Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
INDONESIA
kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
real time
dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
action
yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Blog
-
/data/photo/2025/12/04/6930b97495dd9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025
-
The Best Free Photo & Video Face Swap Tools in 2025: A Detailed Comparison
The Best Free Photo & Video Face Swap Tools in 2025: A Detailed Comparison
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432093/original/064814600_1764756044-Sertu_Rio_selamat_dari_banjir_bandang_sumatra.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saya Ikhlas dengan Nyawa Saya
Liputan6.com, Jakarta – Malam tak biasa di Adian Koting, Tapanuli Utara, pada Selasa (24/11/2025). Malam yang dipenuhi keikhlasan dan drama kemanusiaan. Ketika banjir bandang Sumatra merenggut nyawa orang tercinta.
Di tengah kelelahan usai menempuh perjalanan panjang dari Medan, Sertu Rio Prasaja (42), anggota Kodim 0212/Tapsel, harus menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya. Ketika orang tercinta direnggut hidupnya.
Malam itu, Rio bersama istri serta putra bungsunya yang berusia 1,5 tahun, dan tiga saudaranya, mencari perlindungan. Karena jalan pulang menuju Sidempuan terputus total. Beruntung, pemilik warung di Adian Koting memberinya tempat berlindung.
“Pemilik warung minta ya sudah istirahatlah di sini dulu,” kenang Rio saat berbincang dengan wartawan, Rabu (3/12/2025).
Sekitar pukul 23.00 WIB, saat sebagian besar orang telah tertidur, teriakan minta tolong membangunkannya. Dia spontan keluar warung dan bergegas membantu. Berbekal lampu mobil sebagai penerangan untuk evakuasi awal. Beberapa saat kemudian, Rio kembali untuk berganti pakaian. Ternyata alam mulai mengirimkan sinyal bahaya yang mematikan.
“Saya mendengar lima kali gemuruh, tapi tidak ada longsor saat dilihat keluar,” ujar Rio.
Firasat yang kuat membuatnya segera membangunkan semua orang di rumah itu. Gemuruh keenam datang tanpa kompromi. Rio, dengan sigap meraih putra bungsunya. Momen itu adalah pelukan terakhir ayah dan anak.
“Saya pegang anak, terus gemuruh ke-6 langsung datang. Anak saya yang saya pegang tidak tahu terlempar ke mana. Saya juga terhempas, tahu-tahu sudah setinggi leherlah tanah menimbun saya,” kenangnya dengan suara lirih.
-

Putus Asa karena Asmara, Siswi SMA di Bangkalan Nekat Minum Detergen
Jakarta –
Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke psikolog, psikiater, atau layanan kesehatan mental terdekat.
Siswi SMA di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, Jawa Timur (Jatim) hendak mengakhiri hidupnya dengan menenggak cairan deterjen. Beruntungnya siswi tersebut selamat karena percobaan bunuh diri itu dapat digagalkan.
“Yang bersangkutan, sengaja minum deterjen pemutih. Kemudian peristiwa itu diketahui oleh keluarga,” kata Kasi Humas Polres Bangkalan Iptu Agung Intama, dilansir detikJatim, Kamis (4/12/2025).
Peristiwa percobaan bunuh diri itu terjadi pada Selasa (2/12). Keluarga saat itu menemukan korban dalam kondisi tak sadarkan diri dan mulut berbusa.
Korban kemudian segera dibawa ke puskesmas setempat. Nyawa korban berhasil diselamatkan.
Dari hasil penyelidikan korban diketahui sengaja menenggak cairan pemutih tersebut karena dipicu persoalan asmara. Korban diketahui merasa putus asa karena telah diputus kekasihnya.
“Pihak keluarga tidak melaporkan ke polisi. Namun peristiwa itu viral di media sosial, sehingga anggota Polsek Tanjung bumi berinisiatif menjenguk ke puskesmas, untuk memastikan kebenarannya,” pungkasnya.
(dek/dek)
-

