Blog

  • Misteri Kematian Diplomat Kemenlu Sedikit Terungkap, Polisi Curigai Pria Bersarung Tanpa Baju

    Misteri Kematian Diplomat Kemenlu Sedikit Terungkap, Polisi Curigai Pria Bersarung Tanpa Baju

    GELORA.CO  – Kematian seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) berinisial ADP (39) di sebuah indekos di Jalan Gondangdia Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, masih terus diselidiki oleh pihak kepolisian.

    Video yang diterima pada Sabtu (12/7/2025), terlihat ada rekaman CCTV yang merekam seorang pria telanjang dada, hanya memakai sarung di depan kamar kos diplomat muda ADP (39).

    Terlihat, rekaman itu menujukan pukul 00.27 WIB, Selasa (8/7/2025). 

    Kemudian, pada jam itu sosok pria yang diduga sebagai penjaga indekos itu melintas. Ia tampak berjalan ke ujung lorong pintu keluar. 

    Selanjutnya, diduga penjaga indekos itu  terlihat menengok-nengok ke arah kamar ADP sembari memegang handphone.

    Lalu, diduga penjaga indekos itu tak hanya memegang handphone, namun juga tampak sambil berbicara. 

    Di akhir video, pria yang diduga indekos itu pun sempat berhenti di depan pintu indekos ADP, sambil berbicara lewat handphone.

    Sebelumnya, terlihat dua orang terekam kamera pengawas atau Circuit Closed Television (CCTV), sedang mengecek kamar ADP. 

    Saat didepan pintu ADP, kedua orang tersebut mencoba mencongkel pintu kamar dengan menggunakan diduga obeng lewat jendela. 

    Usai berhasil membuka jendela, salah satu dari mereka yang diduga penjaga Indekos itu pun mencoba membuka pintu dari dalam. 

    Kemudian, orang yang sedang sibuk membuka pintu dari dalam lewat jendela itu pun berhasil membuka pintu, dengan aksi itu divideokan oleh rekannya. 

    Usai berhasil membobol pintu Indekos, salah satu dari mereka pun memasuki kamar dengan mengecek sitausi didalam kamar ADP. 

    Selanjutnya, aksi mereka mengecek kedalam pun tetap sambil merekam menggunakan handphone. 

    Setelah mengecek kedalam, keduanya pun lalu meninggalkan kamar ADP dengan pintu terbuka. 

    Diketahui, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya kini menangani kasus kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Arya Daru Pangayunan (ADP, 39) di sebuah indekos di Jalan Gondangdia Kecil, Menteng, Jakarta Pusat.

    Hal tersebut dibenarkan Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Putu Kholis Aryana, Kamis (10/7/2025).

    “Betul (Ditreskrimum Polda Metro Jaya sedang menangani kasus kematian diplomat inisial ADP),” ujarnya, saat dikonfirmasi.

    Mantan Kapolres Malang tersebut menuturkan, kasus kematian diplomat ini sedang tahap penyelidikan. 

    “Dalam penyelidikan,” ujar Putu Kholis, secara singkat.

    Kapolsek Metro Menteng, Kompol Rezha Rahandhi juga membenarkan kasus kematian diplomat ditangani Ditreskrimum Polda Metro Jaya.

    “Untuk saat ini, perkara penemuan jenazah di kosan Gondangdia ditangani oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” kata Rezha.

  • Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Jakarta

    Para Sherpa, sejak lama digambarkan sebagai “manusia super” yang berperan sebagai pemandu dan porter di Gunung Everest. Mereka menghadapi banyak bahaya di gunung dan kini mulai berbagi kisah dari sudut pandang mereka. Adakah cara meminimalisir risiko pekerjaan mereka?

    Radio di Posko Utama Gunung Everest sempat berbunyi, lalu hening.

    Dorchi Sherpa, pemimpin posko saat itu, menempelkan alat itu ke telinganya, berusaha mendengar siaran lain.

    Di luar tendanya, siluet besar pegunungan Himalaya terlihat di langit fajar.

    Tenda-tenda ekspedisi tersebar di punggung bukit berbatu di bawahnya, ramai dengan aktivitas pada tanggal 22 Mei, hari tersibuk musim pendakian semi 2024.

    “Saat mendengar transmisi terakhir itu, hati saya mencelos,” kata Dorchi pada saya kemudian, wajahnya serius mengingat kejadian itu. “Cuaca cerah, tapi jelas ada sesuatu yang salah di atas sana.”

    Pesan yang terputus-putus itu adalah panggilan darurat terakhir dari Nawang Sherpa, pemandu berusia 44 tahun. Ia sedang memimpin Cheruiyot Kirui, seorang pendaki asal Kenya, menuju puncak gunung tertinggi di dunia itu.

    Para pemandu dan porter terkenal di Himalaya ini, seringkali salah digambarkan sebagai “manusia super”, seolah-olah mereka tidak terpengaruh oleh ketinggian, usaha keras, dan kekurangan oksigen.

    Namun, prestasi legendaris mereka di Everest datang dengan pengorbanan besar, seperti yang diungkap dalam banyaknya penelitian, serta wawancara dengan para pendaki, dokter, dan pejabat setempat.

    Jadi, apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2024dan apa yang diungkapkannya tentang perjuangan yang lebih besar terkait kesehatan dan kesejahteraan Sherpa?

    ‘Klien kelihatan tidak sehat’

    Seperti kebanyakan tragedi di Everest, kejadian ini bermula dari ambisi, dan bagi si pemandu, kebutuhan ekonomi.

    Nawang Sherpa, yang bekerja untuk perusahaan trekking asal Nepal, memulai pendakian terakhirnya menuju puncak Everest bersama Kirui.

    Istilah “Sherpa”, yang kini sering digunakan sebagai sebutan pekerjaan untuk pemandu di Himalaya, sebenarnya merujuk pada kelompok etnis dari dataran tinggi timur Nepal.

    Nawang Sherpa, dan orang-orang lain dengan nama keluarga Sherpa yang disebutkan dalam artikel ini, termasuk dalam kelompok etnis tersebut, selain juga bekerja sebagai pemandu.

    Sejak kegiatan pendakian gunung dimulai di wilayah itu, orang-orang Sherpa telah membawa beban terberat di Gunung Everest, mulanya untuk penjelajah kolonial, dan kemudian, untuk para turis.

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang selalu membawa beban terberat dalam setiap pendakian.

    Kirui berusaha bergabung dengan kelompok pendaki yang mencapai puncak tanpa bantuan oksigen tambahan.

    Sejak 1953, ketika Everest pertama kali didaki, hanya sekitar 2% dari semua pendakian yang sukses hingga ke puncak, menurut catatan dari Himalayan Database.

    Dalam unggahan media sosialnya sebelum ekspedisi, Kirui menunjukkan kegembiraannya mencoba pendakian “murni” ini, setelah sebelumnya berhasil mendaki gunung lain tanpa bantuan oksigen.

    Tantangan mendaki tanpa peralatan pendukung, jelas merupakan batas petualangan baru bagi pendaki gunung berpengalaman itu.

