Blog

  • Pengguna Belum Bisa Hide Status Online, Ada Apa WhatsApp?

    Pengguna Belum Bisa Hide Status Online, Ada Apa WhatsApp?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Aplikasi pesan instan WhatsApp tak kunjung memberikan fitur menyembunyikan (hide) status online secara luas bagi penggunanya.

    Pada Agustus lalu, WhatsApp mengumumkan perusahaannya tengah menguji coba fitur terbaru tersebut pada sejumlah pengguna.

    Pengumuman fitur baru ini disampaikan langsung oleh Bos Meta Mark Zuckerberg bersamaan dengan sederet fitur perlindungan privasi. Fitur-fitur ini diklaim dapat memberikan pengguna lebih banyak kontrol atas percakapan mereka dan menambahkan lapisan perlindungan saat mengirim pesan.

    “Beberapa fitur privasi baru akan diluncurkan di WhatsApp: keluar dari grup tanpa notifikasi, mengontrol siapa yang dapat melihat saat Anda online, dan pemblokiran tangkapan layar untuk pesan sekali lihat. Kami akan terus membangun cara baru untuk melindungi pesan Anda dan menjaganya tetap pribadi dan aman layaknya percakapan tatap muka,” ujar Zuckerberg dalam sebuah keterangan resmi, Selasa (9/8).

    Namun, fitur tersebut baru hadir untuk sejumlah pengguna beta atau tahap uji coba terbatas.

    Dilansir dari WABetaInfo, WhatsApp memberikan fitur baru ini untuk pengguna beta yang sudah melakukan pembaruan ke versi 2.22.20.9.

    Selain WhatsApp versi beta 2.22.20.9, fitur sembunyikan status online juga disebut kompatibel pada WhatsApp veta versi beta 2.22.20.7.

    Meski disebut sudah tersedia untuk pengguna beta dengan aplikasi yang menggunakan dua versi tersebut, penyebaran fitur ini tampaknya masih dilakukan secara bertahap.

    Nantinya fitur sembunyikan status online dapat diakses di kolom Settings > Account > Privacy > Last seen and online.

    Selain fitur sembunyikan status online, Zuckerberg juga mengumumkan fitur melihat partisipan terakhir grup dan blokir screenshot pada gambar sekali lihat.

    Salah satu alasan WhatsApp meluncurkan fitur-fitur tersebut dikarenakan studi internal mereka. Hasil studi mereka menemukan 72 persen pengguna ingin berbicara jujur tanpa filter di ruang digital ini, sementara 47 persen pengguna merasa nyaman melakukan hal tersebut di tempat yang aman dan pribadi.

    “Di WhatsApp, kami fokus membangun fitur-fitur produk yang memungkinkan pengguna untuk memiliki lebih banyak kontrol dan privasi atas pesan mereka,” kata Ami Vora, Head of Product di WhatsApp.

    “Dalam beberapa tahun ini kami telah menambahkan lapisan perlindungan yang saling terkait untuk membantu menjaga percakapan pengguna tetap aman. Fitur-fitur baru ini adalah salah satu cara kami terus memenuhi komitmen untuk menjaga privasi pesan,” pungkasnya.

    (lom/lth)

  • Bjorka Beri Sinyal Lokasi di Forum Gelap, di Polandia?

    Bjorka Beri Sinyal Lokasi di Forum Gelap, di Polandia?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Salah satu pengguna situs gelap Breachforums dengan nama akun Emo mengklaim bertemu dengan Bjorka. Di Warsawa, Polandia, kah?

    Hal itu diungkapkan dalam sebuah utas atau thread di breached.to, Minggu (18/9) dini hari.

    “Jadi saya bertemu @Bjorka hari ini,” kata Emo di Breachforums, Minggu (18/9).

    Lebih lanjut akun peretas Bjorka membalas unggahan tersebut. Ia mengaku senang bertemu dengan Emo secara langsung.

    “Nice to meet you @Emo,” ujarnya, kemarin.

    Dalam postingan tersebut akun Emo menjelaskan kronologi pertemuan dengan Bjorka secara langsung di ‘LA’.

    “Saya bertemu Bjorka di pusat perbelanjaan di LA kemarin. Saya memberitahu kepadanya, seberapa keren saya bisa bertemu dengan dia sebagai orang (asli) tapi saya tidak mau menggangu dia dengan memintanya untuk berfoto bersama,” ujar Emo.

    Sebelumnya, peretas Bjorka beberapa hari tak bergeming usai penetapan tersangka MAH (21) pemuda asal Madiun, Jawa Tengah lantaran diduga membantu Bjorka dalam mempublikasikan hasil peretasan di akun Telegram.

