Blog

  • Majelis Hakim Tetapkan Total Suap Putusan Lepas Kasus CPO Rp39,1 M

    Majelis Hakim Tetapkan Total Suap Putusan Lepas Kasus CPO Rp39,1 M

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan total suap yang diterima terkait kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2023-2025 sebesar Rp39,1 miliar.

    Uang tersebut diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan periode 2024-2025 Muhammad Arif Nuryanta; tiga hakim nonaktif (Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharuddin); serta Mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    “Dengan demikian unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi,” ujar hakim anggota Andi Saputra dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus yang dikutip dari Antara, Kamis (4/12/2025).

    Andi memerinci uang suap diterima para terdakwa dalam dua tahap, yakni Arif menerima total Rp14,73 miliar yang meliputi Rp3,44 miliar dan Rp11,29 miliar. 

    Kemudian, Wahyu menerima total Rp2,36 miliar yang terdiri atas Rp808,7 juta dan Rp1,55 miliar serta Djuyamto menerima total Rp9,21 miliar meliputi Rp1,3 miliar, Rp7,89 miliar, serta Rp24,02 juta.

    Lalu, Agam menerima uang suap sebesar Rp6,4 miliar yang terdiri atas Rp1,3 miliar dan Rp5,1 miliar serta Ali menerima sejumlah Rp6,4 miliar meliputi Rp1,3 miliar dan Rp5,1 miliar.

    Majelis Hakim berpendapat rangkaian perbuatan Djuyamto, Wahyu, Arif, Agam, dan Ali dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan sistem sel putus, yaitu adanya pembagian tugas secara diam-diam, yang menunjukkan telah terjadinya niat jahat atau mens rea.

    Niat jahat dimaksud, lanjut Andi, yakni dengan mengatur alur proses estafet pemberian uang dengan maksud dan tujuan apabila perbuatan itu terungkap, maka antar-sel menjadi terputus meski tidak ada kesepakatan yang diucapkan di antara kelima terdakwa.

    Dalam kasus tersebut, kelima terdakwa telah divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama.

    Dengan demikian, kelimanya dijatuhkan hukuman penjara, denda, dan uang pengganti. Secara perinci, Djuyamto, Ali, dan Agam masing-masing dikenakan pidana penjara selama 11 tahun; Arif selama 12 tahun dan 6 bulan; serta Wahyu selama 11 tahun dan 6 bulan.

    Kemudian, kelima terdakwa masing-masing dijatuhkan pidana denda sebanyak Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Sementara, uang pengganti yang dijatuhkan kepada Djuyamto sebesar Rp9,1 miliar; Ali Rp6,4 miliar; Agam Rp6,4 miliar; Arif Rp14,73 miliar; dan Wahyu Rp2,36 miliar.

    Pembayaran uang pengganti diberikan dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana selama 4 tahun penjara untuk Djuyamto, Agam, Ali, dan Wahyu serta 5 tahun penjara untuk Arif.

  • Dipicu Cuaca Ekstrem dan Sampah

    Dipicu Cuaca Ekstrem dan Sampah

    Liputan6.com, Sukabumi – Hujan deras disertai angin kencang yang melanda wilayah Kota Sukabumi, Jawa Barat (Jabar) pada Rabu 3 Desember 2025 mengakibatkan banjir limpasan yang merendam rumah warga dan fasilitas pendidikan, serta tanah longsor menutup sebagian akses jalan.

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sukabumi mengonfirmasi bahwa masalah drainase dan penyumbatan sampah turut memperparah kejadian. ​Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Kota Sukabumi Yoseph Sabaruddin menjelaskan, kerentanan wilayah ini meningkat karena faktor non-alam.

    ​”Penyebab utama kejadian ini adalah cuaca ekstrem, yaitu hujan deras dan angin kencang. Namun, kami juga menemukan adanya penyumbatan sampah disertai saluran drainase yang tidak berfungsi dengan baik di beberapa lokasi, yang memperparah terjadinya banjir limpasan,” ujar Yoseph, melansir Antara, Kamis (4/12/2025).

