OTT KPK dan Ilusi Perubahan

OTT KPK dan Ilusi Perubahan

OTT KPK dan Ilusi Perubahan
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
PENGHUJUNG
tahun 2025 kembali menghadirkan irama yang sudah akrab dalam lanskap pemberantasan korupsi Indonesia: operasi tangkap tangan (OTT).
Ritual tahunan ini seolah menjadi puncak dramatis dari perjuangan panjang melawan praktik kotor yang merajalela di kalangan pejabat publik.
Terdengar keren karena banyak koruptor berjas rapi yang akhirnya tertangkap basah, lengkap dengan drama penggeledahan dan borgol di depan kamera.
Namun, di balik sorotan itu, muncul pertanyaan besar: apakah ini sekadar teater akhir tahun, atau langkah nyata menuju bersihnya birokrasi kita?
Dalam rentang November hingga Desember, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan serangkaian penindakan intensif di berbagai daerah.
Kepala daerah, aparat penegak hukum, hingga pihak swasta ditangkap. Puncaknya terjadi pada 18 Desember 2025, ketika KPK menggelar OTT serentak di sejumlah wilayah dan mengamankan sekitar 25 orang dalam satu hari.
Bagi masyarakat, momen ini memantik dua perasaan yang bertolak belakang. Di satu sisi, muncul kembali keyakinan bahwa KPK masih memiliki daya gigit.
Di sisi lain, terselip kegelisahan lama, apakah gelombang OTT ini benar-benar menandai kemajuan substantif dalam pemberantasan korupsi, atau sekadar repetisi penindakan yang berisik, tetapi dangkal?
Secara empiris, pola yang muncul nyaris identik dengan tahun-tahun sebelumnya. Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid pada 3 November 2025, terkait dugaan pemerasan proyek infrastruktur, disusul penangkapan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko pada 7 November 2025 dalam perkara suap pengadaan, memperlihatkan relasi transaksional yang nyaris klise antara kekuasaan dan bisnis.
Proyek publik kembali menjadi komoditas politik-ekonomi paling menguntungkan: dilelang diam-diam di meja negosiasi gelap, di mana suap jadi “biaya operasional” wajib dan tender ditentukan bukan oleh kualitas, melainkan kedekatan dengan kekuasaan.
Sementara itu, kepentingan warga mulai dari jalan rusak hingga fasilitas sehari-hari tersisih total, cuma jadi korban yang membayar pajak untuk mendanai pesta korupsi para penguasa dan pengusaha.
Ironisnya, rakyat yang paling dirugikan justru dipaksa bertepuk tangan saat pelaku tertangkap.
Memasuki Desember, eskalasi OTT kian terasa. Penindakan yang melibatkan jaksa dan pengacara di Banten bukan sekadar perkara individu, melainkan cermin rapuhnya etika dalam sistem penegakan hukum.
Penangkapan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama sejumlah pihak, termasuk ayahnya yang menjabat Kepala Desa Sukadami, memperlihatkan bagaimana relasi kekuasaan kerap menjalar hingga lingkaran keluarga terdekat.
Operasi serupa di Kalimantan Selatan kemudian menegaskan satu kenyataan yang sulit dibantah: desentralisasi kewenangan belum diiringi desentralisasi integritas.
Kekuasaan memang tersebar ke daerah, tetapi tanpa pengawasan memadai, ruang korupsi justru ikut meluas mengikuti arus anggaran dan diskresi.
Jika ditarik secara kuantitatif, hampir separuh
OTT KPK
sepanjang 2025 terjadi di penghujung tahun. Fakta ini memunculkan kesan bahwa penindakan kerap memuncak menjelang tutup kalender, seolah menjadi etalase kinerja.
Persepsi ini, adil atau tidak, menempatkan KPK pada posisi rentan: setiap OTT bukan hanya diuji secara hukum, tetapi juga dibaca secara simbolik dan politis.
Tidak bisa dipungkiri, OTT selalu beroperasi dalam ruang politik. Tahun 2025 adalah fase konsolidasi pasca-Pemilu 2024, ketika relasi kekuasaan tengah disusun ulang.
Dalam konteks ini, penindakan korupsi mudah ditarik ke dalam narasi politisasi hukum atau kriminalisasi lawan.
Tuduhan-tuduhan tersebut kerap muncul tanpa bukti memadai, tetapi tetap efektif menggerus kepercayaan publik.
Namun, mereduksi OTT semata sebagai instrumen politik juga menyesatkan. Fakta hukum menunjukkan korupsi memang bersifat sistemik dan berulang.
Persoalannya bukan pada ada atau tidaknya kejahatan, melainkan pada konsistensi dan kedalaman strategi pemberantasannya.
Di titik inilah teori
principal agent
yang dirumuskan Robert Klitgaard menjadi relevan. Korupsi, menurut Klitgaard, tumbuh subur ketika pejabat memiliki monopoli kewenangan, diskresi yang luas, dan akuntabilitas lemah.
Rumusnya terkenal sederhana:
Corruption
=
Monopoly
+
Discretion

