Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out" Nasional 23 Agustus 2025

Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

Noel, Mentalitas Korup, dan “Indonesia Sold Out”
Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
SIAPA
tidak kenal Immanuel Ebenezer Gerungan? Pria kelahiran Riau yang populer dengan sapaan Noel adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Kabinet Merah-Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Noel dikenal sebagai aktivis 98 yang mengklaim punya komitmen terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi.
Suaranya menggelegar, tegas, berwibawa. Ucapannya penuh dengan kata-kata yang mengekspresikan idealisme.
”Kami tidak mau pemerintahan awal Prabowo dirusak oleh brutus, para klepto. Dalam pidato Pak Prabowo disampaikan, jangan kirim orang yang mau nyopet anggaran APBN dan APBD. Pidato itu cocok dengan karakter saya sebagai aktivis 98 yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Noel seusai dipanggil Prabowo Subianto pada 15 Oktober 2024 menjelang pelantikan presiden (
Kompas.id
, 21/08/2025).
Ucapan yang penuh idealisme itu dibatalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lain dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). KPK menyita berbagai mobil dan motor mewah.
Noel adalah pejabat kelas menteri pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo yang tersangkut korupsi.
Noel menambah panjang deret pejabat kelas menteri sejak era reformasi yang meringkuk di penjara akibat korupsi. Belum pejabat lain di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Siapa akan menyusul? Apakah kita yakin bahwa tak akan ada lagi pejabat kelas menteri pada pemerintahan Prabowo yang tersangkut korupsi, kendati sang presiden selalu bicara keras tentang korupsi?
Dulu saya mengira bahwa korupsi hanya dilakukan oleh kalangan tak berpunya. Tak berpunya secara ekonomi, pun tak berpunya secara kekuasaan.
Bila pendapatan naik, kesejahteraan meningkat, korupsi hilang dengan sendirinya. Ternyata, hal itu ilusi belaka.
Ternyata, ada gaya korupsi kelas kakap, korupsi kaum atasan. Mereka golongan berpunya secara ekonomi, sekaligus berpunya secara kekuasaan.
Yang terakhir, berpunya secara kekuasaan, justru kategori yang melipatgandakan nilai yang dikorupsi, pola/modus, dan komplotannya.
Di tangan mereka, korupsi dilakukan dengan menggunakan ilmu. Bukan sekadar ilmu memanfaatkan celah di dalam sistem, melainkan ilmu menyusun celah di dalam sistem.
Untuk kasus Noel, ternyata, pengurusan sertifikat K3 memberikan ruang bagi pemegang kekuasaan untuk “mengambil keuntungan” berlipat-lipat yang dilarang oleh peraturan dan berakibat pidana korupsi. Nilainya tentu sangat besar dilihat dari barang bukti yang disita KPK.
Saya lalu teringat teori budaya kemiskinan yang ditemukan Oscar Lewis. Kemiskinan ternyata bukan soal struktural belaka. Bukan urusan sistem distribusi kue pembangunan saja.
Menurut Lewis, kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri.
Kemiskinan ternyata bisa membentuk nilai-nilai, etos, dan mentalitas tertentu yang membuat kaum miskin sulit keluar dari kubangan kemiskinan.
Nilai-nilai, etos, dan mentalitas produk kemiskinan itu sebut saja “mentalitas miskin”. Perubahan sistem distribusi kue pembangunan tidak dengan sendirinya mengubah mentalitas miskin itu.
Saya melihat, realitas korupsi di negeri menyerupai kemiskinan dan membentuk “mentalitas korup”. Perubahan dari pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi terbukti tak membuat kita keluar dari kubangan korupsi. Meski disediakan lembaga dan perangkat hukum untuk memberantas korupsi.
Bourdieu menyebutnya habitus. Ia bukan sekadar kebiasaan atau kecenderungan, melainkan sistem disposisi yang tertanam di dalam diri individu.
Siapapun bisa terjangkiti. Tinggal ada kesempatan atau tidak. Tak mudah melawannya, karena mentalitas korup yang menjadi habitus akan membuat seseorang kehilangan kepekaan dan daya tolak, alias kebal. Bahasa awamnya, “mendarah daging”.
Mereka tahu tindakannya melanggar hukum, korup, dan merugikan negara dalam jumlah yang tidak kecil, tapi tak cukup berdaya untuk menghindarinya. Bahkan, secara sadar dijalaninya. Muncullah pola atau modus secara berulang.
Saya melihat, mentalitas korup itu terkesan diamini di zaman komodifikasi yang digerakkan kapitalisme pasar.
Di zaman pasar, nyaris tak ada hal yang tak bisa dijajakan, dikapitalisasi. Tentu saja demi keuntungan material.
Sebagaimana hukum pasar, bukan sekadar keuntungan, tapi keuntungan yang berlipat-lipat. Tak peduli urusan sakral, sosial, dan kemanusiaan.
Apa yang bisa menjelaskan korupsi di urusan haji, bantuan sosial, covid-19, dan sejenisnya kalau bukan mentalitas korup?
Ternyata, ucapan Noel yang penuh idealisme tak mampu menyelamatkannya. Habitus itu membuat jurang antara ucapan dan tindakan, memproduksi perilaku hipokrit.
Noel seharusnya mendekonstruksi sistem pengurusan sertifikat K3 yang korup, tapi malah terjerembab di dalamnya.
Air matanya yang meleleh saat mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol bukan lagi ekspresi kesedihan, melainkan olok-olok terhadap diri sendiri.
Kita sudah melampaui vampir. Bila vampir menghisap darah orang lain untuk bertahan hidup, kita menghisap darah untuk kemewahan.
Yang menarik, meski kebetulan saja, pada hari itu juga sejumlah massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) membentangkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Sold Out” di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR RI (
Kompas.com
, 21/08/2025).
Bertambahlah kosakata yang menjadi antitesis “Indonesia Emas”. Sebelumnya ada “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, kini bertambah “Indonesia Sold Out”.
Tak sulit membaca nalarnya. Kaum muda membaca bahwa negeri ini telah habis terjual. Harta kekayaannya dikeruk dan digadaikan kepada rentenir.
Kaum muda itu melihat Ibu Pertiwi bersedih hati. Ternyata, putra-putrinya tak setia menjaga harta pusaka. Mereka lah yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sangat logis bila mereka berteriak keras.
Nalarnya sama dengan Prabowo saat presiden kita itu menulis buku berjudul
Paradoks Indonesia dan Solusinya
. Negeri yang kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin. Penyebabnya adalah “serakahnomics”.
Mentalitas korup dan serakahnomics bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Saling melengkapi, saling mengondisikan. Keduanya menjelma sebagai habitus. Membutakan mata hati dan menumpulkan ketajaman akal sehat.
Kita lalu tak mampu merasakan dan mencerna secara kritis bahwa tata kelola negeri ini sungguh bobrok, yang kebobrokannya mengancam eksistensi Indonesia. Inilah sesungguhnya musuh utama bangsa Indonesia.
Siapa yang akan kebal di kubangan semacam itu? Barangkali hanya “kegilaan” dalam bentuk lain.
Tesis hanya bisa dilawan dengan antitesis yang setara. Bila mentalitas korup dan serakahnomics dianggap kegilaan, maka hanya bisa ditandingi oleh kegilaan yang lain.
Sejarah membuktikan. Indonesia pun lahir dari kegilaan lain pada zamannya. Perubahan besar di dunia ini selalu muncul dari kegilaan lain. Kini, sejarah Indonesia menuntut kegilaan lain.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.