Bisnis.com, JAKARTA — Harga aluminium diperkirakan stabil pada kisaran US$2.600–US$2.700 per ton pada 2026, setelah sempat mengalami kenaikan akibat sejumlah faktor eksternal.
Direktur Pengembangan Usaha PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Arif Haendra mengatakan bahwa pergerakan harga aluminium tahun depan kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini karena adanya dinamika pasar global.
“Aluminium tahun depan saya kira masih akan bertengger seperti saat ini karena kita kan enggak tahu kondisi eksternal,” ujar Arif saat ditemui disela-sela Outlook Industri Aluminium 2025, Sabtu (15/11/2025).
Menurut dia, kenaikan harga yang terjadi belakangan ini dipengaruhi oleh anomali pasar, termasuk lonjakan harga tembaga yang berdampak pada substitusi kebutuhan ke aluminium.
Dengan kondisi kenaikan harga tersebut diprediksi menaikkan laba perusahaan hingga 5% pada akhir tahun ini. Terlebih, tak ada kenaikan biaya produksi dalam operasional smelter.
“Kalau sudah normal, harga akan kembali ke sekitar US$2.600–US$2.700 per ton. Sekarang US$2.800 per ton karena harga tembaga lagi melonjak tinggi,” ujarnya.
Arif menjelaskan bahwa kenaikan harga tembaga terjadi karena gangguan produksi, termasuk penghentian operasi oleh Freeport serta beberapa tambang tembaga di Chile. Kondisi ini mendorong pasar beralih menggunakan aluminium sebagai bahan substitusi.
“Pada saat harga tembaga naik, berpindahlah ke aluminium. Kabel-kabel listrik tegangan tinggi sekarang banyak yang menggunakan aluminium karena lebih ringan. Konduktivitas listriknya juga mirip,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa meskipun suplai aluminium turut meningkat, jumlahnya tidak signifikan sehingga tetap mendorong kenaikan harga.
Sejalan dengan tren harga global, industri aluminium Indonesia juga menunjukkan penguatan yang signifikan. Peningkatan kapasitas produksi dalam negeri, surplus neraca perdagangan, dan bertambahnya investasi pada proyek refinery baru mempertegas peran penting aluminium sebagai backbone industri Indonesia, terutama di sektor kemasan, konstruksi, otomotif, dan energi terbarukan.
Direktur Industri Logam, Ditjen Ilmate Kemenperin, Dodiet Prasetyo, menyampaikan bahwa outlook industri aluminium pada 2026 mengindikasikan tren yang semakin positif.
“Indonesia bergerak menjadi produsen alumina dan aluminium yang semakin kuat. Peningkatan kapasitas aluminium primer serta bertambahnya fasilitas refinery menunjukkan ketahanan pasokan dalam negeri makin kokoh,” ujar Dodiet.
Data Kementerian Perindustrian mencatat bahwa pada Januari–Agustus 2025, ekspor alumina mencapai 3,66 juta ton, mendekati capaian tahun sebelumnya.
Sementara itu, impor turun menjadi 816.000 ton, seiring mulai beroperasinya PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) untuk pasokan bahan baku alumina untuk Inalum.
Peningkatan kapasitas produksi nasional juga terlihat dari kinerja smelter aluminium dan refinery alumina. Hingga pertengahan 2025, total output refinery mencapai 2,01 juta ton alumina, sementara smelter aluminium menghasilkan 352 ribu ton aluminium primer, dengan utilisasi mendekati 91% untuk smelter aluminium dan 64% untuk refinery alumina.
“Dengan adanya rencana perluasan PT Inalum, optimalisasi produksi PT Hua Chin Aluminum Indonesia, dan beroperasinya PT Kalimantan Aluminium Industry, pasokan aluminium primer kita diperkirakan dapat menembus lebih dari 1 juta ton pada 2027,” terangnya.
Kondisi tersebut akan memperkuat pasokan bahan baku industri hilir seperti kabel listrik, aluminium plate/sheet/foil, pengecoran logam aluminium, hingga industri aluminium ekstrusi yang membutuhkan bahan setidaknya 1 juta ton aluminium per tahun.
Perkiraan global dari lembaga internasional menunjukkan bahwa harga aluminium pada 2026 relatif stabil, berada di kisaran US$2.200–2.625 per ton.
Hal ini ditopang meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan otomotif global. Stabilitas harga ini memberikan ruang bagi industri nasional untuk memperluas kapasitas dan investasi hilirisasi.
Menurut Dodiet, harga yang kompetitif dan pasokan domestik yang semakin kuat merupakan kombinasi ideal untuk mempercepat pertumbuhan industri hilir Indonesia.
“Ini momentum besar bagi pengembangan produk turunan seperti panel surya, komponen otomotif, hingga berbagai aplikasi industri maju,” pungkasnya.
