Bisnis.com, JAKARTA – Sejarah fiskal Indonesia mencatat babak baru pada September 2025 ketika Menteri Keuangan menggelontorkan dana senilai Rp200 triliun ke sistem perbankan, melalui Bank Himpunan Milik Negara (Himbara). Desain kebijakannya menarik, di mana hal ini dapat memperkuat likuiditas dan menggenjot sektor riil. Salah satunya melalui penyaluran kepada Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dengan suku bunga 2%.
Langkah berani ini lahir dari paradoks yang menggelisahkan. Data BPS menunjukkan angka kemiskinan memang turun tipis, dari 8,57% menjadi 8,47% antara September 2024 hingga Maret 2025. Namun, Indeks Kedalaman Kemiskinan justru meningkat. Mereka yang miskin kini makin jauh dari garis kemiskinan, dan makin sulit menjangkau kebutuhan dasar.
Kontradiksi ini makin tajam ketika kita cermati disparitas antarwilayah. Perdesaan mencatat penurunan kemiskinan signifikan sebanyak 430.000 jiwa, sementara perkotaan justru mengalami peningkatan 220.000 jiwa. Keberhasilan penurunan kemiskinan perdesaan tidak terlepas dari kebijakan penyesuaian harga gabah menjadi Rp6.500 per kilogram, ditambah melambungnya harga komoditas perkebunan di pasar global sehingga nilai tukar petani terus mengalami perbaikan.
Kemudian yang lebih memprihatinkan adalah pergeseran pola konsumsi penduduk miskin yang cenderung defensif. Hal ini tampak dari proporsi pengeluaran untuk pangan meningkat, tetapi ironisnya bukan untuk protein hewani atau makanan bergizi, melainkan untuk beras, mi instan, bahkan rokok kretek. Kebutuhan non-makanan dan asupan gizi dikorbankan demi bertahan hidup.
Data menunjukkan lebih dari tiga perempat anggaran kemiskinan dialokasikan untuk bantuan sosial dan subsidi, pendekatan ini menempatkan masyarakat miskin sebagai objek pasif penerima bantuan. Sementara itu, alokasi untuk program peningkatan pendapatan yang dapat memperbaiki kesejahteraan dan peningkatan pendapatan secara berkelanjutan masih di bawah 20%.
KONSEP-IMPLEMENTASI
Perubahan paradigma yang menempatkan masyarakat miskin sebagai subjek pembangunan telah menjadi keharusan dalam upaya pembangunan. Pemerintah memiliki daya ungkit luar biasa untuk menggerakkan ekonomi rakyat, seperti yang terus disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
Keberhasilan di perdesaan memberi pelajaran berharga, ketika petani memiliki akses terhadap pasar dan harga yang layak, mereka mampu keluar dari kemiskinan dengan kekuatan sendiri. Namun, ketergantungan pada fluktuasi harga komoditas global harus diakhiri dengan membangun rantai nilai yang lebih kokoh melalui industrialisasi perdesaan.
Di sinilah gagasan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menemukan relevansinya. Koperasi ini memberikan kepastian harga dan pasar bagi petani, di samping itu juga berperan sebagai penyedia kebutuhan pokok dengan harga terjangkau untuk menjaga daya beli masyarakat, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi produktif berbasis potensi lokal, seperti yang sekarang diorkestrasi oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan sebagai Ketua Satuan Tugas.
Indonesia memiliki momentum emas. Dukungan politik dari pemerintahan baru, kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif, serta semangat gotong royong yang kuat di masyarakat menjadi modal berharga. Hal yang diperlukan sekarang adalah eksekusi yang fokus, konsisten, dan terukur.
Upaya pengentasan kemiskinan memang harus dilakukan secara maraton, dengan langkah awal yang tepat. Suntikan likuiditas Rp200 triliun dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, kita sedang membangun fondasi yang kokoh untuk Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Setiap Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang berdiri, setiap keluarga yang terbantu, setiap petani yang mendapat harga layak, adalah bukti bahwa transformasi ekonomi akar rumput sedang berlangsung.
MENATAP REALISTIS
Desentralisasi program pengentasan kemiskinan ke tingkat kabupaten/kota membuka ruang bagi local wisdom untuk berperan. Pemerintah daerah yang lebih memahami karakteristik kemiskinan di wilayahnya dapat merancang intervensi yang lebih presisi. Namun, desentralisasi tanpa penguatan kapasitas dan pengawasan yang ketat hanya akan melahirkan raja-raja kecil baru.
Kolaborasi pentahelix yang melibatkan akademisi, komunitas, pemerintah, media, serta pelaku usaha merupakan kebutuhan mendasar. Akademisi menyediakan basis ilmiah, komunitas memfasilitasi partisipasi, pemerintah menyediakan kerangka regulasi dan anggaran, media mengawal transparansi, pelaku usaha membuka akses pasar. Ketika kelima elemen ini bersinergi, tercipta ekosistem pemberdayaan yang organik dan berkelanjutan.
Momentum penurunan angka kemiskinan agregat ini jangan sampai membuat kita terlena. Justru inilah saatnya melakukan lompatan paradigmatic dari pendekatan karitatif menuju pemberdayaan yang produktif.
Ketika paradigma berubah, anggaran di realokasi, dan seluruh elemen bangsa bersinergi, barulah kita dapat berbicara tentang pembangunan yang sesungguhnya, pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