    Namun pada Selasa (20/9) Bjorka kembali melancarkan komentar di kanal Telegram Bjorkanism, lantaran banyak akun media sosial mengatasnamakan Bjorka di TikTok dan Twitter.

    Bjorka menyindir akun-akun media sosial di Twitter, Instagram, hingga TikTok, yang mencatut namanya. Ia pun menyebut akan ada kejutan selanjutnya.

    Ia selalu memberi patokan keaslian akunnya dengan memberikan tangkapan layar profil di BreachForums.

    Hingga kini, ia hanya menaruh link Twitter resmi yang sudah ditangguhkan, yakni https://twitter.com/bjorkanesian, dan kanal Telegram https://bjork.ai.

    Ia mengatakan tak memiliki akun media selain kanal Telegram. Jadi, apabila ada akun yang mencatut namanya, maka bisa dipastikan itu merupakan akun palsu.

    Bjorka sebelumnya mengaku berbasis di Warsawa, Polandia. Ia juga mengklaim punya teman asal Indonesia yang tidak bisa pulang karena dampak perisitwa 1965. 

    Ia pun mengaku aksi membocorkan data sejumlah pejabat dilakukan untuk temannya tersebut. “i have a good indonesian friend in warsaw, and he told me a lot about how messed up indonesia is. i did this for him (Saya punya teman orang indonesia yang baik di warsawa, dan dia bercerita banyak tentang betapa kacaunya Indonesia. saya melakukan ini untuknya, red),” cetus dia.

    (can/lth)

  • LBH soal UU PDP: Lembaga Perlindungan Data Berpotensi Tak Independen

    LBH soal UU PDP: Lembaga Perlindungan Data Berpotensi Tak Independen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) perihal Lembaga Perlindungan Data Pribadi yang dianggap tak independen. Dalam UU PDP, Lembaga Perlindungan Data Pribadi berada di bawah Presiden/Kementerian.

    Sebelumnya dalam RUU PDP, Lembaga Perlindungan Data Pribadi dimuat dalam pasal 58 ayat (3) dan (4). Ayat 3 dan 4 berbunyi: Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden (ayat 3). Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Presiden (ayat 4).

    Menurut LBH, ayat posisi Lembaga tersebut yang berada di bawah presiden “berpotensi tarik menarik penyalahgunaan untuk kepentingan politik atau oleh penguasa,” LBH mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini berstatus sebagai lembaga negara sesuai Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017. “Dengan menempatkan KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang tentunya berdampak pada kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yang sudah tidak segarang dahulu dalam memburu para koruptor di negeri ini,” tulis LBH dalam keterangan resminya.

    Lebih lanjut, LBH juga berpandangan struktur dan unsur dalam Lembaga Perlindungan Data Pribadi “harus diatur dan dimuat dalam UU PDP itu sendiri, seperti pada beberapa lembaga negara di luar konstitusi yang lahir atas sebuah peraturan perundang-undang (misal: UU ORI, UU KPK, UU HAM, dan Komnas Perempuan yang dibentuk melalui Kepres No. 181/1998)”

    Menurut LBH, Lembaga Perlindungan Data Pribadi masuk ke dalam kategori lembaga yang memiliki kepentingan konstitusional (constitutional importance) yang dapat dilihat dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.

    “Hal lain yang membuat Badan/Lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi memiliki kepentingan konstitusional adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM,” tulis LBH.

    Di sisi lain, LBH pun mengkritik pembahasan UU PDP yang tidak transparan. Menurut LBH, pembahasan UU ini begitu cepat “akibat adanya beberapa kasus kebocoran data pribadi dan Permenkominfo 5/2020 tentang PSE Lingkup Privat.”

    LBH pun mendesak tiga poin kepada Presiden Jokowi dan DPR menyikapi pengesahan UU PDP. Pertama, Presiden dan DPR wajib melakukan pemantauan penerapan UU PDP. Kedua, Presiden dan DPR “tidak berkompromi untuk menempatkan kedudukan dan struktur kelembagaan Lembaga/Badan Perlindungan Data Pribadi berada di bawah Presiden atau Kementerian untuk menciptakan independensi (independent bodies/state auxiliary organ)”

    Ketiga, LBH mendesak Presiden dan DPR untuk membuka kanal-kanal dan medium pelibatan dan penyerapan masukan dari masyarakat atas berlakunya UU PDP.

    Seperti diketahui, pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan UU PDP lewat Rapat Paripurna DPR (Pembicaraan Tingkat II), Selasa (20/9). UU tersebut memuat sanksi terhadap mereka yang mengakses dan membocorkan data pribadi secara ilegal.