    Pada saat-saat kritis di ketinggian gunung, ketika tabung oksigen dibutuhkan, masih belum jelas apakah penolakannya adalah pilihan yang disengaja sesuai dengan ambisi yang ia inginkan, atau apakah penilaiannya sudah terganggu karena dampak ketinggian.

    Dorchi Sherpa, manajer posko utama, menerima transmisi radio dari Nawang saat mereka mencapai ketinggian 8.800 meter.

    Pada ketinggian itu, yang oleh para pendaki disebut zona kematian, tubuh manusia mulai mati. Dengan tekanan atmosfer sepertiga dari permukaan laut, napas mulai sulit dan hanya memberikan sedikit oksigen untuk mempertahankan fungsi dasar tubuh.

    “Kliennya sepertinya tidak sehat,” suara Nawang Sherpa berderak sampai ke Posko Utama pada pukul 08:07, gangguan angin membuat kata-katanya terputus-putus saat ia melapor kepada Dorchi.

    “Oksigen,” jawab Dorchi Sherpa segera. “Pasangkan dia oksigen dan mulailah turun.”

    Menurut Dorchi Sherpa, Nawang memohon kepada Kirui selama beberapa menit untuk menerima tabung oksigen tambahan dari ranselnya.

    Kirui menolak, kata Dorchi. “Tidak pakai oksigen,” ia mengulang dengan gelisah. “Tidak pakai oksigen.”

    Pada pukul 09:23, ketika suara Nawang Sherpa kembali melalui radio, ketakutan telah menggantikan kekhawatiran. “Tidak bisa menggerakkannya,” lapornya. “Dia jadi… marah. Saya tidak bisa menyeretnya turun sendirian.”

    Selama dua jam berikutnya, Kirui menolak oksigen tambahan meski Nawang Sherpa mendesaknya berulang kali untuk menggunakannya, menurut Dorchi Sherpa.

    Meskipun menunjukkan tanda-tanda jelas penyakit ketinggian, termasuk merasa linglung dan bicara cadel, pendaki Kenya itu tetap bertekad untuk melanjutkan pendakiannya tanpa oksigen tambahan.

    Getty ImagesPara pendaki jalan beriringian menuju puncak Everest.

    Jalan buntu ini berujung fatal. Kedua pria itu meninggal di Everest. Jasad mereka masih di sana: jasad pendaki Kenya itu tetap berada di lokasi terakhir ia terlihat, sementara jasad Nawang belum ditemukan.

    Tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi pada saat-saat terakhir yang krusial itu dan kemungkinan besar, kita tidak akan pernah tahu.

    Tentu saja, semua orang memulai perjalanan dengan niat terbaik. Kekasih Kirui, Nakhulo Khaimia, menggambarkan perjalanan itu sebagai impian lama baginya, yang telah ia persiapkan dengan cermat.

    “Dia mencurahkan waktu, energi, dan seluruh hidupnya untuk itu,” katanya. “Kehidupannya berputar pada persiapan untuk Everest.”

    James Muhia, yang tidak ikut dalam ekspedisi Everest tetapi pernah mendaki gunung lain bersama Kirui tanpa oksigen, mengatakan ia percaya temannya membawa tabung oksigen untuk digunakan dalam keadaan darurat.

    “Apakah dia menggunakan tabung darurat itu atau tidak, kita tidak tahu,” katanya.

    Sementara itu, Nawang adalah pemandu gunung berpengalaman yang belum pernah mencapai puncak Everest sebelumnya, tetapi telah mencapai puncak-puncak tinggi lainnya di Himalaya, menurut keluarganya.

    Namun, mereka yang bekerja di gunung, memperingatkan sejumlah faktor, termasuk kondisi kerja para Sherpa, dapat membuat situasi mematikan semacam ini menjadi sangat rumit, dan sulit diselesaikan dengan aman.

    Sorotan kepada Sherpa

    Menurut Sanu Sherpa, seorang pemandu veteran yang memegang rekor sebagai satu-satunya orang yang telah mencapai puncak ke-14 gunung dengan ketinggian 8.000 mdpl sebanyak dua kali, kematian Nawang bukanlah tragedi yang tiba-tiba terjadi, melainkan pola yang dapat diprediksi dalam pendakian gunung.

    Saya berbicara dengan Sanu Sherpa di apartemennya di Kathmandu, saat ia sedang bersiap untuk pendakian ke-45. Meskipun telah dua kali mendaki ke-14 gunung tertinggi di dunia, ia tidak berbicara tentang kepuasan pribadi melainkan tentang kewajiban profesional.

    “Saya tidak berpikir Nawang ceroboh atau bodoh,” katanya. “Dia melakukan persis seperti apa yang telah kami pelajari dalam pelatihan untuk bertanggung jawab hingga akhir. Tragedi ini bukan hanya karena dia meninggal, tetapi karena kematian adalah pilihan yang paling tepat secara profesional yang bisa dia buat.”

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang membawa barang-barang pendaki.

    Di Everest dan puncak-puncak Himalaya lainnya, tragedi yang melibatkan Sherpa seperti ini terjadi setiap tahun dengan sedikit perhatian publik, kata Sanu Sherpa. Ini menciptakan daftar panjang pengorbanan yang dilakukan demi ambisi orang asing.

    Dituntut untuk profesional sebagai pemandu dapat menempatkan mereka dalam bahaya besar, terutama jika digabungkan dengan risiko inheren melakukan pekerjaan berat di lingkungan ekstrem, demikian hasil beberapa penelitian.

    Pemandu Sherpa seringkali terjebak antara nilai-nilai tradisional pelayanan dan pengabdian, tekanan ekonomi dari industri di mana pemandu dipekerjakan berdasarkan reputasi pribadi mereka, dan kenyataan hidup atau mati saat bekerja di ketinggian ekstrem.

    Dalam situasi ini, kepuasan klien seringkali lebih diutamakan daripada keselamatan pribadi.

    Tragedi ini menyoroti risiko yang diambil oleh Sherpa seperti Nawang ketika mereka setuju untuk menemani seorang klien.

    Bekerja sebagai pemandu atau porter di Everest menawarkan peluang ekonomi langka di salah satu wilayah termiskin di dunia.

    Namun, pekerjaan ini menuntut harga yang tak tertandingi dalam profesi jasa apa pun, di mana para pekerja secara rutin mengorbankan kesejahteraan mereka demi klien.

    Ketika tragedi melanda, para Sherpa seringkali menghilang dari cerita.

    Menurut Himalayan Database, sebanyak 132 Sherpa tewas di lereng Everest, 28 di antaranya terjadi dalam 10 tahun terakhir.

    Mereka terjatuh ke jurang, hancur tertimpa serac yang runtuh (bongkahan es besar), atau menghilang begitu saja di luasnya gunung saat melayani klien mereka.

    Sementara para pendaki asing mungkin melihat bahaya ini sebagai risiko yang dapat diterima demi pencapaian pribadi mereka, bagi para pemandu dan porter di Everest, data tersebut menyajikan kenyataan tempat kerja yang suram: 1,2% dari pekerja ini meninggal saat bertugas.

