Bisnis.com, JAKARTA – The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global seiring dengan ketahanan sejumlah negara yang lebih kuat dari perkiraan sepanjang tahun ini.
Melansir CNBC International pada Rabu (24/9/2025), OECD kini memperkirakan pertumbuhan global sebesar 3,2% pada 2025, naik dari proyeksi Juni sebesar 2,9%. Proyeksi untuk 2026 tetap 2,9%, melambat dibanding pertumbuhan 3,3% pada 2024.
Outlook ekonomi Amerika Serikat juga direvisi naik menjadi 1,8% pada 2025 dari perkiraan 1,6% sebelumnya. Meski demikian, angka ini jauh menurun dibandingkan pertumbuhan 2,8% pada 2024. Untuk 2026, ekonomi AS diproyeksikan tumbuh 1,5%.
“Pertumbuhan global lebih tangguh dari perkiraan pada paruh pertama 2025, terutama di banyak negara berkembang,” tulis OECD dalam laporan terbarunya.
Menurut OECD, produksi industri dan perdagangan didorong oleh percepatan aktivitas sebelum kenaikan tarif diberlakukan. Selain itu, investasi terkait kecerdasan buatan (AI) menopang ekonomi AS, sementara dukungan fiskal di China mampu mengimbangi hambatan perdagangan dan pelemahan pasar properti.
Kepala Ekonom OECD Alvaro Pereira menyebutkan bahwa faktor domestik di sejumlah negara berkembang seperti Brasil, Indonesia, dan India turut memberi dorongan bagi ekonomi global.
Namun, Pereira mengingatkan bahwa proyeksi untuk sebagian besar negara G20 tidak banyak berubah, dan pertumbuhan diperkirakan melambat pada paruh kedua 2025 setelah lonjakan aktivitas pada kuartal I.
Dampak Tarif Masih Membayangi
Meski outlook membaik, OECD memperingatkan risiko besar masih membayangi perekonomian global, terutama akibat tingginya ketidakpastian kebijakan dan tarif impor yang melonjak.
Tarif impor ke AS yang berlaku sejak Agustus membuat banyak negara menghadapi bea masuk hingga 50% untuk produk ekspor mereka. OECD mencatat tarif efektif rata-rata AS melonjak menjadi 19,5% pada akhir Agustus, level tertinggi sejak 1933.
“Dampak penuh dari kenaikan tarif belum sepenuhnya dirasakan. Sebagian perusahaan masih menahan beban kenaikan tarif lewat margin, namun efeknya mulai terlihat pada pola belanja, pasar tenaga kerja, dan harga konsumen,” tulis OECD.
Laporan tersebut juga menyebut pasar tenaga kerja mulai melemah dengan meningkatnya pengangguran di sejumlah negara, sementara proses disinflasi cenderung mendatar.
“Guncangan tarif memicu tekanan inflasi tambahan di banyak negara,” Pereira menambahkan.
OECD kini memperkirakan inflasi di negara-negara G20 sebesar 3,4% pada 2025, sedikit turun dari proyeksi Juni 3,6%. Untuk AS, inflasi direvisi turun lebih tajam menjadi 2,7% dari perkiraan sebelumnya 3,2%.
Dalam laporannya, OECD juga menyoroti potensi kenaikan tarif lebih lanjut dan kembalinya tekanan inflasi sebagai risiko utama, di samping kekhawatiran fiskal dan potensi repricing di pasar keuangan.
“Volatilitas tinggi aset kripto juga meningkatkan risiko stabilitas keuangan, mengingat keterhubungannya yang semakin besar dengan sistem keuangan tradisional. Di sisi lain, pengurangan hambatan perdagangan atau adopsi teknologi AI yang lebih cepat dapat memperkuat prospek pertumbuhan,” tulis OECD.
Ekonomi AS
OECD mengatakan alasan di balik penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 1,5% pada 2026 adalah karena dampak penuh dari penerapan tarif efektif sebesar 19,5% oleh Gedung Putih belum dirasakan sepenuhnya saat ini.
Kepala Ekonom OECD Alvaro Santos Pereira mengatakan tarif ini merupakan pukulan signifikan bagi perekonomian AS. Karena AS memegang peran penting dalam perekonomian dunia, dampaknya merembet ke banyak negara.
Para ekonom mengaku kesulitan mengukur konsekuensi dari langkah Trump yang berusaha menata ulang aturan perdagangan global. Alasannya, skala kebijakan yang luas dan ketidakpastian dalam implementasinya.
OECD menilai, meskipun dampak percepatan impor barang mulai surut dan pengaruhnya terhadap aktivitas riil belum sepenuhnya terlihat, gejala sudah tampak pada harga konsumen dan pola belanja masyarakat.
Pasar tenaga kerja pun mulai menunjukkan pelemahan, dengan tingkat pengangguran yang naik serta jumlah lowongan yang menyusut. Survei bisnis terbaru juga menandakan perlambatan.
“Karena itu, penting bagi negara-negara untuk terus berdialog dan mencapai kesepakatan dalam menurunkan hambatan perdagangan. Kita tahu bahwa perdagangan yang lebih terbuka akan mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Pereira seperti dikutip Bloomberg.
