Pabrik Plasma Pertama RI Diharapkan Akhiri Krisis Pasokan Obat Derivat di RS

Pabrik Plasma Pertama RI Diharapkan Akhiri Krisis Pasokan Obat Derivat di RS

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menilai kehadiran pabrik fraksionasi plasma darah nasional pertama di Indonesia akan mengakhiri kekhawatiran akan keterbatasan pasokan obat derivat plasma yang selama ini bergantung 100% impor. 

Pabrik yang dibangun melalui kerja sama SK Plasma dan Indonesia Investment Authority (INA) itu disebut langkah strategis dalam memperkuat ketahanan obat nasional. Operasional pabrik akan dimulai pada Desember 2026 mendatang. 

Ketua Umum ARSSI Iing Ichsan Hanafi mengatakan, pihaknya sebagai penyerap farmasi nasional lega dengan kabar pembangunan pabrik fraksionasi plasma darah tersebut yang akan menghasilkan obat derivat plasma (plasma derived medicinal products/PDMP) seperti albumin, imunoglobulin, dan faktor pembekuan darah.

“Produksi dalam negeri akan mengurangi risiko kekosongan obat yang selama ini sering terjadi akibat keterlambatan impor,” kata Hanafi kepada Bisnis, Senin (22/12/2025). 

Sebab, selama ini Indonesia hampir 100% bergantung pada impor PDMP. Kondisi ini membuat ketahanan obat derivat plasma sangat rentan terhadap gangguan rantai pasok global, fluktuasi harga internasional, serta risiko geopolitik dan logistik.

Dia pun meyakini dengan beroperasinya pabrik fraksionasi plasma di dalam negeri, ketergantungan impor berpotensi berkurang signifikan secara bertahap.

“Ketersediaan obat pun menjadi lebih terjamin dan terkontrol, serta mendukung amanat kemandirian farmasi nasional,” terangnya. 

ARSSI menilai inisiatif pembangunan pabrik fraksionasi plasma ini sejalan dengan kebijakan strategis nasional, khususnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024 (ketahanan kefarmasian), dan Permenkes No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang industri farmasi.

Hanafi menyebut, kehadiran fasilitas produksi obat derivat juga akan memberikan kepastian akan pasokan yang lebih baik, terutama untuk kasus gawat darurat dan penyakit kronis.

“Hal ini juga untuk memikirkan ketersediaan stok untuk rumah sakit swasta yang di ujung pelosok Indonesia,” imbuhnya. 

Di sisi lain, dalam jangka menengah dan panjang, pengelola rumah sakit juga berharap biaya produksi lokal lebih terkendali dibandingkan harga impor. 

“Hal ini membuka peluang harga PDMP menjadi lebih rasional dan stabil, meskipun pada fase awal operasional efisiensi belum langsung optimal,” jelasnya. 

Dengan harga dan pasokan yang lebih stabil, dia memperkirakan beban klaim BPJS untuk terapi berbasis PDMP berpotensi lebih terkendali. 

Namun, ARSSI menekankan pentingnya sinkronisasi harga e-katalog, dengan harga riil di lapangan. Tak hanya itu, diperlukan evaluasi tarif Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs), yang ke depan menjadi Indonesia Diagnosis Related Group (INA DRG), serta kejelasan skema pengadaan.

“Ini penting agar rumah sakit tidak mengalami mismatch tarif dan biaya riil,” pungkasnya.