    Ini adalah bahaya pekerjaan yang luar biasa menurut standar ukuran apa pun.

    Pada masa lalu, risiko yang dihadapi para Sherpa seringkali diremehkan. Sebaliknya, orang asing cenderung menonjolkan kekuatan dan ketahanan mereka.

    Ini adalah gambaran yang mulai secara terbuka ditentang oleh para Sherpa sendiri.

    Dawa Sherpa, perempuan Nepal pertama yang mendaki 14 puncak gunung tertinggi Himalaya itu, menyoroti kesalahpahaman berbahaya tentang Sherpa yang memiliki kemampuan manusia super.

    Ia telah menyaksikan dampak fisik yang terjadi: para pemandu menopang klien yang kesulitan selama berjam-jam, menyiapkan makanan di ketinggian, dan membatasi oksigen mereka agar klien bisa terus mendaki.

    “Mereka bukan manusia super. Sherpa sering memaksakan diri melampaui batas aman demi memprioritaskan tujuan puncak orang lain,” kata Dawa Sherpa.

    “Saya melihat mereka kembali dengan radang dingin atau kekurangan oksigen karena mereka mengorbankan keselamatan mereka demi pencapaian orang lain.”

    Ia mencatat bahwa pendaki kaya terkadang mempekerjakan beberapa Sherpa per ekspedisi.

    Ketika kelelahan saat turun, mereka berharap untuk dibantu secara fisik ke bawah. Dinamika ini, ia menekankan, membuat gunung menjadi lebih berbahaya bagi mereka yang memikul beban terberat.

    Kekuatan yang tidak setara

    Saat berbicara tentang bahaya yang mereka hadapi, para Sherpa yang diwawancarai oleh BBC terus kembali ke masalah mendasar dari ketidakseimbangan kekuatan yang sangat tidak setara: ketidakmampuan pemandu untuk menolak permintaan berbahaya klien, bahkan ketika kesehatan mereka terancam, karena takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

    “Sherpa tidak mendaki untuk ketenaran dan kemuliaan, atau untuk suatu pencapaian.

    Mereka mendaki karena terkadang itu satu-satunya sumber penghidupan. Kenyataan mendasar itulah yang membentuk setiap keputusan yang dibuat di gunung,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal (NMA).

    Asosiasi ini menyediakan program pelatihan bagi pemandu dan porter untuk meningkatkan standar keselamatan dan kualifikasi profesional.

    “Kendala sistemik ini membantu menjelaskan mengapa pemandu seperti Nawang membuat pilihan yang mereka lakukan,” kata Nuru Sherpa.

    “Konsekuensi profesional dari meninggalkan klien, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan dalam industri berbasis reputasi, kemungkinan besar sama beratnya dengan masalah keselamatan langsung pada saat-saat pengambilan keputusan ketika seseorang kehilangan oksigen.”

    Dia menambahkan, “Ketika seluruh keluarga Anda bergantung pada pekerjaan Anda sebagai pemandu gunung, pergi begitu saja menjadi hampir tidak mungkin.”

    Sementara itu, prestasi luar biasa para Sherpa sendiri cenderung menarik sedikit perhatian. Pada Mei 2025, Sherpa Nepal, Kami Rita memecahkan rekornya sendiri untuk jumlah pendakian Gunung Everest terbanyak, ketika ia mendaki puncak tertinggi di dunia untuk ke-31 kalinya.

    Sanu Sherpa mengatakan bahwa pencapaiannya sebagian besar tetap tidak diakui bahkan di Nepal sendiri, sementara prestasi yang jauh lebih kecil oleh pendaki gunung asing seringkali menerima perayaan dan imbalan finansial yang lebih besar.

    Getty ImagesPencapaian Sherpa tidak banyak mendapat pengakuan, dibandingkan pendaki asing dengan sedikit pencapaian tetapi mendapat imbalan finansial yang besar.

    Membawa sampanye ke Everest

    Hubungan tidak setara antara pendaki Barat dan Sherpa lahir dalam bayang-bayang kolonialisme.

    Ketika ekspedisi Inggris pertama kali mendekati Gunung Everest pada tahun 1920-an, mereka merekrut pria lokal sebagai “kuli”istilah yang dipinjam dari masa kolonialuntuk membawa perlengkapan mereka yang sangat banyak, termasuk semuanya mulai dari peralatan makan perak hingga kotak sampanye.

    Sherpa-Sherpa awal ini hanya menerima sedikit pengakuan. Nama mereka jarang muncul dalam catatan ekspedisi, kecuali jika terjadi bencana.

    Dalam kronik salah satu ekspedisi awal ini, petualang Inggris George Mallory menyebut mereka terutama ketika tujuh porter tewas dalam longsoran saljukematian pertama yang tercatat di Everest.

    Pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan pudarnya kesan imperial dalam pendakian gunung, dinamika mulai bergeser.

    Pendakian Tenzing Norgay pada 1953 bersama Edmund Hillary terpaksa mengakui keterampilan Sherpa, setelah pers internasional awalnya meremehkan pencapaiannya, menggambarkannya sebagai pendamping yang mengagumkan dan teman yang ceria bagi Hillary yang heroik.

    Era komersial dimulai pada 1980-an, mengubah Everest menjadi pasar dan Sherpa menjadi penyedia layanan penting.

    Ketika klien kaya dengan keterampilan teknis terbatas mulai mengejar puncak, tanggung jawab Sherpa meluas secara dramatis.

    Tidak lagi hanya pembawa beban, mereka menjadi pemandu, teknisi keselamatan, dan terkadang penyelamat, peran yang menuntut keterampilan lebih besar tetapi datang dengan otoritas tambahan yang terbatas.

    Pemimpin ekspedisi Barat mempertahankan kekuatan pengambilan keputusan sementara Sherpa menanggung peningkatan risiko fisik.

    Bencana menjadi titik balik. Pada 2014, 16 pekerja Nepal tewas dalam satu longsoran salju saat mempersiapkan rute untuk klien komersial, Sherpa di seluruh Everest melakukan penghentian kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Tindakan kolektif mereka memaksa perhitungan dalam ketidakadilan pada industri wisata alam itu dan menghasilkan perbaikan sederhana dalam cakupan asuransi dan kompensasi.

    Para ahli memperingatkan, akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan antara pemandu dan klien, dalam lingkungan ekstrem di mana pemikiran seseorang menjadi kabur akibat ketinggian, dan setiap keputusan yang salah bisa berakibat fatal.

    Hasilnya, mereka memberi tahu BBC, industri wisata alam ekstrem itu telah menormalisasi kondisi yang mengancam jiwa sebagai bagian dari deskripsi pekerjaan bagi para pemandu, yang harus secara rutin menempatkan diri mereka dalam bahaya besar untuk memenuhi aspirasi pelanggan mereka.

    Kabut Otak

    Di Dingboche, pada ketinggian 4.410 meter di jalur menuju Everest Base Camp, petugas medis ekspedisi Abhyu Ghimire bergerak di antara ruang-ruang pemeriksaan di Mountain Medical Institute.