    ​Menurut laporan dari Pusdalops-PB BPBD Kota Sukabumi, sedikitnya lima titik banjir limpasan terjadi di Kelurahan Cikondang Kecamatan Citamiang, Kelurahan Warudoyong Kecamatan Warudoyong, dan Kelurahan Limusnunggal Kecamatan Cibeureum.

    “Selain itu, satu titik longsor terjadi di Jalan Lingkar Selatan, Kelurahan Limusnunggal, dan satu insiden atap rumah ambruk dilaporkan di Kelurahan Baros,” ucap Yoseph.

    Dampaknya, lanjut dia, ​satu unit rumah warga milik Sandi Andriansyah, dihuni 1 KK, 4 jiwa dilaporkan terendam. Kemudian, ​beberapa ruangan di PAUD dan MDTA Safinatul Falah tergenang.

     

    Fokus edisi (03/12) mengangkat beberapa topik pilihan di antaranya, Sepekan Banjir Rendam Ribuan Rumah, Nasib Pengungsi di Wilayah Terisolir, Antusias Warga Ikuti Nikah Massal Gratis.

  • Indonet (EDGE) Pertimbangkan Bangun Data Center AI Ready Jumbo 2026

    Indonet (EDGE) Pertimbangkan Bangun Data Center AI Ready Jumbo 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Indointernet Tbk. (EDGE) atau Indonet tengah mengkaji pembangunan pusat data atau data center baru di luar kota seiring dengan tingginya permintaan terhadap layanan tersebut. Data center tersebut telah siap mendukung layanan kecerdasan buatan (AI).

    Direktur Operasional Indonet Agus Ariyanto mengatakan perusahaan saat ini memiliki dua infrastruktur data center yang terletak di dalam kota (in town) yaitu H1 dan H2. Masing-masing memiliki kapasitas 6 megawatt (MW) dan 23 MW. Alhasil secara total ada 29 MW. Dari jumlah tersebut, data center pertama telah terisi penuh, sementara itu data center kedua memiliki utilisasi 70%.

    Agus memperkirakan tahun depan seluruh kapasitas data center perusahaan akan penuh seiring dengan tingginya permintaan terhadap layanan pusat data. Oleh sebab itu, perusahaan mempertimbangkan untuk memulai pembangunan data center baru di luar kota, dengan kapasitas yang lebih besar dari 23 MW.

    Adapun alasan pembangunan data center berikutnya di luar kota adalah untuk menampung kebutuhan perusahaan hyperscale yang umumnya membutuhkan data center dengan kapasitas besar di atas 10 MW. Selain itu, data center di luar kota juga dapat menjadi cadangan atau backup dari H1 dan H2, sehingga keandalan layanan data center Indonet makin kuat.

    “Kami proyeksi pada 2026 itu [data center H2] akan penuh, jadi kita akan ada plan lagi untuk pembangunan next H2 berikutnya. Harusnya kita lakukan di tahun depan,” kata Agus kepada Bisnis, Rabu (3/12/2025). 

    Sekadar informasi, Indonet termasuk perusahaan yang memiliki bisnis data center cukup moncer. Pada kuartal III/2025, perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp372 miliar dari bisnis data center atau meningkat 26% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Bisnis data center menjadi kontributor terbesar bagi Indonet dengan kontribusi sebesar 47,3% dari total pendapatan perusahaan yang sebesar Rp785 miliar pada periode tersebut. Sejumlah perusahaan raksasa teknologi global dan layanan keuangan mempercayakan penyimpanan datanya di Indonet.

    Agus juga mengatakan pertumbuhan bisnis data center perusahaan tidak terlepas dari hype AI yang terjadi saat ini. Kebutuhan akan latensi layanan yang rendah mendorong perusahaan-perusahaan teknologi untuk mendekatkan data mereka kepada pelanggan, sehingga data center Indonet – yang sudah support untuk AI – menjadi pilihan.