Accountability.
Kasus-kasus OTT di akhir tahun 2025 adalah ilustrasi konkret dari rumus tersebut. Kepala daerah menguasai keputusan proyek, memiliki ruang diskresi besar dalam perizinan dan anggaran, sementara mekanisme pengawasan sering kali bersifat formalistik semata.
Dalam struktur seperti ini, korupsi bukan anomali, melainkan konsekuensi sistemik.
OTT memang meningkatkan akuntabilitas melalui hukuman. Namun, jika berhenti pada penindakan, yang berubah hanya aktornya, bukan strukturnya.
Koruptor yang tertangkap akan digantikan koruptor baru, sementara sistem yang permisif tetaplah utuh tak tersentuh. Tidak mengherankan jika efek jera bersifat sementara.
Kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 menjadi 37 memang memberi sinyal perbaikan setelah stagnasi di angka 34, bahkan mendorong peringkat Indonesia ke posisi 99 dunia. Namun, angka ini belum cukup untuk dibaca sebagai kemajuan substantif.
Penurunan skor pada sejumlah indikator kunci. Mulai dari penyalahgunaan sumber daya publik, korupsi politik lintas kekuasaan, hingga penyuapan dalam aktivitas bisnis menunjukkan bahwa masalah mendasarnya belumlah tersentuh.
Skor IPK 2024 juga masih lebih rendah dibanding capaian terbaik Indonesia pada 2019, menandakan pemulihan belum utuh. Karena itu, di tengah meningkatnya OTT, persepsi publik terhadap korupsi tetap relatif stagnan.
Korupsi dipandang sebagai penyakit kronis yang terus berulang, bahkan merambah aparat penegak hukum sendiri. Dalam situasi ini, penindakan tidak hanya menghadapi tantangan efektivitas, tetapi juga krisis legitimasi.
Meski demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Gelombang OTT akhir tahun 2025 setidaknya menegaskan bahwa praktik korupsi tidak sepenuhnya aman.
Namun, harapan itu hanya bermakna jika penindakan diikuti proses hukum transparan, putusan adil, dan pemulihan aset negara.
Lebih penting lagi, OTT harus menjadi pintu masuk reformasi sistemik: pembatasan diskresi, digitalisasi layanan publik, penguatan pengawasan, dan perlindungan pelapor.
Pada akhirnya, gelombang OTT di penghujung tahun 2025 seharusnya tidak berhenti sebagai statistik penindakan atau tontonan musiman. Ia mesti dibaca sebagai peringatan tentang rapuhnya sistem yang terus memproduksi pelanggaran serupa.
Selama negara lebih nyaman merayakan penangkapan daripada membenahi desain kekuasaan dan pengawasan, korupsi akan selalu menemukan jalannya.
Dalam keadaan demikian, OTT bukanlah tanda kemenangan, melainkan penanda bahwa pekerjaan rumah pemberantasan korupsi masih jauh dari kata selesai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.