    Pada naskah final RUU PDP, ada 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan 16 Bab serta 76 pasal. Jumlah pasal itu bertambah empat dari usulan awal pemerintah pada akhir 2019 yakni 72 pasal.

    Rapat Paripurna pengesahan RUU PDP sendiri dihadiri 295 anggota dewan, dengan rincian 73 orang hadir secara fisik, 206 orang hadir secara virtual. Sedangkan, sebanyak 16 orang tak hadir atau izin.

    (lth/lth)

    [Gambas:Video CNN]

  • TikTok Luncurkan TikTok Now, Apa Itu?

    TikTok Luncurkan TikTok Now, Apa Itu?

    Jakarta, CNN Indonesia

    TikTok resmi meluncurkan aplikasi terbaru bernama TikTok Now di Indonesia pada Senin (19/9).

    Aplikasi ini disebut menjadi cara baru untuk menghibur sekaligus menghubungkan sesama komunitas di TikTok.

    “TikTok Now memungkinkan pengguna berbagi foto dan video setiap harinya untuk berbagi momen autentiknya dengan orang-orang yang paling berarti,” tulis TikTok dalam keterangannya, Senin (19/9).

    “TikTok Now menghadirkan sisi autentik TikTok menjadi pengalaman kreatif baru yang menghubungkan komunitas,” tambahnya.

    Pada aplikasi TikTok Now, pengguna akan menerima permintaan harian untuk merekam video berdurasi 10 detik, ataupun foto, dan lalu membagikannya.

    Di Indonesia, TikTok Now tersedia dalam aplikasi yang berbeda dari aplikasi TikTok yang biasa kita gunakan. Aplikasi ini juga sudah dapat diunduh di Google Play Store dan Apple App Store.

    Di beberapa negara, TikTok Now hadir berbeda dengan terintegrasi dalam aplikasi (in-app) TikTok.

    TikTok menyebut platform barunya saat ini tengah berada dalam tahap uji coba untuk beberapa pekan mendatang. Selama masa ini TikTok menyebut pihaknya akan terus meningkatkan pengalaman pengguna agar format kreatif baru ini dapat diterima secara luas.

    Lebih lanjut, kehadiran platform baru TikTok tetap mempertimbangkan sisi keamanan dan privasi. Perusahaan teknologi ini mengatakan kreator konten memegang kendali untuk memutuskan siapa yang dapat melihat atau terlibat dengan konten mereka. Kemudian mereka juga dapat memblokir orang lain dan memilih komentar mana yang muncul di konten mereka.

    Beberapa langkah yang dilakukan TikTok untuk menjaga keamanan dan privasi pengguna, terutama usia remaja, yakni:

    -Jika seseorang di bawah usia 16 tahun membuat akun untuk menggunakan aplikasi TikTok Now, sama seperti TikTok, akun mereka akan diatur menjadi akun private secara default.

    -Pengguna yang berusia di bawah 18 tahun tidak akan dapat membagikan konten mereka di laman Explore.

    -Pengguna berusia antara 13 dan 15 tahun akan memiliki opsi komentar “Hanya untuk Teman” untuk membantu melindungi pengguna dari interaksi yang tidak diinginkan.

    Sementara itu, bagi pengguna yang berusia 18 tahun ke atas akan memiliki setelan berbagi tambahan. Selain berbagi dengan sesama teman, mereka dapat memilih untuk membagikan postingan mereka dengan komunitas TikTok Now yang lebih luas berdasarkan pengaturan privasi yang telah mereka pilih.

    (lom/lth)

  • LBH soal UU PDP: Lembaga Perlindungan Data Berpotensi Tak Independen

    Pasal-pasal Krusial di UU PDP yang Baru Disahkan, Apa Saja?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) baru saja disahkan lewat Rapat Paripurna DPR (Pembicaraan Tingkat II), Selasa (20/9). UU tersebut memuat sanksi terhadap mereka yang mengakses dan membocorkan data pribadi secara ilegal.

    Pada naskah final RUU PDP, ada 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan 16 Bab serta 76 pasal. Jumlah pasal itu bertambah empat dari usulan awal pemerintah pada akhir 2019 yakni 72 pasal.

    Rapat Paripurna pengesahan RUU PDP sendiri dihadiri 295 anggota dewan, dengan rincian 73 orang hadir secara fisik, 206 orang hadir secara virtual. Sedangkan, sebanyak 16 orang tak hadir atau izin.

    CNNIndonesia.com mencoba merinci pasal-pasal krusial yang terdapat dalam UU tersebut. Pada Bab 1 Ketentuan Umum di pasal 1 termuat definisi-definisi soal Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi, Prosesor Data Pribadi dan Subyek Data Pribadi.