    Di luar jendelanya, puncak-puncak Ama Dablam yang bergerigi menjulang di antara langit biru cerulean. Ini adalah musim ekspedisi, dan hari-harinya membentang dari fajar hingga jauh setelah senja.

    Setelah berhasil mencapai puncak Everest sendiri dan bekerja sebagai petugas medis selama hampir satu dekade, dia telah menyaksikan secara langsung bagaimana ketinggian memengaruhi pikiran dan tubuh.

    Efek ini dapat semakin memperumit dinamika klien-pemandu, keputusan yang dibuat dan membahayakan nyawa.

    “Otak menjadi sangat ‘berkabut’ di ketinggian,” jelasnya dalam panggilan video di antara konsultasi pasien. “Otak seharusnya berfungsi pada saturasi oksigen 99% di atas permukaan laut. Di sana, bahkan saturasi oksigen 50-60% sering terdeteksi.”

    Kemunduran kognitif ini, tidak terlihat tetapi berpotensi mematikan, mengubah kepribadian dan pengambilan keputusan dengan cara yang menentang penjelasan rasional.

    “Otak berfungsi jauh di bawah kapasitas dan pengambilan keputusan menjadi sangat terganggu,” kata Ghimire. “Ini bahkan dapat menyebabkan halusinasi.”

    Transformasi ini bisa mendalam dan membingungkan: “[Bahkan] sahabat Anda di ketinggian itu dapat memicu reaksi yang sangat intens di sana, sehingga jika seseorang hanya meminta Anda untuk mengoper botol air, Anda mungkin melemparkannya ke wajah mereka. Seseorang yang familiar menjadi orang asing,” jelasnya.

    Menurut Ghimire, pendaki Kenya Kirui akan mengalami kerusakan kognitif progresif saat dia mendaki lebih tinggi tanpa oksigen tambahan.

    Pada saat Nawang Sherpa menghubungi base camp untuk melaporkan kliennya tampak tidak sehat, pusat pemikiran rasional Kirui mungkin sudah tidak berfungsi, kata Ghimire.

    Penolakan Kirui terhadap oksigen tambahan sejalan dengan efek paradoks hipoksia (kekurangan oksigen) yang dikenal: semakin otak kekurangan oksigen, semakin tidak mampu ia mengenali gangguannya.

    Penilaian Nawang Sherpa sendiri akan semakin terganggu oleh ketinggian meskipun ia menggunakan oksigen tambahan, kata Ghimire, karena oksigen dalam tabung tersebut tidak cukup untuk memberikan kondisi oksigen setara dataran biasa kepada pendaki, melainkan, hanya memberikan oksigen sebanyak yang akan mereka miliki pada ketinggian sekitar 6.000 7.000m.

    Pasokan oksigen yang terbatas ini, bersama dengan kelelahan, potensi dehidrasi, dan dingin ekstrem yang dihadapi pemandu, dapat mengurangi kejernihan mentalnya sendiri, kata Ghimire.

    Selain itu, Nawang Sherpa akan menghadapi apa yang Ghimire gambarkan sebagai masalah umum: “Sering kali, klien yang menghadapi hipoksia menjadi sulit dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan pemandu mereka.”

    Bahaya tersembunyi di ketinggian yang lebih rendah

    Tantangan fisik yang dihadapi para pekerja gunung di Nepal jauh melampaui momen-momen krisis di atas Base Camp.

    Dampak fisik sehari-hari dimulai jauh lebih rendah dari puncak gunung, menumpuk selama bertahun-tahun pelayanan mereka.

    “Pada ketinggian di atas 4.000m, tinggal untuk waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gunung kronis,” Ghimire menjelaskan.

    Kondisi ini, yang secara medis dikenal sebagai penyakit Monge (atau Penyakit Gunung Kronis), bermanifestasi sebagai trias gejala berbahaya: “polisitemia, di mana darah menjadi sangat kental, hipertensi pulmonal, di mana paru-paru menjadi tertekan, dan hipoksia kronis, yaitu oksigen yang terus-menerus rendah dalam darah,” katanya.

    Getty ImagesSalah satu pendaki di Himalaya.

    Ada juga risiko berbeda untuk pemandu Sherpa dan non-Sherpa. Etnis Sherpa memiliki adaptasi genetik terhadap ketinggian selama beberapa generasi, sementara pekerja yang semakin banyak direkrut dari kelompok Nepal lainnya tidak memiliki keunggulan biologis ini, kata Ghimire.

    Perbedaan ini penting secara medis, karena mereka yang tidak memiliki adaptasi ketinggian menghadapi risiko yang jauh lebih tinggi saat melakukan pekerjaan yang sama di lingkungan yang kekurangan oksigen.

    Dinamika populasi di wilayah Khumbu memperparah risiko ini. “Banyak orang dari dataran rendah datang ke sini mencari pekerjaan,” kata Ghimire. “Mereka bermigrasi ke dataran tinggi tetapi tidak memiliki dua gen yang telah diteliti yang akan membuat mereka lebih tangguh terhadap kondisi ini.

    Mereka terpaksa menghabiskan waktu lama di dataran tinggi, yang menyebabkan masalah jantung, masalah darah, kekurangan vitamin D, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.”

    Menurut Nima Ongchuk Sherpa, seorang dokter dari Khunde, tiga porter dari daerah yang lebih rendah telah kehilangan nyawa akibat komplikasi terkait ketinggian tahun ini, bahkan semuanya di bawah base camp.

    Dukungan lebih banyak untuk sherpa

    Di markas Departemen Pariwisata di pusat Kathmandu, Rakesh Gurung, mantan direktur bagian pendakian gunung, berbicara dengan kekhawatiran yang terukur.

    Duduk di balik meja kayu tua di kantor pemerintahan sederhana, tempat izin pendakian diproses dan peraturan ekspedisi dirancang, ia merenungkan tantangan industri.

    “Ada kegagalan sistematis dalam memberikan keselamatan yang layak bagi Sherpa,” ia mengakui. “Meskipun kami memiliki peraturan dasar, membuat dan menegakkan kode etik yang komprehensif terbukti sangat sulit.

    Industri ini terfragmentasi, dengan lusinan operator bersaing dalam harga daripada standar keselamatan.”

    Dia mengatakan departemen pariwisata kekurangan sumber daya dan keahlian khusus untuk secara efektif memantau apa yang terjadi di ketinggian ekstrem.

    Selain itu, lanskap politik Nepal yang terus berubah mempersulit penyusunan rencana yang efektif, katanya.

    “Kami telah memiliki beberapa pemerintahan yang berbeda dalam dekade terakhir saja, pengembangan kebijakan yang konsisten hampir tidak mungkin. Setiap pemerintahan baru membawa prioritas yang berbeda dalam manajemen pariwisata.”

    Ketidakseimbangan kekuatan ini melampaui hubungan pemandu-klien individual hingga kerangka peraturan itu sendiri, serta ekonomi tenaga kerja di ketinggian. Seorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 (antara Rp80 juta – Rp190 juta) dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399 (Rp22 juta).

    Namun, penghasilan ini menopang keluarga dan datang dengan risiko fisik yang luar biasa. Ketika tragedi menimpa, jaring pengaman finansial tetap tidak memadai, kata para pemandu.

