Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia memiliki cita-cita besar menjadi negara maju pada usia 100 tahun kemerdekaan, yang dikenal dengan visi Indonesia Emas 2045.
Pendapatan per kapita ditarget US$23.000–30.300 pada 2045, setara dengan negara-negara maju, dengan kontribusi PDB manufaktur meningkat menjadi 28%. Sebagai pijakan, PDB per kapita pada 2038 ditargetkan US$15.700. Ini butuh pertumbuhan ekonomi 6%–7% per tahun, dengan penguatan produktivitas dan transformasi struktural di sektor-sektor bernilai tambah tinggi.
Sejalan dengan itu, Asta Cita Kabinet Merah Putih menekankan pentingnya penghiliran dan pengembangan industri berbasis sumber daya alam untuk memperkuat fondasi industrialisasi dan memastikan nilai tambah dinikmati di dalam negeri.
Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan. Pada 2024, PDB per kapita hanya US$4.810, dengan pertumbuhan ekonomi di sekitar 5%. Kontribusi PDB manufaktur hanya 18%–19%. Adapun negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Jerman, berhasil melakukan lompatan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi selalu didukung kontribusi manufaktur kuat di level 30%–40% terhadap PDB.
Karena itu, Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan manufaktur sebagai penggerak utama.
Pengalaman Jepang memberi pelajaran penting. Chalmers Johnson dalam bukunya MITI and the Japanese Miracle: the Growth of Industrial Policy, 1925–1975 (1982), menunjukkan bahwa peran MITI (Ministry of International Trade and Industry) sangat menentukan dalam merumuskan arah industrialisasi.
MITI mendorong proteksi selektif, kredit murah, dan promosi ekspor, dengan fokus pada pengembangan industri strategis seperti otomotif dan elektronik yang padat karya. Prof. G.C. Allen, ekonom University of London, menulis faktor-faktor pemacu ekonomi Jepang, surplus pertanian dialihkan untuk membiayai industri baru, sementara ekspor sutra menjadi devisa penting untuk mengimpor mesin dan teknologi.
Hasilnya, ekonomi Jepang berhasil take-off. PDB per kapita meningkat dari US$860 (1950) menjadi US$2.000 (1970). Pada fase ini, ekonomi tumbuh 9%–10% per tahun, dan kontribusi manufaktur terhadap PDB mencapai 35%. Kini, dengan PDB per kapita US$33.950 (World Bank, 2023), Jepang tetap menjadi negara maju dengan kekuatan manufaktur yang bertransformasi ke sektor jasa berteknologi tinggi.
Korsel, yang awal 1960-an, tergolong negara agraris dan miskin, telah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan industri dan teknologi global.
Alice Amsden dalam bukunya Asia’s Next Giant (1989) menekankan, keberhasilan Korsel terletak pada peran pemerintah dalam membangun ekosistem industri sehingga manufakturnya tumbuh pesat dengan kontribusi PDB lebih dari 30% pada 1980-an, dan ekonomi bertumbuh 8%–10% per tahun. Kini, PDB perkapita-nya US$35.410 (2023).
China memulai reformasi ekonomi sejak 1978. Kebijakan Reform and Opening-Up menjadi tonggak perubahan struktur ekonomi yang didominasi pertanian menuju industrialisasi dan manufaktur modern. Pemerintah gencar membentuk zona ekonomi khusus untuk menarik investasi asing, mempercepat transfer teknologi, dan memperkuat infrastruktur skala besar.
Hasilnya, China bertransformasi menjadi “pabrik dunia”, dengan PDB manufaktur konsisten di atas 30%, dan pertumbuhan ekonomi melonjak 10% per tahun (1980–2010). GDP per kapita pun meningkat pesat dari US$195 (1980) menjadi US$4.500 (2010), dan kini mencapai US$12.720 (2023).
Transformasi ini tidak hanya mengangkat lebih dari 800 juta penduduk keluar dari kemiskinan, tetapi juga menjadikan China salah satu kekuatan manufaktur dan ekonomi terbesar di dunia.
Jerman telah menjadi nega-ra industri maju jauh sebelum Perang Dunia II. Jerman juga berhasil melakukan Wirtschaftswunder (Keajaiban Ekonomi), yakni mengubah negara yang hancur akibat perang menjadi salah satu ekonomi terkuat dunia.
Awal 1950-an, PDB per kapita Jerman sekitar US$2.300 (1950), dan PDB manufakturnya lebih dari 40%. Pertumbuhan ekonomi 1950–1973 sangat tinggi, 7%–8% per tahun, didorong ekspor industri dan efisiensi produksi. Motor utamanya adalah sektor manufaktur teknologi tinggi, terutama otomotif, mesin, dan rekayasa teknik.
Keunikan Jerman terletak pada konsistensinya menjaga kualitas dan inovasi industri, didukung sistem pendidikan vokasi dual system yang menghubungkan sekolah kejuruan dengan industri, termasuk kolaborasi dalam penyusunan kurikulum. Dengan GDP per kapita US$52.820 (2023), Jerman menempati posisi ke-18 tertinggi dunia, dan ketiga di Eropa, setelah Swiss dan Norwegia.
Meski sektor jasa menyumbang lebih dari 70% terhadap GDP, kekuatan manufaktur berteknologi tinggi tetap menjadi fondasi utama.
Berdasarkan evidensi pengalaman negara-negara maju, Indonesia perlu segera menempuh langkah-langkah strategis untuk memperkuat kembali basis industrinya. Pertama, penerapan kebijakan industri kompetitif, proinvestasi, dan konsisten, yang memberi arah jelas bagi sektor prioritas.
Kedua, penciptaan iklim investasi yang sehat dan transparan, dengan kepastian regulasi dan penegakan hukum yang mendorong kepercayaan pelaku usaha.
Ketiga, pemberian insentif fiskal tepat sasaran untuk mendorong investasi baru, adopsi teknologi mutakhir, dan riset yang menghasilkan nilai tambah tinggi. Keempat, pembangunan infrastruktur dan penyediaan energi yang andal, efisien, dan kompetitif untuk daya saing industri.
Kelima, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi dan sertifikasi keahlian yang terintegrasi dengan dunia industri dan penguasaan teknologi terkini yang berorien-tasi pada inovasi dan digitalisasi proses produksi.
Sinergi dari seluruh kebijakan tersebut menjadi fondasi utama dan kunci keber-hasilan agar reindustrialisasi Indonesia dapat berjalan efektif, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat dasar bagi pencapaian Indonesia Emas 2045.