Ponsel Flagship iQOO 15 Resmi Hadir di Indonesia, Harga Mulai Rp12 Jutaan Aja
JAKARTA – iQOO 15, smartphone flagship generasi terbaru dengan chipset Snapdragon 8 Elite Gen 5, unit komputasi terbaru dari Qualcomm ini mampu mencetak skor AnTuTu v11 hingga 4,386,144 poin, resmi diluncurkan ke pasar Indonesia.
Kombinasi ini menghadirkan peningkatan performa CPU hingga 32% dan GPU hingga 23%, menawarkan level efisiensi dan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya
Selain mengandalkan chipset berkekuatan paling tinggi, iQOO 15 juga kembali membawa Supercomputing Chip Q3, sistem cip ganda khusus untuk mengolah grafis hasil pengembangan internal iQOO yang terdiri dari tiga inti yaitu DA Core, RT Core, dan AI Core.
Hasilnya, smartphone ini mampu meningkatkan efek visual, stabilitas frame rate, hingga efisiensi daya untuk gaming. Teknologi seperti Self-Developed Ray Tracing serta iQOO Neural Super Sampling (QNSS), juga memungkinkan gim dapat berjalan lebih mulus da kualitas gambar lebih tinggi sekaligus minim latensi denan resolusi hingga 144Hz.
Performa ini semakin ditunjang oleh 8K Ultra VC Cooling System, thermal gel khusus, dua lapis grafit, serta VC heat plate super-besar, yang bekerja menjaga kestabilan suhu dalam sesi gaming maupun streaming paling intens sekalipun.
Baterai besar 7000mAh BlueVolt Battery memungkinkan pengguna memutar musik hingga 50,4 jam atau menonton YouTube hingga 32,6 jam secara kontinu. Smartphone ini juga mendukung 100W FlashCharge dan 40W wireless charging, serta dilengkapi fitur Battery Life Extender.
Dari segi layer, iQOO 15 menjadi perangkat pertama di dunia yang menggunakan 2K M14 LEADTM OLED Display, panel ini menggantikan lapisan polarizer tradisional dengan 2K Nano Lithography Filter Layer khusus.
Tingkat kecerahan layar mencapai 2600 nits pada mode HBM dan hingga 6000 nits pada local peak brightness. Selain itu, layar iQOO 15 juga telah meraih Double Eye Protection Certification pertama di industri dari TÜV Rheinland.
Smartphone ini dilengkapi dengan kamera utama 50MP Sony IMX921 yang dipasangkan Bersama dengan 50MP Ultra Wide-Angle Camera, serta 50MP Periscope Camera dengan sensor IMX882 yang menghadirkan kualitas foto potret terbaik pada zoom optik 3x dan digital hingga 100x.
iQOO 15 hadir dalam dua pilihan warna premium, Legend dan Alpha, dengan desain flat yang modern, radius sudut yang lebih halus, serta bodi yang kokoh berkat sertifikasi IP68 dan IP69 Dust and Water Resistance.
iQOO 15 resmi hadir di Indonesia dengan tiga pilihan kapasitas. Varian dengan kapasitas 12GB + 256GB dijual seharga Rp12.999.000, sementara kapasitas 16GB + 512GB dibanderol Rp13.999.000, dan varian tertinggi dengan kapasitas 16GB + 1TB dijual Rp15.999.000.
-

Ponsel Flagship iQOO 15 Resmi Hadir di Indonesia, Harga Mulai Rp12 Jutaan Aja
JAKARTA – iQOO 15, smartphone flagship generasi terbaru dengan chipset Snapdragon 8 Elite Gen 5, unit komputasi terbaru dari Qualcomm ini mampu mencetak skor AnTuTu v11 hingga 4,386,144 poin, resmi diluncurkan ke pasar Indonesia.
Kombinasi ini menghadirkan peningkatan performa CPU hingga 32% dan GPU hingga 23%, menawarkan level efisiensi dan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya
Selain mengandalkan chipset berkekuatan paling tinggi, iQOO 15 juga kembali membawa Supercomputing Chip Q3, sistem cip ganda khusus untuk mengolah grafis hasil pengembangan internal iQOO yang terdiri dari tiga inti yaitu DA Core, RT Core, dan AI Core.
Hasilnya, smartphone ini mampu meningkatkan efek visual, stabilitas frame rate, hingga efisiensi daya untuk gaming. Teknologi seperti Self-Developed Ray Tracing serta iQOO Neural Super Sampling (QNSS), juga memungkinkan gim dapat berjalan lebih mulus da kualitas gambar lebih tinggi sekaligus minim latensi denan resolusi hingga 144Hz.
Performa ini semakin ditunjang oleh 8K Ultra VC Cooling System, thermal gel khusus, dua lapis grafit, serta VC heat plate super-besar, yang bekerja menjaga kestabilan suhu dalam sesi gaming maupun streaming paling intens sekalipun.
Baterai besar 7000mAh BlueVolt Battery memungkinkan pengguna memutar musik hingga 50,4 jam atau menonton YouTube hingga 32,6 jam secara kontinu. Smartphone ini juga mendukung 100W FlashCharge dan 40W wireless charging, serta dilengkapi fitur Battery Life Extender.
Dari segi layer, iQOO 15 menjadi perangkat pertama di dunia yang menggunakan 2K M14 LEADTM OLED Display, panel ini menggantikan lapisan polarizer tradisional dengan 2K Nano Lithography Filter Layer khusus.
Tingkat kecerahan layar mencapai 2600 nits pada mode HBM dan hingga 6000 nits pada local peak brightness. Selain itu, layar iQOO 15 juga telah meraih Double Eye Protection Certification pertama di industri dari TÜV Rheinland.
Smartphone ini dilengkapi dengan kamera utama 50MP Sony IMX921 yang dipasangkan Bersama dengan 50MP Ultra Wide-Angle Camera, serta 50MP Periscope Camera dengan sensor IMX882 yang menghadirkan kualitas foto potret terbaik pada zoom optik 3x dan digital hingga 100x.
iQOO 15 hadir dalam dua pilihan warna premium, Legend dan Alpha, dengan desain flat yang modern, radius sudut yang lebih halus, serta bodi yang kokoh berkat sertifikasi IP68 dan IP69 Dust and Water Resistance.
iQOO 15 resmi hadir di Indonesia dengan tiga pilihan kapasitas. Varian dengan kapasitas 12GB + 256GB dijual seharga Rp12.999.000, sementara kapasitas 16GB + 512GB dibanderol Rp13.999.000, dan varian tertinggi dengan kapasitas 16GB + 1TB dijual Rp15.999.000.

/data/photo/2025/12/04/6930b2a06f6d4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