    “Yang hilang adalah perhitungan berkelanjutan dengan ketidakadilan struktural yang membuat Nepal terikat pada ekonomi berbahaya ini, dan ketiadaan alternatif nyata,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal.

    “Ketika suatu komunitas memiliki pilihan terbatas, gunung menjadi bukan hanya latar belakang kita tetapi sebuah keharusan, terlepas dari dampak fisik.”

    Pemerintah baru-baru ini meningkatkan asuransi jiwa wajib untuk Sherpa menjadi sekitar $14.400 (Pound 10.825), tetapi para pemandu mengatakan ini jauh dari cukup untuk memberikan kompensasi kepada keluarga yang bergantung atas hilangnya pendapatan dan perawatan seumur hidup.

    Keluarga Nawang Sherpa menerima pembayaran asuransi standar ini setelah kematiannya, dengan majikannya mengumpulkan sumber daya tambahan untuk memberikan beberapa dukungan tambahan.

    Getty ImagesSeorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399.

    Bahkan peraturan keselamatan dasar pun sulit ditegakkan di tempat kerja tertinggi di dunia.

    Menurut Departemen Pariwisata, peraturan pendakian gunung di Nepal secara eksplisit melarang pendakian solo di atas 8.000 meter demi alasan keselamatan. Namun, setiap musim selalu ada pendaki terkenal yang mencoba upaya semacam itu, dengan sedikit konsekuensi.

    Sandesh Maskey, seorang petugas ekspedisi di Departemen Pariwisata, mengatakan bahwa pendaki dilarang mendaki Everest sendirian.

    “Kami belum memberikan izin kepada [pendaki solo] untuk melakukan ini sendirian. Itu tidak etis dan mereka akan melanggar hukum jika melakukannya.”

    “Kami berharap pendaki bersikap etis, tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang melanggar aturan karena mereka tahu bahwa begitu mereka berada di gunung, kami tidak memiliki cara praktis untuk memantau atau menghentikan mereka,” katanya.

    “Begitu pendaki bergerak di atas Base Camp, mekanisme pengawasan tradisional menjadi tidak praktis.”

    Musim semi ini, sebagai tanggapan atas meningkatnya masalah keselamatan, Departemen Pariwisata menerapkan peraturan baru untuk musim pendakian 2025.

    Baca juga:

    Semua ekspedisi ke puncak di atas 8.000 meter sekarang harus menjaga rasio satu pemandu untuk setiap dua pendaki.

    Departemen juga telah membuat perangkat teknologi reflektor wajib untuk semua ekspedisi guna membantu menemukan pendaki yang hilang.

    Namun Sanu Sherpa, pemandu berpengalaman di Kathmandu yang sedang mempersiapkan ekspedisi berikutnya, ragu bahwa ini akan mengubah banyak halmengingat betapa sulitnya menegakkan aturan-aturan ini di Everest.

    Saat dia bersiap untuk memulai ekspedisi Everest lagi keesokan harinya, dia mengakui bahwa dia selalu ingin berhenti dari pekerjaannya.

    “Sangat menakutkan dengan empat anak dan hidup mereka sepenuhnya bergantung pada saya. Mereka bertanya mengapa saya mendaki gunung sama sekali.”

    Kisah ini diperbarui pada 02/06/2025 untuk memperjelas bahwa Cheruiyot Kirui belum pernah mendaki Gunung Everest tanpa oksigen sebelumnya.

    Versi Bahasa Inggris dari Artikel ini berjudul ‘It’s terrifying’: The Everest climbs putting Sherpas in danger dapat Anda baca di laman BBC Future.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Serangan ke Pangkalan Militer Al-Udeid di Qatar Bisa Terulang

    Serangan ke Pangkalan Militer Al-Udeid di Qatar Bisa Terulang

    GELORA.CO  – Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengeluarkan peringatan keras kepada Amerika Serikat pada Jumat (11/7/2025).

    Khamenei dengan tegas mengatakan bahwa serangan terhadap Pangkalan udar Al- Udeid di Qatar, yang menjadi markas utama militer AS di Timur Tengah dapat terulang jika ketegangan militer terus meningkat.

    “Penyerangan terhadap Pangkalan Udara Al Udeid bukanlah insiden kecil, melainkan insiden besar yang dapat terulang,” kata pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei, dikutip dari Al-Arabiya.

    Pernyataan ini merujuk pada serangan rudal balistik yang dilancarkan Iran bulan lalu sebagai balasan atas serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran.

    Khamenei menekankan bahwa Iran memiliki kemampuan untuk menjangkau dan menghantam situs-situs militer penting milik Amerika di kawasan.

    “Kami mampu mencapai situs-situs penting Amerika di kawasan itu,” kata Khamenei.

    Rudal Iran Menghantam Pangkalan AS

    Pada 23 Juni lalu, satu rudal balistik iran berhasil menghantam Pangkalan udara Al-Udeid.

    Menurut pernyataan Pentagon, rudal tersebut menyebabkan kerusakan ringan pada radome, struktur pelindung peralatan komunikasi, meski tidak ada laporan korban luka.

    Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, mengklaim bahwa sebagian besar rudal lainnya berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara gabungan AS-Qatar. 

    “Satu rudal balistik Iran menghantam Pangkalan Udara Al Udeid pada 23 Juni, sementara rudal lainnya dicegat oleh sistem pertahanan udara AS dan Qatar,” kata Parnell.

    Menurutnya, tidak ada dampak serius sehingga pangkalan udara tersebut dapat berfungsi kembali.

    “Tidak ada korban luka. Pangkalan Udara Al Udeid tetap beroperasi penuh dan mampu menjalankan misinya, bersama mitra Qatar kami, untuk memastikan keamanan dan stabilitas di kawasan,” ujar Parnell.

    Citra satelit terbaru memperlihatkan kerusakan pada salah satu fasilitas komunikasi di pangkalan tersebut. 

    Meskipun tidak signifikan secara struktural, insiden ini menunjukkan bahwa sistem pertahanan udara AS masih bisa ditembus.

    Sebagaimana hal ini diakui oleh Jenderal Dan Caine. 

    Ia menyebut serangan tersebut sebagai “pertempuran Patriot tunggal terbesar dalam sejarah militer AS.”

    Iran mengklaim bahwa serangan ke Al-Udeid adalah bagian dari Operasi Annunciation of Victory, sebagai respons atas apa yang disebutnya “agresi militer terang-terangan” oleh AS terhadap fasilitas nuklir Iran.

    Dalam pernyataannya, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menegaskan bahwa Al-Udeid adalah “aset strategis terbesar tentara Amerika di Asia Barat” dan bukan sekadar pangkalan biasa.

    “Pangkalan dan aset militer bergerak AS di kawasan tersebut bukanlah titik kekuatan, melainkan kerentanan utama,” demikian peringatan pernyataan tersebut, dikutip dari Al-Jazeera.

    Kementerian Pertahanan Qatar menyatakan bahwa sistem pertahanan udaranya berhasil mencegat sebagian besar rudal yang mengarah ke pangkalan Al-Udeid, dan bahwa mereka telah menerima peringatan sebelum serangan terjadi.

