Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

Bisnis.com, JAKARTA — Polemik status “nonaktif” yang disematkan sejumlah partai politik kepada kadernya di DPR mendapat sorotan dari publik.

Khususnya, agar setiap nahkoda partai segera melakukan pergantian antarwaktu (PAW) terhadap anggota yang dianggap bermasalah.

Sayangnya, pimpinan partai tampak enggan mengambil langkah tegas. Beberapa partai sebelumnya telah menyatakan menonaktifkan kader mereka di DPR. Meski begitu, keputusan tersebut menuai kritik lantaran dianggap hanya bersifat simbolis tanpa dasar hukum yang jelas.

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, saat dimintai tanggapan mengenai desakan PAW, tidak memberikan jawaban tegas. Ia hanya mengulangi sikap partai soal status Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir.

“Kemarin dari DPP Golkar seperti yang sudah disampaikan sekjen, bahwa Pak Adies Kadir sudah dinonaktifkan,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025).

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai hak-hak anggota DPR yang berstatus nonaktif, termasuk soal gaji, Bahlil kembali menghindar.

“Iya nanti kita lihat,” kata Bahlil singkat.

Hal serupa terlihat dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Saat dicecar pertanyaan terkait kemungkinan PAW terhadap Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, Zulhas memilih diam dan langsung menuju mobilnya.

Sikap yang tidak lugas dari para pimpinan partai tersebut semakin memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan “nonaktif” hanyalah langkah sementara untuk meredam kritik, bukan upaya serius dalam menegakkan akuntabilitas politik.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, menilai istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum dan lebih merupakan keputusan politik semata.

“Nonaktif ini bukan istilah hukum, ini adalah keputusan politik. Kalau dalam hukum itu adanya pergantian antar waktu, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap,” ujar Denny saat dihubungi Bisnis, Senin (1/9/2025).

Dia menjelaskan, pemberhentian sementara hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti ketika anggota dewan menjadi tersangka atau terdakwa. Sementara itu, status nonaktif tidak pernah diatur dalam undang-undang.

“Jadi nonaktif ini istilah yang tidak muncul dalam undang-undang, sehingga lebih bersifat politis dari langkah yang diambil partai untuk meredakan ketegangan dengan publik. Tapi konsekuensi hukumnya tidak jelas,” tegasnya.

Denny menilai, perdebatan soal nonaktif seharusnya menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendasar.

“Yang harus ditargetkan bukan hanya anggota dewan yang dijatuhi sanksi, tetapi lebih jauh adalah reformasi DPR dan reformasi partai politik. Karena anggota dewan yang relatif bermasalah hadir lewat proses rekrutmen dan pemilu yang juga bermasalah,” ujarnya.

Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.

“Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3, sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” jelas Feri.