    1. Definisi Data Pribadi

    Definisi Data Pribadi menurut UU PDP “adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik”

    Sementara, Pengendali Data didefinisikan sebagai “setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi”

    Untuk Subyek Data Pribadi definisinya “adalah orang perseorangan yang pada dirinya melekat Data Pribadi”

    Lebih lanjut pada Bab III soal Jenis Data Pribadi, diatur data-data mana saja yang masuk ke dalam kategori Data Pribadi. UU PDP menggolongkan Data Pribadi menjadi dua: bersifat spesiifik, dan bersifat umum (Pasal 4).

    Data Pribadi bersifat spesifik “sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. data dan informasi kesehatan; b. data biometrik; c. data genetika; d. catatan kejahatan; e. data anak; f. data keuangan pribadi; dan/atau g. data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Untuk Data Pribadi bersifat umum meliputi a. nama lengkap; b. jenis kelamin; c. kewarganegaraan; d. agama; e. status perkawinan; dan/atau f. Data Pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.

    2. Hak-hak Subyek Data

    Masyarakat sebagai Subjek Data Pribadi diatur hak-haknya dalam pasal 5 hingga 15. Di dalamnya tercantum bahwa Subyek Data berhak mendapat kejelasan terkait kepentingan hukum, tujuan permintaan dan akuntabilitas lembaga yang meminta data pribadi mereka (pasal 5).

    Pada pasal 8, Subjek Data Pribadi juga berhak untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/atau memusnahkan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan dalam Pasal 44. Dijelaskan bahwa pengendali data pribadi wajib memusnahkan data pribadi pada empat hal yakni:

    a. telah habis masa retensinya dan berketerangan dimusnahkan berdasarkan jadwal retensi arsip;
    b. terdapat permintaan dari Subjek Data Pribadi;
    c. tidak berkaitan dengan penyelesaian proses hukum suatu perkara; dan/atau
    d. Data Pribadi diperoleh dan/atau diproses dengan cara melawan hukum.

    Pada pasal 12 ayat 1, Subjek Data Pribadi juga bisa “menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Akan tetapi pada pasal 15, hak-hak Subyek Data Pribadi dikecualikan untuk lima hal yakni
    a. kepentingan pertahanan dan keamanan nasional;
    b. kepentingan proses penegakan hukum;
    c. kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara;
    d. kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara; atau
    e. kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.

    Pengendali Data Pribadi dan Sanksi Larangan
    3. Pengendali Data Pribadi

    UU PDP juga mengatur kewajiban Pengendali Data Pribadi dalam Pemrosesan Data Pribadi. Hal itu tertuang pada Bab VI antara lain soal dasar pemrosesan Data Pribadi yang harus mendapat “persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (satu) atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi; (pasal 20 ayat 2 poin a).

    Kemudian pada pasal 21 diatur soal kewajiban Pengendali Data Pribadi “menyampaikan Informasi mengenai: a. legalitas dari pemrosesan Data Pribadi; b. tujuan pemrosesan Data Pribadi; c. jenis dan relevansi Data Pribadi yang akan diproses; d. jangka waktu retensi dokumen yang memuat Data Pribadi; e. rincian mengenai Informasi yang dikumpulkan; f. jangka waktu pemrosesan Data Pribadi; dan g. hak Subjek Data Pribadi.”

    Di sisi lain, kewajiban melindungi Data Pribadi termuat dalam pasal 35 yang menyebut dua poin yakni a. penyusunan dan penerapan langkah teknis operasional untuk melindungi Data Pribadi dari gangguan pemrosesan Data Pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. penentuan tingkat keamanan Data Pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari Data Pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan Data Pribadi.

    Pada pasal 36 pun, Pengendali Data Pribadi “wajib menjaga kerahasiaan Data Pribadi” dalam pemrosesannya.

    4. Sanksi-Sanksi dan Larangan

    Terkait sanksi-sanksi dan larangan, UU PDP memuatnya dalam Bab 13 yang terdiri dari pasal 65 dan 66. Di dalamnya tertulis antara lain “Setiap Orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. (pasal 66)”

    Sementara itu pada Bab 16, UU PDP mengatur sanksi dan denda yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar. Itu termuat dalam padal 67 hingga 73.

    Pasal 67 memuat hukuman penjara hingga denda yang tergantung kepada pelanggaran yang mengacu kepada pasal 65. Pelanggar yang melanggar pasal 65 ayat 1 dijatuhi hukuman “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

    Sementara, pelanggar pasal 65 ayat 2 akan dijatuhi hukuman “pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”

    Untuk pelanggar pasal 65 ayat 3 hukumannya adalah “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

    UU PDP pun mengatur pelanggar yang memalsukan data pribadi yakni di pasal 68 dengan ancaman “pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

    Kemudian pada pasal 70 diatur hukuman dan denda apabila pelanggar berstatus korporasi. Pada ayat 1 misalnya, hukuman kepada korporasi akan dijatuhkan kepada “pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan/atau Korporasi.