    “Secara enggak langsung dengan adanya kebutuhan AI ini otomatis mereka juga butuh data center-nya sendiri. Data center kami H1 ataupun H2 itu AI ready dan untuk nanti yang ke depannya kita pun juga bangun sudah AI ready juga,” kata Agus.

    Data center AI ready adalah pusat data yang sejak desain awal disiapkan untuk menjalankan beban kerja AI yang sangat berat, mulai dari training sampai inference, pendinginan, jaringan, dan penyimpanan yang jauh lebih tinggi dibanding data center tradisional.

    Fasilitas  ini memungkinkan cluster GPU/accelerator berkepadatan tinggi bekerja stabil, efisien, dan bisa diskalakan sesuai pertumbuhan kebutuhan AI.

    Data center ini umumnya dilengkapi dengan server performa tinggi, jaringan dengan bandwidth tinggi hingga 100-400 Gbps per link, serat optik, dukungan listrik dan sistem pendingin tingkat tinggi.

  • 4
                    
                        Mohon ke Prabowo, Bupati Aceh Utara: Belum Satu Pun Menteri Hadir, Seratusan Jenazah Belum Ditemukan
                        Regional

    4 Mohon ke Prabowo, Bupati Aceh Utara: Belum Satu Pun Menteri Hadir, Seratusan Jenazah Belum Ditemukan Regional

    Mohon ke Prabowo, Bupati Aceh Utara: Belum Satu Pun Menteri Hadir, Seratusan Jenazah Belum Ditemukan
    Tim Redaksi
    ACEH UTARA, KOMPAS.com
    – Bupati Aceh Utara, Provinsi Aceh, Ismail A Jalil meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk membantu kabupaten itu dalam penanganan banjir.
    Hingga hari ke 12 banjir, belum satu pun menteri dari Kabinet Merah Putih yang datang ke Kabupaten
    Aceh Utara
    . Padahal, kabupaten itu daerah terluas dan terparah terkena banjir.
    Hingga Rabu (3/12/2025) pukul 12.00 WIB, sebanyak 121 orang tewas, 109 dilaporkan hilang.
    “Kami mohon pusat dan seluruh rakyat Indonesia bantu Aceh Utara. Pusat selain Basarnas belum hadir ke Aceh Utara. Rakyat saya kelaparan, jenazah rakyat saya belum diambil, tolong dibantu,” kata dia.
    Dia tidak memahami mengapa belum ada pejabat pusat yang datang ke kabupaten itu.
    “Apakah pejabat pusat tidak tahu, lalu ada pejabat pusat yang menyatakan banjir tidak parah. Saya emosial, tolong bantu kami. Jangan biarkan rakyat kami mati kelaparan,” katanya.
    Dia menyatakan, dana darurat yang bisa digunakan sangat minim. Itu pun telah habis digunakan untuk membeli bahan bantuan.
    “Rakyat saya tinggal baju di badan. Mereka kehilangan rumah, harta dan benda. Sekarang sudah bertambah sakit-sakitan. Saya sudah kerahkan semua kekuatan daerah, namun tidak mampu menjangkau seluasnya wilayah ini,” ucap dia. 
    Banjir di kawasan Aceh Utara mulai terjadi 22 November 2025. Kini, sejumlah titik masih terisolasi dan belum bisa diakses. Di kabuapten lain, banjir baru terjadi pada 26 November 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Capres Peru Ceritakan Momen Mencekam saat Terlibat Baku Tembak

    Capres Peru Ceritakan Momen Mencekam saat Terlibat Baku Tembak

    Calon Presiden Peru dari Partai Libertad Popular, Rafael Belaunde, terlibat baku tembak saat mobilnya menjadi sasaran penyerangan bersenjata. Peristiwa ini terjadi pada hari Selasa (2/12) di Kota Cerro Azul.

    Tidak ada korban tewas dalam insiden ini. Belaunde diketahui melepaskan 12 tembakan sementara penyerang melepaskan 9 tembakan.

  • Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Desember 2025

    Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025

    Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
    18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
    INDONESIA
    kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
    Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
    Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
    Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
    Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
    Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
    Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
    Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
    Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
    Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
    Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
    Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
    Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
    Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
    Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
    Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
    Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
    Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
    Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
    Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
    Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
    Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
    Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
    Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
    Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
    Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
    Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
    Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
    Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
    Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
    Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
    Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
    Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
    Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
    real time
    dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
    Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
    Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
    Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
    Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
    Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
    Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
    Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
    Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
    action
    yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
    Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
    Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
    Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
    Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
    Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
    Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
    Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
    Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
    Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
    Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
    Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
    Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
    Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
    Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
    Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
    Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
    Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
    Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
    Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
    Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
    Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
    Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
    Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
    Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
    Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
    Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
    Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
    Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
    Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
    Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
    Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
    Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
    Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
    Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
    Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
    Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
    Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Banjir Sumatra, Komdigi Ungkap 60% Menara Telekomunikasi Terdampak di Aceh Belum Beroperasi

    Banjir Sumatra, Komdigi Ungkap 60% Menara Telekomunikasi Terdampak di Aceh Belum Beroperasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyampaikan para operator seluler telah mengembalikan lebih dari 90% menara pemancar di wilayah terdampak banjir Sumatra beroperasi.

    Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan pemulihan layanan komunikasi menjadi prioritas pemerintah agar kebutuhan warga dan koordinasi penanganan bencana tetap berjalan.

    “Para operator seluler melaporkan, di Sumbar [Sumatra Barat] sudah 95% pulih dan Sumut [Sumatera Utara] 90%. Untuk Aceh, kendala listrik masih menyebabkan sekitar 60% menara tidak beroperasi,” kata Meutya dalam keterangan resmi pada Selasa (2/12/2025).

    Dia memastikan pemerintah bersama operator dan PLN terus bekerja agar layanan segera pulih sepenuhnya. Per Senin (1/12/2025) pukul 00.00 WIB, total menara yang mengalami gangguan di tiga provinsi mencapai 2.804 unit, terdiri atas 1.969 menara di Aceh, 681 di Sumatra Utara, dan 154 di Sumatra Barat.

    Menurut Meutya, pemulihan di Aceh ditargetkan meningkat signifikan dalam empat hari ke depan seiring percepatan perbaikan pasokan listrik oleh PLN. Pemerintah juga bekerja sama dengan TNI untuk mempercepat distribusi material perbaikan ke daerah yang sulit dijangkau.

    Meutya mengimbau masyarakat tetap waspada, mengikuti arahan petugas, serta memanfaatkan kanal resmi untuk informasi bencana melalui tautan https://s.id/TanggapBencanaSumatra.

    Di sisi lain, Komdigi juga membuka Posko Dukungan Psikososial bagi anak-anak terdampak banjir di Sumatra sebagai ruang aman untuk bermain, belajar, dan memulihkan kondisi psikologis selama masa pemulihan. Posko pertama dibuka di Masjid Alhafiz, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang,

    Korban Banjir Sumatra

    Sementara itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 4 Desember 2025 pagi, korban bencana banjir dan longsor Sumatra yang mencakup Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh mencapai 780 orang meninggal. Sebanyak 10.400 rumah rusak di 51 kabupaten dan kota. 

    BNPB juga mencatat sebanyak 564 jiwa masih dinyatakan hilang serta 2.600 orang lainnya terluka. 

    Berdasarkan wilayah, korban meninggal banjir Sumatra terbesar terjadi di Sumatra Utara dengan 299 orang meninggal, di Aceh sebanyak 277 orang meninggal, serta Sumatra Barat 244 orang meninggal.

    Sementara itu berdasarkan kabupaten/kota, korban bencana terbesar terjadi di Agam, Sumatra Barat dengan 147 meninggal, Aceh Utara (112), Tapanuli Tengah (86), Tapanuli Selatan (79), Sibolga (52), Aceh Tamiang (39), Tapanuli Utara (34), dan lainnya tersebar di 43 kabupaten kota.

  • The Best Free Photo & Video Face Swap Tools in 2025: A Detailed Comparison

    The Best Free Photo & Video Face Swap Tools in 2025: A Detailed Comparison

  • Saya Ikhlas dengan Nyawa Saya

    Saya Ikhlas dengan Nyawa Saya

    Liputan6.com, Jakarta – Malam tak biasa di Adian Koting, Tapanuli Utara, pada Selasa (24/11/2025). Malam yang dipenuhi keikhlasan dan drama kemanusiaan. Ketika banjir bandang Sumatra merenggut nyawa orang tercinta.

