Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) akhirnya menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) beras. Melalui Keputusan Kepala Bapanas No. 299 Tahun 2025 tentang Penetapan HET Beras, 22 Agustus 2025, HET beras medium zona I naik dari Rp12.500/kg menjadi Rp13.500/kg (naik 8%), zona II naik dari Rp13.100/kg jadi Rp14.000/kg (6,9%) dan zona III naik dari Rp13.500/kg jadi Rp15.500/kg (14,8%).
Langkah ini membuat penggilingan kecil yang ‘sesak napas’ sejak Januari lalu mulai lega. ‘Sesak napas’ penggilingan terjadi ketika Bapanas, 12 Januari 2025, menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di petani dari Rp6.000/kg menjadi Rp6.500/kg.
HPP yang semula disertai syarat kualitas dan rafaksi harga itu di kemudian hari diubah tanpa syarat kualitas dan rafaksi harga. Anehnya, ketika HPP gabah dinaikkan, HET beras tak dikoreksi. Padahal gabah adalah bahan baku beras. Kala harga bahan baku naik, hasil olahan juga naik. Penafikan golden rules ini membuat pasar beras mengalami regresi: pedagang dan penggilingan harus bisa berproduksi di tengah margin kecil, bahkan rugi.
Sebagai regulator pemerintah tentu paham hal ini. Bukannya mengoreksi, otoritas penguasa justru melontarkan tudingan tak masuk akal: ‘mafia beras’, ‘beras oplos’, dan kalkulasi (potensi) kerugian bombastis: Rp99 triliun. Bahkan, belakangan pedagang dan penggilingan besar dicap ‘musuh negara’. Kini, setelah HET disesuaikan, apakah situasi membaik? Tidak. Karena penyesuaian HET hanya pada beras medium. Penggilingan menengah-besar produsen beras premium tetap sulit bernapas.
Jangan salahkan jika ada yang berpikir nakal: ini wujud kebijakan penggilingan menengah-besar musuh negara? Bukti riil bahwa produsen beras premium sulit bernafas kasat mata dari raibnya aneka merek beras premium di retail-retail modern di berbagai kota. Mereka tak mampu menanggung kerugian bertubi-tubi. Sebagian menyiasati dengan menjual kemasan 50 kg tanpa merek di jejaring pasar tradisional yang tak pernah patuh HET. Sebagian lagi mulai menggarap pasar beras khusus, yang harganya tak diatur.
Beras khusus inilah yang hari-hari ini meng-isi sebagian retail modern. Harganya bisa Rp18.000—Rp20.000/kg. Sebagian sisa-nya berhenti berproduksi dengan konsekuensi cicilan bank macet dan PHK karyawan. Apakah HET beras medium tercapai setelah dinaikan pada 22 Agustus? Merujuk panel data Bapanas, 1 September 2025, harga beras medium masih di atas HET di semua zona. Demikian pula beras premium.
Padahal, untuk membuktikan harga beras segera turun seperti dijanjikan ke publik otoritas kuasa kini menempuh cara-cara tak elok, termasuk cara intimidatif dengan meminta penggilingan tak membeli gabah petani di atas Rp6.500/kg. Ini melukai petani. Ini harus dihentikan. Satgas Pangan yang intens masuk ke pasar harus menahan diri. Aura ketakutan di industri perberasan harus dipulihkan. Pada titik ini, pertanyaan yang relevan diajukan adalah: Apa perlu HET beras? HET mulai diterapkan pada September 2017.
Alasan saat itu: ada mafia beras. Mafia ini menangguk keuntungan berlebih. Sampai sekarang mafia beras yang dituduhkan tidak pernah terbukti. Akan tetapi, narasi itu selalu diulang sebagai kambing hitam manakala tata kelola perberasan nasional acakadut dan tidak mampu dikelola otoritas penguasa, seperti saat ini. HET beras, hemat saya, adalah salah satu biang acakadut perberasan kita.
Pertama, mustahil mematok harga tetap, seperti HET, di hilir manakala harga bahan baku fluktuatif. HET akan lebih mudah dipatuhi apabila harga gabah sebagai input produksi tidak potensial melonjak. Namun, mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tidak adil bagi petani karena input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan yang lain) harganya tidak tetap. Kalau harga bahan baku tak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual tetap itu juga membatasi inovasi?
Kedua, sampai saat ini HET tidak efektif. Buktinya sampai sekarang pedagang di pasar tradisional tak pernah patuh HET. Kalau 8 tahun berlalu tak efektif kenapa HET beras masih tetap dipertahankan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan gulung tikar? Bukankah penggilingan dan pedagang beras terus dihantui traumatik kehadiran Satgas Pangan saat mengamankan HET? Diakui atau tidak, hemat saya beleid HET telah mengirim banyak penggilingan ke jurang maut.
Ketiga, HET (dan HPP) hanya mengikat pemerintah. Pasal 56 ayat a dan b UU Pangan No. 18/2012 mengatur bahwa stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok dilakukan melalui penetapan harga di tingkat produsen sebagai pedoman pembelian pemerintah dan penetapan harga di konsumen sebagai pedoman penjualan pemerintah. Rumusan UU ini jelas: HPP sebagai penetapan harga di produsen dan HET sebagai penetapan harga di konsumen hanya berlaku bagi pemerintah. Kekacauan muncul karena HET yang kini diatur lewat Peraturan Kepala Bapanas mengikat publik dan ada sanksi.
Merujuk sejarah perberasan, HET adalah jelmaan ‘harga langit-langit’ (ceiling price) saat Orde Baru. Beleid ini tak mengikat publik dan berapa level harga tak pernah diumumkan. Seperti ‘harga langit-langit’, dalam konteks stabilisasi harga sejatinya HET adalah instrumen pemerintah. Bukan piranti mengatur pelaku usaha. HET adalah batas perlu-tidaknya pemerintah mengintervensi pasar. Kala harga beras melampaui persentase tertentu dari HET, ini sinyal bagi pemerintah turun ke pasar mengintervensi harga. Golden rules ini harus kembali ke rel. Jangan sampai pemerintah dituduh melanggar UU.