    Hukuman kepada korporasi pun hanya berupa denda (pasal 70 ayat 2) dengan denda paling banyak 10 kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan (pasal 70 ayat 3).

  • ELSAM Kritisi UU PDP, Sebut Hanya Jadi Macan Kertas

    ELSAM Kritisi UU PDP, Sebut Hanya Jadi Macan Kertas

    Jakarta, CNN Indonesia

    Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebut Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) berpotensi menjadi macan kertas.

    “Meski telah mengakomodasi berbagai standar dan memberikan garansi perlindungan bagi subyek data, akan tetapi implementasi dari undang-undang ini berpotensi problematis, hanya menjadi macan kertas, lemah dalam penegakkannya,” ujar Wahyudi Djafar Direktur Eksekutif dalam sebuah keterangan resmi, Selasa (20/9).

    Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam Rapat Paripurna DPR (Pembicaraan Tingkat II), Selasa (20/9).

    Dalam undang-undang tersebut di antaranya membahas kewajiban pengendali dan pemroses data, aturan tentang akses ilegal, hingga sanksi dan denda atas pelanggaran data pribadi.

    Selain itu, UU PDP juga memuat definisi data pribadi, jangkauan material yang berlaku mengikat bagi badan publik dan sektor privat, perlindungan khusus bagi data spesifik, adopsi prinsip-prinsip pemrosesan data pribadi, batasan dasar hukum pemrosesan data pribadi, serta perlindungan hak subjek data.

    Meski demikian, ELSAM menjelaskan ada beberapa masalah yang mungkin terjadi dalam penegakan UU PDP akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasalnya.

    “Situasi tersebut (penegakan yang lemah) hampir pasti terjadi, akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum, sebagai imbas kuatnya kompromi politik, khususnya berkaitan dengan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi,” ujar Wahyudi.

    Menurutnya, kunci implementasi UU PDP ada pada otoritas perlindungan data sebagai lembaga pengawas yang akan memastikan kepatuhan pengendali dan pemroses data, serta menjamin pemenuhan hak-hak subjek data.

    “Apalagi ketika UU PDP berlaku mengikat tidak hanya bagi sektor privat, tetapi juga badan publik (kementerian/lembaga), maka independensi dari otoritas ini menjadi mutlak adanya, untuk memastikan ketegasan dan fairness dalam penegakan hukum PDP,” tuturnya.

    Alih-alih membuat lembaga independen, Wahyudi menyebut pemerintah justru mendelegasikan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden.

    Pasalnya, lembaga yang dibentuk nanti akan menjadi lembaga pemerintah yang akhirnya setara dengan lembaga pemerintah lain.

    “Pertanyaan besarnya, apakah mungkin satu institusi pemerintah memberikan sanksi pada institusi pemerintah yang lain?” tanyanya.

    Lebih lanjut, Wahyudi juga menyoroti sejumlah pasal yang menurutnya memiliki ketidaksetaraan antara sektor publik dan sektor privat terkait sanksi jika melakukan pelanggaran.

    “Bila melakukan pelanggaran, sektor publik hanya mungkin dikenakan sanksi administrasi (Pasal 57 ayat (2)), sedangkan sektor privat selain dapat dikenakan sanksi administrasi, juga dapat diancam denda administrasi sampai dengan 2 persen dari total pendapatan tahunan (Pasal 57 ayat (3))” terangnya

    “Bahkan dapat dikenakan hukuman pidana denda mengacu pada Pasal 67, 68, 69, 70,” imbuhnya.

    (lom/lth)

  • Kenapa Langit Senja Berwarna Jingga?

    Kenapa Langit Senja Berwarna Jingga?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Langit sore seringkali memberikan pemandangan yang menakjubkan lewat kehadiran warna jingga yang menyembur dari arah Matahari terbenam. Fenomena apa yang memunculkan warna yang digilai penikmat senja ini?

    Kehadiran warna jingga atau oranye ini disebabkan oleh perbedaan ukuran pada partikel yang bertebaran di langit.

    Pakar cuaca dan iklim internasional terkemuka sekaligus Presiden American Meteorological Society (AMS) 2013 dan Direktur Program Ilmu Atmosfer Universitas Georgia (UGA) J. Marshall Shepherd menjelaskan langit biasanya berwarna biru pada siang hari dikarenakan fenomena bernama hamburan Rayleigh.

