Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Peternak Layer Nasional (PLN) menilai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menghadapi persoalan lantaran melonjaknya harga jagung.
Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional (PLN) Musbar Mesdi mengatakan kenaikan harga jagung yang merupakan bahan baku utama pakan ayam bisa berdampak pada keberlangsungan program MBG akibat lonjakan biaya produksi daging dan telur. Pasalnya, jika biaya produksi terus merangkak naik, maka harga menu dalam MBG otomatis ikut naik.
“Apa yang akan dilakukan [pemerintah] agar tidak memberatkan [peternak] dan [jangan] sampai menggagalkan program MBG, karena biaya makan bergizi per nampan jadi naik [karena kenaikan harga jagung],” kata Musbar kepada Bisnis, Kamis (9/10/2025).
Dia mengungkap bahwa kini harga jagung di tingkat peternak atau industri mengalami gejolak dari Rp5.500 per kilogram ke Rp6.520 per kilogram dalam 1–2 bulan terakhir.
Padahal, lanjut dia, jagung berkontribusi 50% terhadap pakan unggas. Alhasil, industri perunggasan mencatat kenaikan harga pakan unggas hingga Rp250–Rp300 per kilogram di tingkat pabrik.
Dia menyampaikan bahwa kenaikan harga pakan unggas didorong oleh harga jagung yang melonjak dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang otomatis membuat bahan baku impor makin mahal.
“Karena setiap kenaikan harga jagung Rp500 per kilogram berpengaruh terhadap harga pakan ayam. Apalagi kalau [harga jagung] naik Rp1.000 per kilogram, inilah masalah utama yang bersifat strategis,” ujarnya.
Di sisi lain, asosiasi juga mengusulkan agar setiap dapur SPPG membeli kebutuhan MBG berupa ayam maupun telur secara langsung dari peternak, tanpa melalui perantara tengkulak (middleman).
“Middleman memegang peranan yang sangat strategis dalam memegang kendali harga,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Musbar, isu utama bukan pada ketersediaan komoditas, melainkan pada struktur biaya dan lemahnya antisipasi pemerintah terhadap gejolak harga bahan baku, terutama jagung.
Untuk itu, dia menegaskan hingga saat ini ketersedian ayam dan telur untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan program MBG masih mencukupi.
“Jadi masalahnya kenaikan daging dan telur ayam bukan karena laju pertumbuhan SPPG,” imbuhnya.
Lebih lanjut. Musbar mendorong adanya langkah cepat dari pemerintah untuk mengevaluasi stok jagung nasional, terutama untuk kebutuhan hingga panen raya.
Namun, sambung dia, jika pasokan jagung tidak mencukupi, maka pemerintah harus mengambil langkah konkret.
“Pemerintah juga harus bisa melihat hal ini secara clear ya, bagaimana solusinya dalam jangka tiga bulan ke depan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan kebutuhan ayam dan telur meningkat signifikan seiring beroperasinya ribuan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Alhasil, kenaikan permintaan ayam dan telur mendorong lonjakan harga ayam di pasaran.
“Wakil Kepala Kadin Indonesia menyatakan sekarang harga ayam naik dan meningkat, karena kebutuhan makan bergizi, saya kira ini ada benarnya,” ujar Dadan dalam acara bertajuk Membangun Ekosistem Pangan dalam Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Dadan mengungkap, untuk menghasilkan sekitar 3.000 butir telur per hari, maka dibutuhkan setidaknya 4.000 ekor ayam petelur sehingga harus disiapkan pula sekitar 4 kandang untuk ayam petelur.
Di sisi lain, dia menjelaskan bahwa sekitar 50% pakan ayam petelur berasal dari jagung, yang sebagian besar masih bisa disuplai dari dalam negeri. Namun, menurutnya, juga perlu dipastikan keberlanjutan pasokan di tengah lonjakan permintaan akibat MBG.
“Karena setiap kali masak ayam untuk 3.000 orang itu dibutuhkan 350 ayam, kalau 1 kilogram 1 ayam, maka butuh 350 kilogram 350 ayam. Kalau 2 kali seminggu saja, butuh 700 ayam. 1 bulan sudah dekat 2.800 ayam,” jelasnya.
Ke depan, Dadan menilai perlu adanya tambahan peternak baru agar program MBG tidak mengalami kekurangan pasokan ayam dan telur.
“Jika tidak diikuti dengan peternak-peternak baru, saya kira kita akan kekurangan pasokan ayam, demikian juga dengan telur,” tutupnya.