    Di tengah kelelahan usai menempuh perjalanan panjang dari Medan, Sertu Rio Prasaja (42), anggota Kodim 0212/Tapsel, harus menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya. Ketika orang tercinta direnggut hidupnya.

    Malam itu, Rio bersama istri serta putra bungsunya yang berusia 1,5 tahun, dan tiga saudaranya, mencari perlindungan. Karena jalan pulang menuju Sidempuan terputus total. Beruntung, pemilik warung di Adian Koting memberinya tempat berlindung.

    “Pemilik warung minta ya sudah istirahatlah di sini dulu,” kenang Rio saat berbincang dengan wartawan, Rabu (3/12/2025).

    Sekitar pukul 23.00 WIB, saat sebagian besar orang telah tertidur, teriakan minta tolong membangunkannya. Dia spontan keluar warung dan bergegas membantu. Berbekal lampu mobil sebagai penerangan untuk evakuasi awal. Beberapa saat kemudian, Rio kembali untuk berganti pakaian. Ternyata alam mulai mengirimkan sinyal bahaya yang mematikan.

    “Saya mendengar lima kali gemuruh, tapi tidak ada longsor saat dilihat keluar,” ujar Rio. 

    Firasat yang kuat membuatnya segera membangunkan semua orang di rumah itu. Gemuruh keenam datang tanpa kompromi. Rio, dengan sigap meraih putra bungsunya. Momen itu adalah pelukan terakhir ayah dan anak.

    “Saya pegang anak, terus gemuruh ke-6 langsung datang. Anak saya yang saya pegang tidak tahu terlempar ke mana. Saya juga terhempas, tahu-tahu sudah setinggi leherlah tanah menimbun saya,” kenangnya dengan suara lirih.

  • Subuh-subuh, Gibran Bertolak ke Sumatera Tinjau Lokasi Terdampak Banjir
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Desember 2025

    Subuh-subuh, Gibran Bertolak ke Sumatera Tinjau Lokasi Terdampak Banjir Nasional 4 Desember 2025

    Subuh-subuh, Gibran Bertolak ke Sumatera Tinjau Lokasi Terdampak Banjir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming berangkat mengunjungi lokasi terdampak banjir di tiga provinsi Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada Kamis (4/12/2025) hari ini.
    Pantauan Kompas.com, Gibran mulai melangkah ke pesawat untuk bertolak ke Sumatera dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (4/12/2025) sekitar pukul 04.45 WIB subuh.
    Mengenakan kemeja biru lengan panjang, dia menggunakan pesawat kepresidenan. 
    Jumlah korban akibat bencana di tiga provinsi Sumatera, yakni Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, telah mencapai 770 orang.
    Penambahan jumlah korban jiwa tersebut diketahui berdasarkan informasi Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB) per Rabu (3/12/2025) sore.
    Hingga saat ini, masih ada ratusan korban hilang dan proses evakuasi masih dilakukan secara masif.
    Presiden Prabowo Subianto sebelumnya juga sudah lebih dahulu mengunjungi para korban terdampak bencana di Sumatera. Prabowo datang ke tiga provinsi tersebut pada Senin (1/12/2025).
    Di hadapan masyarakat, Prabowo menegaskan pemerintah tidak akan membiarkan masyarakat korban banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah titik di Sumatera berjuang sendirian.
    Kepala Negara juga menyampaikan duka cita yang mendalam kepada para korban terdampak.
    “Ini musibah, saya turut berduka cita dengan keluarga yang kehilangan. Dan saya berdoa, bapak-bapak, ibu-ibu, tabah, tegar. Percaya kita semua satu keluarga besar, kita tidak akan membiarkan saudara-saudara sendiri memikul beban,” kata Prabowo saat berdialog dengan warga korban banjir di Kasai Permai, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Senin (1/12/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.