    “Pukul 19.30 waktu setempat, kami menerima laporan bahwa tujuh rudal diluncurkan dari Iran menuju Pangkalan Udara Al Udeid,” kata pejabat Qatar.

    Mereka mengonfirmasi bahwa pangkalan telah dievakuasi sebelum rudal menghantam, demi keselamatan personel.

    Meski demikian, Iran dengan tegas menyatakan bahwa serangannya tidak bertujuan menyasar rakyat atau infrastruktur sipil Qatar. 

    Dalam pernyataan resmi, Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran menyebut bahwa tindakan itu “tidak menimbulkan ancaman apa pun bagi negara sahabat dan persaudaraan, Qatar.”

    Sebagai informasi, Pangkalan Udara Al-Udeid merupakan pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, menampung sekitar 10.000 tentara. 

    Dibangun pada 1996, pangkalan seluas 24 hektar di barat daya Doha ini menjadi markas utama Komando Pusat AS (CENTCOM) untuk wilayah Asia Barat dan sekitarnya, mulai dari Mesir hingga Kazakhstan.

    Selain tentara AS, Al-Udeid juga menjadi rumah bagi Angkatan Udara Qatar, Inggris, serta sejumlah kontingen militer asing lainnya

  • Mitos Riza Chalid Kebal Hukum Sirna usai Ditetapkan Tersangka, Pengamat Ungkit Kasus Petral

    Mitos Riza Chalid Kebal Hukum Sirna usai Ditetapkan Tersangka, Pengamat Ungkit Kasus Petral

    GELORA.CO  – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, turut menyoroti penetapan tersangka Muhammad Riza Chalid.

    Perlu diketahui Riza Chalid sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung, pada 10 Juli 2025 kemarin.

    Gembong mafia migas itu terlibat kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) tahun 2018-2023.

    Menurut Fahmy, dengan penetapan tersangka, membuktikan Riza Chalid tidak kebal hukum.

    “Penersangkaan Riza Chalid  telah merobohkan mitos bahwa ia selama ini diyakini tidak tersentuh sama sekali oleh aparat penegak hukum,” ujar Fahmy kepada Tribunnews.com, dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/7/2025).

    Fahmy kemudian mengungkit kasus PT Petral pada 2014 silam. Ia menuding Riza Chalid terlibat dalam kasus tersebut.

    Riza Chalid menggunakan PT Petral di Singapura untuk merampok uang negara melalui bidding impor minyak dan blending impor Bahan Bakar Minyak (BBM). 

    Ia lalu mark-up biaya pengapalan melalui PT International Shipping dan mengolah minyak mentah menjadi BBM melalui PT Kilang Pertamina Internasional.

    “Pada saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengendus bahwa Petral digunakan oleh Riza Chalid sebagai sarang mafia migas, sehingga Dahlan akan membubarkan Petral.”

    “Tetapi tidak sanggup membubarkannya, lantaran menurut Dahlan Iskan bahwa backing Petral mencapai langit tujuh,” ujar Fahmy.

    Baru atas rekomendasi Tim Anti Mafia Migas, Presiden Jokowi berani bubarkan Petral. Tanpa endorse Jokowi mustahil Petral dapat dibubarkan. 

    “Namun, saat Menteri ESDM Sudirman Said akan menyerahkan hasil forensik audit korupsi Petral, konon menurut Sudirman Said, Jokowi mencegahnya sehingga tidak ada satu pun tersangka, termasuk Riza Chalid,” lanjut Fahmy. 

    Minta Prabowo Turun Tangan

    Fahmy juga menyebut, penetapan Riza Chalid sebagai tersangka menjadi momentum untuk Presiden Prabowo Subianto.

    Orang nomor satu di Indonesia itu diminta membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.

    Menurut Fahmy, kasus korupsi yang menyeret Riza Chalid tidak bisa berhenti hanya dengan penetapan tersangka.

    “Namun, juga harus menetapkan Riza Chalid sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) dan memburunya serta memproses hukum Riza Chalid dan tujuh tersangka lainnya hingga dijatuhi hukuman setimpal.”

    “Tanpa segera memproses secara hukum semua tersangka tersebut, maka pemberantasan korupsi pemerintahan Prabowo di Pertamina tidak lebih hanya pidato belaka dan (jangan) omon-omon saja,” tegasnya.

    Prabowo: Hampir Tiap Hari Kita Bongkar Korupsi

    Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatannya menyampaikan komitmennya dalam pemberantasan kasus korupsi.

    Seperti yang diutaran saat menghadiri acara Kongres IV Tidar, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Sabtu (17/5/2025) lalu.

    Mantan Menteri Pertahanan RI itu mengungkap, setiap hari kasus korupsi berhasil dibongkar.

    “Hampir tiap hari kita membongkar kasus-kasus korupsi dan tidak akan berhenti.”

    “Saya disumpah untuk menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan semua undang-undang yang berlaku.”

    “Siapa yang melanggar hukum, mempertahankan praktik-praktik yang mengakibatkan kerugian kekayaan negara (harus ditindak). Kekayaan negara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya, dikutip dari KOMPASTV.

    Prabowo mengeklaim, 6 bulan pertama pemerintahannya, ia dapat menyelamatkan triliunan rupiah uang rakyat.

    Ia juga memastikan aparat penegak hukum di bawahnya tidak akan berhenti memberantas korupsi. Meskipun mendapatkan ancaman-ancaman.

    “Saya tahu ada penegak-penegak hukum yang diancam. Saya tahu saya dapat laporan ada yang rumahnya didatangi, ada yang mobilnya diikuti, ada yang rumahnya difoto.”

    “Kita paham itu, tapi saya hanya ingin sampaikan kita tidak gentar. Saya tidak gentar (lawan korupsi),” tandas Prabowo.

    Riza Chalid Belum Jadi DPO

    Kejaksaan Agung menyatakan, belum memasukkan nama Muhammad Riza Chalid ke dalam daftar pencarian orang (DPO) meski sudah menetapkan raja minyak itu sebagai tersangka kasus korupsi minyak mentah di Pertamina.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan, belum dimasukkannya Riza sebagai DPO lantaran penyidik masih akan memeriksa yang bersangkutan dalam statusnya sebagai tersangka.

    Apabila Riza tidak memenuhi panggilan tersebut, maka bukan tidak mungkin dia bakal ditetapkan sebagai DPO oleh Kejagung.

    “Apakah yang bersangkutan akan dinyatakan dalam daftar daftar pencarian orang atau tidak, tergantung pada nanti proses pemanggilan yang akan disampaikan kepada yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Jumat (11/7/2025).

    Meski belum menetapkan Riza sebagai DPO, namun penyidik kata Harli tidak tinggal diam.

    Saat ini, Kejagung juga telah menggandeng Kementerian Imigrasi untuk memburu beneficial owner PT Orbit Terminal Merak (OTM) usai diketahui masih berada di luar negeri.

