Jakarta, Beritasatu.com – Nissa ‘Sabyan’ dan Ayus telah resmi menikah pada 4 Juli 2024. Pernikahan tersebut dilaksanakan di rumah Nissa yang terletak di Jatiwaringin, Jawa Barat. Sebelum resmi menikah di Kantor Urusan Agama (KUA), sempat beredar informasi Nissa ‘Sabyan’ dan Ayus telah melangsungkan pernikahan siri.
Hal itu menjadi perbincangan di masyarakat karena pernikahan siri, meskipun sah secara agama, tetapi tidak memiliki legalitas di mata hukum negara. Status ini sering kali menimbulkan berbagai spekulasi mengenai alasan dan dampaknya bagi istri juga anak, terutama dalam hal hak-hak hukum yang dapat diakses.
Pernikahan siri atau pernikahan yang dilakukan tanpa dicatat secara resmi oleh negara memiliki sejumlah konsekuensi hukum dan sosial, terutama bagi pihak istri dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Pengaturan perkawinan di Indonesia sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, terdapat dua muatan hukum yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan, walaupun kedua muatan hukum tersebut berada dalam dua ranah hukum yang berbeda. Pasal tersebut menyatakan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks seperti Nissa Sabyan dan Ayus, berikut beberapa dampaknya bagi istri dan anak.
Bagi Istri
1. Tidak diakui secara hukum
Pernikahan siri hanya sah menurut agama tetapi tidak diakui secara hukum negara karena tidak tercatat di KUA. Istri tidak memiliki perlindungan hukum dalam hal hak waris, harta bersama, maupun nafkah jika terjadi masalah dalam pernikahan.
2. Keterbatasan hak hukum
Jika terjadi perceraian, istri tidak bisa menuntut hak nafkah atau harta gono-gini di pengadilan agama karena pernikahan tersebut tidak memiliki dokumen resmi.
3. Stigma sosial
Pernikahan siri sering kali dianggap tabu di masyarakat, yang dapat berdampak pada posisi sosial istri, terutama jika ia diketahui hidup dalam status pernikahan tersebut.
Bagi Anak
1. Status anak
Anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diperbarui dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Untuk mendapatkan pengakuan ayah secara hukum, diperlukan pengesahan melalui pengadilan.
2. Hak waris
Anak dari pernikahan siri tidak otomatis mendapatkan hak waris dari ayahnya secara hukum negara. Pengakuan atau wasiat khusus diperlukan untuk menjamin hak anak.
3. Akses administratif
Pengurusan akta kelahiran anak memerlukan pengakuan dari ayah atau melalui putusan pengadilan, yang sering kali menjadi proses panjang dan rumit.