    Hamburan Rayleigh sendiri mengacu pada hamburan cahaya ketika cahaya melewati molekul udara. Fenomena ini dapat mengeluarkan hamburan cahaya hanya sekitar sepersepuluh dari total panjang gelombang cahaya, dikutip dari laman Georgia State University.

    Hal ini terjadi jika diameter partikel atmosfer lebih kecil dari panjang gelombang sinar yang berinteraksi. Partikel atmosfer ini meliputi nitrogen, oksigen, ozon, dan lain-lain.

    Dilansir dari Forbes, molekul di atmosfer lebih efektif menyebarkan panjang gelombang yang lebih pendek salah satunya gelombang “biru” ke segala arah sehingga itulah yang kita lihat.

    Berdasarkan panjang gelombangnya, gelombang cahaya tampak diurutkan sebagai berikut dari yang terpendek hingga yang terpanjang: ungu, indigo, biru, hijau, kuning, jingga, dan merah.

    Saat posisinya amat rendah di cakrawala kala terbenam, cahaya Matahari mesti lebih banyak lapisan lapisan atmosfer. Hal itu menyebarkan lebih banyak spektrum warna, termasuk ungu, biru, dan hijau meski tidak seragam.

    Warna apa yang tersisa? Ya, jingga dan merah. Itulah senja.

    Fisikawan menjelaskan fenomena ini masuk ranah hamburan Mie yang menghasilkan hamburan cahaya dengan gelombang lebih panjang, yakni gelombang jingga dalam cakupan yang tidak terlalu luas.

    Hal yang sama ketika suatu wilayah diselimuti asap, misalnya, akibat kebakaran hutan dan lahan. Partikel asap yang relatif lebih besar menyebarkan spektrum warna di luar jingga dan merah. 

    Alhasil, meski masih siang hari, kondisi di wilayah tersebut bisa tampak kejingga-jinggaan. 

    (lom/lth)

  • Siapa yang Dimintai Tanggung Jawab Jika Ada Serangan Hacker?

    Siapa yang Dimintai Tanggung Jawab Jika Ada Serangan Hacker?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disebut memuat mekanisme apa yang harus dilakukan saat terjadi peretasan atau kebocoran data di pengelola data.

    Mulanya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate menjawab pertanyaan soal perlindungan apa yang diberikan UU PDP terhadap serangan hacker.

    “Apabila terjadi insiden data pribadi, kebocoran data pribadi, maka yang akan dilakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara data pribadi apakah mereka telah menjalankan compliance (kepatuhan) sesuai Undang-undang PDP,” ujar dia, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/9).

    “Jika tidak, mereka diberi berbagai jenis sanksi seperti yang diatur dalam UU PDP,” imbuhnya.

    UU PDP sendiri resmi disahkan oleh DPR RI pada Rapat Paripurna DPR ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (20/9). UU ini memuat 76 pasal dalam 16 bab, mendapat penambahan 4 pasal dari sebelumnya 72 pasal.

    Merujuk pada draf terakhirnya, UU PDP sendiri hanya mengenal istilah ‘Pengendali Data Pribadi’, yakni “setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi.”

    Mengenai pemeriksaan penyelanggara data yang dimaksud Johnny, Pasal 34 UU PDP menyebutkan pengendali data pribadi wajib “melakukan penilaian dampak pelindungan data pribadi dalam hal pemrosesan data pribadi memiliki potensi risiko tinggi terhadap subjek data pribadi.”

    Penilaian dampak pelindungan data pribadi tersebut dilakukan untuk mengevaluasi potensi risiko yang timbul dari suatu pemrosesan data pribadi serta upaya atau langkah yang harus dilakukan untuk memitigasi risiko, termasuk terhadap hak subjek data pribadi dan mematuhi undang-undang ini.

    Selain itu, Pengendali Data Pribadi juga wajib melakukan pelindungan dan memastikan data pribadi yang diprosesnya tetap aman sebagaimana dijelaskan pada pasal 35.

    1. Penyusunan dan penerapan langkah teknis operasional untuk melindungi data pribadi dari gangguan pemrosesan data pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2. Penentuan tingkat keamanan data pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari data pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan data pribadi.

    Jika sederet kewajiban soal keamanan ini tidak dapat dipenuhi oleh P maka pemerintah akan memberikan sanksi administratif.

    Dalam pasal 57 ayat 2, sanksi administratif yang bisa diberikan mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi, penghapusan atau pemusnahan data pribadi, serta denda administratif.

    Terkait denda administratif, dalam pasal 57 ayat 3 disebutkan nominal denda memiliki angka maksimal dua persen dari pendapatan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran yang dilakukan PSE.