    “Karena yang bersangkutan sudah masuk dalam daftar cekal, kita berkoordinasi dengan instansi terkait termasuk Imigrasi yang mengurusi lalu lintas perjalanan orang ke dalam dan ke luar negeri,” jelasnya.

    Selain itu, penyidik dalam hal ini sudah berkoordinasi dengan perwakilan Kejaksaan RI di luar negeri guna mengawasi pergerakan dari Riza Chalid.

    “Kita juga berkoordinasi dengan pihak-pihak kita yang ada di luar negeri, para atase kita untuk melalukan monitoring (Riza Chalid) termasuk pihak-pihak lain, kita terus melakukan upaya-upaya,” pungkasnya

  • Iran Eksekusi Mati Pria di Depan Publik Atas Pemerkosaan-Pembunuhan Anak

    Iran Eksekusi Mati Pria di Depan Publik Atas Pemerkosaan-Pembunuhan Anak

    Jakarta

    Otoritas Iran melaksanakan eksekusi mati terhadap seorang pria yang dihukum karena memperkosa dan membunuh seorang anak perempuan. Eksekusi mati itu dilakukan depan publik pada hari Sabtu (12/7).

    Keluarga korban, dari kota Bukan di barat laut Iran, telah dilibatkan dalam proses hukum dan meminta eksekusi mati dilakukan di depan publik, menurut situs web berita milik pengadilan, Mizan Online.

    “Kasus ini mendapat perhatian khusus karena dampak emosional yang ditimbulkannya terhadap opini publik,” kata Mizan mengutip pernyataan Ketua Mahkamah Agung Provinsi, Naser Atabati, dilansir dari kantor berita AFP, Sabtu (12/7/2025).

    Hukuman mati dijatuhkan pada bulan Maret lalu, dan kemudian dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung Republik Islam tersebut.

    Eksekusi mati dilakukan di depan publik “atas permintaan keluarga korban dan warga negara, karena dampak emosional yang ditimbulkan kasus ini terhadap masyarakat”, kata Atabati.

    Eksekusi mati di depan publik, biasanya dengan cara digantung, bukanlah hal yang jarang terjadi di Iran, tetapi memang hanya terjadi dalam kasus-kasus yang dianggap sangat berat.

    Pembunuhan dan pemerkosaan dapat dihukum mati di Iran. Iran merupakan negara dengan eksekusi mati terbanyak kedua di dunia setelah China, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Dua Hari Pecah Ketuban Tanpa Tindakan, Irmawati Kehilangan Bayi di RS Kuningan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        12 Juli 2025

    Dua Hari Pecah Ketuban Tanpa Tindakan, Irmawati Kehilangan Bayi di RS Kuningan Megapolitan 12 Juli 2025

    Dua Hari Pecah Ketuban Tanpa Tindakan, Irmawati Kehilangan Bayi di RS Kuningan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Seorang ibu bernama
    Irmawati
    asal Kuningan, Jawa Barat, kehilangan bayinya setelah dua hari mengalami
    pecah ketuban
    tanpa penanganan medis di sebuah rumah sakit daerah setempat.
    Dalam konferensi pers bersama pengacara
    Hotman Paris
    Hutapea dan tim Hotman 911, Sabtu (12/7/2025), Irma mengatakan dirinya sempat dijanjikan menjalani operasi caesar pada Minggu (15/6/2025) pagi. Namun, dokter kandungan yang bertugas tidak kunjung datang.
    “Sudah ditunggu sampai jam 5.00 pagi di hari Minggu, tapi tetap enggak datang,” kata Irma.
    Selama dua hari berada di rumah sakit, Irma mengaku hanya mendapat obat dan pemeriksaan pembukaan, meski terus mengalami kontraksi hebat.
    “Tiap kali saya kontraksi, sakitnya luar biasa. Tapi hanya dikasih obat, lalu dicek pembukaan saja,” ujarnya.
    Menurut Irma, sejak awal kehamilan, dokter di rumah sakit itu sudah mengetahui bahwa ia mengidap autoimun dan tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal.
    “Dari awal kehamilan, dokter sudah bilang saya harus operasi caesar, enggak bisa lahiran normal,” kata dia.
    Sementara itu, Hotman Paris menjelaskan kejadian bermula saat Irma mengalami pecah ketuban di rumah pada Sabtu (14/6/2025) malam. Ia sempat dibawa ke bidan terdekat sebelum dirujuk ke rumah sakit.
    Namun hingga Minggu pagi, tidak ada dokter spesialis yang datang memeriksa kondisi Irma.
    “Bayangkan, dua hari di rumah sakit dalam keadaan kritis, tidak ada dokter yang datang. Dokter jaga pun tidak ada, dokter kandungan juga tidak datang,” ujar Hotman.
    Menurut Hotman, cairan ketuban Irma bahkan sudah membanjiri lantai rumah sakit, namun tetap tidak ada penanganan medis yang memadai.
    Ia juga menyebut bahwa Irma sempat mendapat perlakuan kurang menyenangkan saat bertanya kepada tenaga kesehatan.
    “Bahkan ketika Ibu Irma bertanya ke bidan, justru malah dimarahi,” ujar Hotman.
    Dokter kandungan baru datang pada Senin (16/6/2025) pagi. Saat itu, kondisi kandungan Irma diperiksa dan diketahui bayinya sudah tidak bergerak.
    “Ketika dicek, ternyata bayi dalam kandungan sudah meninggal. Padahal sejak Sabtu malam sudah pecah ketuban,” kata Hotman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • GDPS perluas layanan ke sektor energi dengan sediakan petugas SPBU

    GDPS perluas layanan ke sektor energi dengan sediakan petugas SPBU

    PT Garuda Daya Pratama Sejahtera (GDPS) menyediakan petugas SPBU AKR-BP di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Jawa Timur. ANTARA/HO-GDPS

    GDPS perluas layanan ke sektor energi dengan sediakan petugas SPBU
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 12 Juli 2025 – 12:21 WIB

    Elshinta.com – PT Garuda Daya Pratama Sejahtera (GDPS), bagian dari Garuda Indonesia Group, memperluas layanan ke sektor energi berupa penyediaan 600 petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

    Direktur Utama GDPS Cornelis Radjawane di Tangerang, Banten, Sabtu, mengatakan dalam kerja sama dengan PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR) itu, GDPS mengelola lebih dari 600 tenaga alih daya yang telah mendapatkan pelatihan kompetensi teknis dan pelayanan pelanggan sesuai standar BP-AKR.

    “Program pelatihan mencakup keselamatan kerja, etika pelayanan serta memberikan layanan operasional di SPBU BP,” kata Cornelis.

    Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga alih daya (TAD), GDPS mengatakan kolaborasi ini tidak hanya tentang penempatan ratusan tenaga kerja, tetapi juga tentang komitmen dalam menghadirkan kualitas layanan, kedisiplinan, dan keunggulan operasional secara menyeluruh.

    Pihaknya mengapresiasi kepercayaan BP-AKR dan melihat kerja sama ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk tumbuh bersama sektor energi dan ritel bahan bakar.

    Cornelis juga menekankan kolaborasi ini mencerminkan kesiapan GDPS dalam merespons kebutuhan industri energi secara menyeluruh.

