatan beban pajak yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat dapat berisiko menurunkan daya beli masyarakat yang semakin tajam dan pada gilirannya akan mempersulit pencapaian target penerimaan pajak negara.
Selain itu, Bhima memprediksi rasio pajak Indonesia akan tetap berada di angka 10 persen hingga 10,5 persen hingga 2029, jauh dari target rasio pajak yang diinginkan oleh Prabowo, yaitu 23 persen.
“Rasio pajak diperkirakan tidak bergerak di angka 10-10,5 persen hingga 2029 mendatang. Jauh dari target rasio pajak prabowo 23 persen,” jelasnya.
Bhima menambahkan bahwa kebijakan yang kontraproduktif ini justru akan membuat daya beli menurun, rasio pajak rendah dan biaya untuk menjaga daya beli akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penerimaan pajak yang diperoleh negara, salah satunya dengan penerapan PPN 12 persen.
“Mau cari penerimaan negara kalau caranya kontraproduktif justru daya beli turun, rasio pajaknya rendah. Bahkan biaya untuk jaga daya beli akan jauh lebih mahal dibanding pendapatan pajak yang diperoleh negara contohnya kasus PPN 12,” pungkasnya.
Untuk diketahui, daftar tarif PPN di negara ASEAN yaitu Filipina 12 persen, Indonesia 11 persen, akan naik menjadi 12 persen pada 2025, Vietnam 10 persen, Kamboja 10 persen, Malaysia 10 persen, dan Laos 10 persen.
Sementara itu berdasarkan data dari laporan Numbeo, daftar UMR di negara ASEAN yaitu, Singapura 5.170 dolar AS, Malaysia 817 dolar AS, Thailand 560 dolar AS, Vietnam 461 dolar AS, Filipina 348 dolar AS, dan Indonesia 325 dolar AS.