    Denda tersebut nantinya akan diberikan oleh lembaga khusus yang mengawasi perlindungan data pribadi di tanah air. Lembaga yang langsung berada di bawah presiden ini akan dibentuk lewat Peraturan Pemerintah.

    Indonesia sendiri sempat dihebohkan oleh pembocoran data yang dilakukan oleh pengguna situs BreachForums Bjorka. Salah satu bocorannya adalah data registrasi SIM card dan pelanggan IndiHome.

    (lom/cfd/arh)

    [Gambas:Video CNN]

  • Telkom dan Injourney Kembangkan Tourism Collaborative Platform

    Telkom dan Injourney Kembangkan Tourism Collaborative Platform

    Jakarta, CNN Indonesia

    PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom dan PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau Injourney bekerja sama membangkitkan sektor pariwisata Indonesia.

    Salah satunya melalui akselerasi digitalisasi ekosistem pariwisata yang sejalan dengan program pemerintah dalam mempercepat transformasi digital nasional.

    Upaya ini ditunjukkan melalui penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding antara Injourney dengan Telkom untuk mengembangkan Tourism Collaborative Platform.

    Penandatanganan dilakukan oleh Direktur SDM dan Digital Injourney Herdy Harman dan Plt Direktur Enterprise & Business Service Telkom FM Venusiana di Kantor Injourney, yang terletak di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat.

    Nota kesepahaman antara Injourney dan Telkom ini mencakup kerja sama terkait layanan pengembangan Tourism Collaborative Platform untuk memenuhi kebutuhan teknologi dan layanan telekomunikasi dengan fitur yang dapat memfasilitasi perjalanan wisatawan secara real time.

    Plt Direktur Enterprise & Business Service Telkom FM Venusiana R mengungkapkan, kolaborasi ini dilakukan dalam rangka mendukung aktivitas pelaku industri pariwisata dan traveller secara end to end, sehingga para pengusaha wisata dan wisatawan dapat merasakan kemudahan experience berwisata melalui suatu platform yang terintegrasi.

    “Pengembangan platform ini juga disiapkan untuk mendukung kesuksesan acara Presidensi KTT G20 yang akan diselenggarakan pada November mendatang,” katanya dalam keterangannya, Selasa (20/9).

    Pada kesempatan yang sama, Direktur SDM dan Digital Injourney Herdy Harman mengatakan, sinergi ini merupakan penggabungan kapabilitas bisnis dari Injourney dan Telkom.

    Injourney sebagai Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung merupakan ekosistem pariwisata multi sektor yang terdiri atas layanan bandar udara dan kargo, destinasi pariwisata, hotel, hingga manajemen retail serta industri kreatif memiliki komitmen besar untuk menciptakan pengembangan super platform perjalanan dan pariwisata.

    “Untuk itu, kolaborasi dengan Telkom yang memiliki kapabilitas di bidang jasa layanan teknologi komunikasi dan jaringan telekomunikasi terluas di Indonesia diharapkan mampu menjadi langkah besar kebangkitan sektor aviasi dan pariwisata,” jelas Herdy.

    Platform hasil sinergi Injourney dan Telkom ini akan menyuguhkan sebuah Tourism Collaboration Platform yang memfasilitasi empat experience pariwisata; Pre-Trip, Booking, On-Trip, dan Post Trip.

    Pada Pre-Trip, wisatawan sebagai user dapat membuat rencana perjalanan melalui Tourism Hub, yaitu promosi digital berbasis big data di mana user dapat mencari info mengenai wisata yang diinginkan berdasarkan destinasi, pembuatan itinerary perjalanan sendiri, serta virtual tour.

    Lalu, di fase Booking, wisatawan dapat melakukan booking terhadap objek wisata, akomodasi, transportasi, dan sebagainya yang diinginkan.

    Setelahnya, saat wisatawan sedang melakukan perjalanan wisata di fase On-Trip, wisatawan dapat mencari rekomendasi spot foto yang instagramable atau wisata-wisata hidden gem lainnya yang ada di daerah wisata sekitar.

    Terakhir pada Post-Trip, user dapat melakukan rating & review terhadap pengalaman berwisatanya.

    Platform ini tidak hanya memfasilitasi wisatawan saja, namun juga para pengelola bisnis pariwisata, mulai dari pengelola objek wisata, kuliner, akomodasi, event, paket tour, tour guide, dan lain-lain.

    Melalui platform ini, digitalisasi bisnis pariwisata akan dilakukan untuk para pengelola bisnis pariwisata yang masih beroperasi secara manual dan belum terhubung secara online.

    Harapannya, platform Integrated Travel & Tourism dapat meningkatkan experience berwisata baik bagi para wisatawan maupun para pengelola bisnis pariwisata.

