Liputan6.com, Jakarta – Upaya global dan nasional untuk menanggulangi krisis polusi plastik kini menghadapi tembok tebal berupa tantangan finansial yang jarang dibahas secara terbuka
Dibalik kampanye daur ulang yang gencar, terdapat kenyataan pahit bahwa memungut sampah plastik dari lingkungan memerlukan biaya operasional yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai jual material itu sendiri.
Hal ini diungkapkan oleh berbagai organisasi nirlaba yang bergerak di garis depan pembersihan lingkungan, menyoroti bahwa tanpa intervensi inovasi yang inovatif, bisnis daur ulang plastik sulit untuk bertahan secara mandiri melawan murahnya harga plastik baru (virgin plastic).
Co-founder dan CEO Seven Clean Seas, Tom Peacock Nazil secara gamblang menyoroti ketimpangan ekonomi ini dalam sebuah diskusi di Jakarta.
“Biaya pengumpulan sampah plastik dari lingkungan seringkali melebihi nilai jual kembali material tersebut,” ujar Tom, melansir dari Antara, Jumat (28/11/2025).
Sebuah fakta yang membuat investor enggan menanam modal di sektor pengelolaan limbah.
Kondisi ini menciptakan kegagalan pasar (pasar gagal), di mana, sampah plastik yang tercecer di alam seperti di sungai dan pantai pesisir dibiarkan begitu saja karena memungutnya dianggap tidak menguntungkan secara bisnis.
Padahal, plastik-plastik inilah yang paling berpotensi merusak ekosistem laut dan mencemari rantai makanan manusia.
Masalah ini semakin sulit bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Logistik pengangkutan sampah dari pulau-pulau terpencil ke pusat daur ulang di Jawa memakan biaya transportasi yang sangat besar.
Akibatnya, banyak inisiatif bank sampah atau pengepul kecil gulung tikar karena margin keuntungan yang terlalu tipis, atau bahkan merugi.
Organisasi tidak mendesak adanya mekanisme pembiayaan baru yang tidak hanya bergantung pada penjualan plastik daur ulang, melainkan adanya subsidi silang atau insentif dari produsen produsen kemasan.
Tanpa solusi finansial ini, target pemerintah untuk mengurangi sampah laut hingga 70 persen pada tahun 2025 akan sulit tercapai hanya dengan mengandalkan kerja sukarela atau bisnis konvensional semata.
Sampah plastik menyumbang 10 hingga 12 persen dari seluruh limbah padat di Kenya, menurut Program Lingkungan PBB. Sebuah perusahaan teknologi Kenya mendaur ulang limbah plastik itu untuk mencetak model 3-dimensi yang membantu pendidikan mahasiswa ars…
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5299939/original/099269200_1753856495-kope8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)