    “Langkah ini sejalan dengan transformasi berkelanjutan yang dilakukan GDPS untuk menjadi penyedia solusi tenaga kerja yang adaptif, profesional, serta terintegrasi dengan teknologi,” kata dia.

    Sistem manajemen operasional GDPS juga telah didukung oleh teknologi pemantauan digital yang memungkinkan pengawasan penugasan kehadiran tenaga kerja di lapangan secara real-time.

    Pendekatan berbasis data ini memperkuat kemampuan GDPS dalam merespons tantangan operasional dengan lebih cepat, akurat, dan adaptif, selaras dengan dinamika industri energi yang sangat kompetitif dan menuntut efisiensi tinggi.

    Ekspansi GDPS ke sektor energi menjadi bukti bahwa perusahaan semakin adaptif dalam merespons dinamika pasar.

    Setelah sebelumnya sukses mengelola tenaga kerja di sektor aviasi, FMCG, transportasi publik, fasilitas, dan lainnya, kepercayaan dari BP-AKR memperkuat posisi GDPS sebagai mitra penyedia tenaga kerja strategis di berbagai sektor.

    “Ke depan, GDPS berkomitmen untuk terus memperluas cakupan layanan, memperkuat kapabilitas internal, serta membangun kolaborasi yang berkelanjutan dengan mitra-mitra industri strategis. Dengan pendekatan yang terukur dan inovatif, GDPS akan terus menciptakan layanan yang memberikan dampak nyata bagi pelanggan, tenaga kerja, dan masyarakat luas,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Legislator minta DKI perbanyak acara di Monas tingkatkan pariwisata

    Legislator minta DKI perbanyak acara di Monas tingkatkan pariwisata

    Arsip foto – Suasana kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat yang dipenuhi para wisatawan dari berbagai usia dan kalangan, Kamis (26/12/2024). ANTARA/Yamsyina Hawnan/am.

    Legislator minta DKI perbanyak acara di Monas tingkatkan pariwisata
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 12 Juli 2025 – 16:15 WIB

    Elshinta.com – Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Nova Harivan Paloh mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memperbanyak jumlah acara atau kegiatan yang berkualitas di Jakarta, khususnya Monumen Nasional (Monas) dalam mendorong pertumbuhan pariwisata dan ekonomi.

    “Ini karena acara-acara yang berkualitas dapat menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, serta meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja. Ini juga sejalan dengan visi Jakarta sebagai kota global,” kata Nova dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

    Monas, lanjut dia, merupakan salah satu ikon Kota Jakarta dan sebagai ruang terbuka hijau yang luas sekaligus sebagai tempat rekreasi.

    Monas dapat dioptimalkan sebagai botanical garden atau kebun botani yang memberikan ruang edukasi dan konservasi flora nusantara serta pusat riset tanaman langka khas Indonesia.

    Nova mengatakan, keberadaan Monas dapat memberikan pengalaman wisata sejarah serta edukasi yang menarik bagi berbagai kalangan, termasuk anak-anak.

    “(Monas) menjadi paru-paru kota sekaligus destinasi wisata edukatif ramah keluarga,” kata Nova.

    Komisi B DPRD DKI meminta Pemprov Jakarta untuk mengkaji ulang terkait wacana malam bebas kendaraan bermotor atau Car Free Night (CFN) agar pelaksanaan CFN tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat, khususnya aktivitas ekonomi.

    “Kebijakan Car Free Night perlu dikaji ulang secara menyeluruh untuk mengevaluasi efektivitas dan dampaknya,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Aparat Hukum Bisa Kehilangan Kepercayaan Publik

    Aparat Hukum Bisa Kehilangan Kepercayaan Publik

    GELORA.CO -Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi harus diperiksa oleh aparat penegak hukum dalam kasus pengaman situs judi online. Apalagi, nama Budi Arie kerap muncul dalam persidangan kasus tersebut. 

    “Budi Arie sudah layak diperiksa, bahkan menjadi terdakwa mengingat namanya sudah didengar muncul dalam perkara judol,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah kepada RMOL, Sabtu 12 Juli 2025. 

    Menurut Dedi, jika aparat penegak hukum tak memproses Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (Projo) itu maka aparat penegak hukum akan kehilangan trust atau kepercayaan publik.

    “Jika Budi Arie tidak turut disentuh, bukan tidak mungkin penegak hukum bisa kehilangan kepercayaan dari publik,” kata pengamat politik jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 

    Bahkan, jika masih sulit untuk tersentuh hukum, Dedi menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto memberikan atensi khusus kepada aparat penegak hukum untuk memproses dugaan keterlibatan Budi Arie di kasus Judol tersebut. 

    “Presiden perlu memberikan dukungan penegak hukum agar segera memeriksa Budi Arie,” pungkasnya

  • Kualifikasi MotoGP Jerman 2025: Marquez Pertama, Bagnaia ke-11

    Kualifikasi MotoGP Jerman 2025: Marquez Pertama, Bagnaia ke-11

    Jakarta

    Kualifikasi MotoGP Jerman 2025 telah selesai. Pebalap Ducati asal Spanyol, Marc Marquez mampu meraih pole position. Sementara Alex Marquez keenam dan Francesco Bagnaia ke-11.

    Ketika Q2 mau dimulai, hujan deras turun di Sirkuit Sachsenring, Jerman. Situasi tersebut membuat pebalap menggunakan ban beralur untuk melalui lintasan yang basah. Meski demikian, mereka tetap kesulitan karena ‘semburan’ air dari motor lain di posisi depan.

    Di putaran pertama, Marc Marquez langsung gaspol dengan mencatatkan waktu terbaik 1 menit 28,294 detik. Dia dibuntuti Johann Zarco dan Franco Morbidelli hingga memasuki putaran kedua.

    Hasil kualifikasi MotoGP Jerman 2025. Foto: Getty Images/Mirco Lazzari gp

    Di saat bersamaan, Francesco Bagnaia ‘terlempar’ ke urutan 10, sementara Fabio Quartararo tertahan di peringkat keenam. Para pebalap makin berhati-hati ketika Q2 hendak menyudahi putaran kedua.

    Memasuki putaran ketiga, Marquez mampu menyempurnakan waktunya menjadi 1 menit 28,083 detik. The Baby Alien makin tak terbendung di peringkat pertama. Sedangkan Bagnaia dan Quartararo justru makin merosot ke belakang.

    Di putaran keempat, terjadi sejumlah perubahan di posisi terdepan. Marco Bezzecchi masuk ke peringkat ketiga, sementara Pedro Acosta menusuk ke posisi kelima.

    Hingga akhir Q2, tak ada perubahan di baris terdepan. Marquez tetap pole position, kemudian Zarco kedua dan Bezzecchi ketiga.

    Berikut Hasil Kualifikasi MotoGP Jerman 2025Marc MarquezJohan ZarcoMarco BezzecchiFranco MorbidelliPedro AcostaAlex MarquezFabio QuartararoFabio DiggiaJack MillerBrad BinderFrancesco BagnaiaMaverick Vinales.

    (sfn/lth)