    Selain itu, dengan adanya platform ini dapat meningkatkan nilai devisa pariwisata, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Pariwisata di Indonesia, serta meningkatkan nilai ekspor produk ekonomi kreatif.

    (inh/inh)

  • Menkominfo Ungkap Sanksi Berat Kebocoran Data Korporasi di UU PDP

    Menkominfo Ungkap Sanksi Berat Kebocoran Data Korporasi di UU PDP

    Jakarta, CNN Indonesia

    Perusahaan yang mengakses dan membocorkan data pribadi secara ilegal serta lalai menjaga data pribadi pelanggan dapat terancam denda besar hingga perampasan keuntungan.

    Hal tersebut tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sudah disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR (Pembicaraan Tingkat II), Selasa (20/9).

    Apa saja sanksinya? “Ah, baca sendiri,” timpal Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, usai Rapat Paripurna tersebut, di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/9).

    Kelalaian menjaga data

    UU PDP mewajibkan, pertama, Pengendali Data pribadi (pemerintah maupun swasta) melindungi dan memastikan keamanan Data Pribadi dengan melakukan penyusunan dan penerapan langkah teknis operasional (Pasal 35 RUU PDP).

    Kedua, menjaga kerahasiaan Data Pribadi dalam pemrosesannya (Pasal 36). Ketiga, melakukan pengawasan terhadap setiap pihak yang terlibat dalam pemrosesan Data Pribadi di bawah kendali Pengendali Data Pribadi (Pasal 37).

    Keempat, melindungi Data Pribadi dari pemrosesan yang tidak sah (Pasal 38). Kelima, mencegah Data Pribadi diakses secara tidak sah (Pasal 39).

    Jika tak menaati kewajiban itu, UU PDP mencantumkan sanksi administratif (pasal 57). Bentuknya, peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan Data Pribadi, penghapusan atau pemusnahan Data Pribadi, dan/atau denda administratif.

    Pasal 57 ayat (3) menyebut bahwa “Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling tinggi 2 (dua) persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran”.

    Pihak yang berhak menjatuhkan sanksinya adalah lembaga PDP dengan rincian ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

    “[Sanksi] bervariasi mulai dari hukuman empat tahun sampai enam tahun maupun hukuman denda dari empat miliar sampai enam miliar setiap kejadian. Dan apabila terjadi kesalahan maka dikenakan sanksi sebesar 2 persen dari total pendapatan tahunannya dan bervariasi,” tutur Menkominfo.

    Akses ilegal

    Menkominfo melanjutkan korporasi juga terancam denda besar jika menggunakan data pelanggan secara ilegal. 

    “Apabila ada korporasi, orang-orang dan korporasi yang menggunakan data pribadi secara ilegal, maka sanksi jauh lebih berat berupa perampasan seluruh kegiatannya yang terkait manfaat ekonomi atas data pribadi yang dimaksud kalau ilegal,” kata Plate.

    Berdasarkan Pasal 67 UU PDP, denda besar disiapkan bagi pihak yang mengumpulkan data pribadi untuk keuntungan sendiri.

    “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” demikian bunyi pasal 67 ayat 1.

    Tak hanya itu, orang yang membocorkan dan memakai data pribadi orang lain secara ilegal masing-masing terancam denda Rp4 miliar dan Rp5 miliar.

    “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00,” demikian bunyi Pasal 67 ayat (2) UU PDP.

    “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00,” Pasal 67 ayat (3) UU PDP.

    Sanksi berlipat disiapkan bagi perusahaan atau korporasi yang melanggar pasal-pasal di atas.

    Menurut pasal 70 ayat 1, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan atau korporasi.

    “Pidana denda yang dijatuhkan kepada korporasi paling banyak sepuluh kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan,” jelas Pasal 70 ayat 3 UU PDP.

    Secara hitungan kasar, denda maksimal bagi korporasi pembocor data bisa mencapai Rp50 miliar.

    Selain itu, korporasi dapat dijatuhi berbagai pidana tambahan. Mulai dari perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan hasil dari tindak pidana, pembekuan seluruh atau sebagian usaha korporasi, dan pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

    Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan, dan pembayaran ganti kerugian. Lalu, pencabutan izin dan/atau pembubaran Korporasi.

    “UU PDP mengatur institusi perorangan, korporasi baik di dalam negeri maupun global,” tandas Plate.

    Sebelumnya, Indonesia kerap dikritik karena tak bisa memberi sanksi berat terhadap perusahaan, terutama asing, yang mestinya bertanggung jawab dalam kebocoran data publik.

    (lom/cfd/arh)

    [Gambas:Video CNN]