Pekan kedua COP selalu nmenandai rtime yang drastic. Selama satu pekan Pertama, Ribuan negosiator teknis, birokrat, ilmuwan, dan ahli hukum telah bekerja siang malam di ruanga-ruang sidang yang dingin.
Tugas mereka adalah membersihkan teks perjanjian dari opsi-opsi yang tidak mungkin, memperjelas definisi, dan Menyusun kerangka Kerja.
Namun, mandat mereka terbatas. Mereka tidak memiliki wewenang untuk membuat konsesi politik besar atau mengubah garis merah kebijakan diluar negeri negara masing-masing.
Akibatnya, naskah yang mereka serahkan opada akhir pekan Pertama seringkali masih berupa ‘menu pilihan ganda’ yang rumit, penuh dengan opsi yang sangat saling bertentangan.
Inilah saatnya Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim mengambil alih panggung.
Senin ini, pesawat-pesawat kenegaraan mendarat di Bandara Internasional Val de Cans, membawa pada pengambil Keputusan politik yang memiliki mandat langsung dari kepala negara masing-masing.
Dinamika ‘Green Rooms’ dan Lobi Tingkat Tinggi
Menteri Lingkungan Hidup Brasil sekaligus Presiden COP30, Marina Silva, menghadapi tugas herculean. Yang dimana harus mengelola ego dan kepentingan hamper 200 negara. Strategi Brasil di pekan kedua ini adalah membagi isu-isu tersulit ke dalam kelompok kerja tingkat menteri.
Pasangan menteri biasanya satu dari negara maju dan satu dari negara berkembang, yang ditunjuk sebagai fasilitator untuk memimpin konsultasi informasi tertutup, yang dikenal sebagai ‘Green Rooms’.
Didalam ruangan inilah ‘perdagangan’ sesungguhnya terjadi, para menteri dipaksa untuk melihat gambaran besar, delegasi Amerika Serikat, misalnya, mungkin menolak bahasa yang terlalu keras soal ‘tanggung jawab historis’, tetapi mungkin mereka bersedia melunakkan posisi soal transfer teknologi jika negara berkembang setuju untuk meningkatkan transparasi pelaporan emisi mereka.
NDCs 3.0 dan Global Stucktake
Salah satu agenda terberat bagi pada menteri di pekan ini adalah menyepakato panduan final untuk Nationally Determined Contribution (NDCs) putaran ketiga atau NDC 3.0.
Sesuai siklus Perjanjian Paris, tahun 2025 adalah batas waktu bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka yang mencakup periode hinggal 2025.
Negosiasi saat ini masih terbelah, blok negara maju (dipimpin Uni Eropa) dan negara kepulauan kecil (AOSIS) menuntut agar keputusan COP30 secara eksplisit mewajibkan NDC 3.0 mencakup target penurunan emisi absolut di seluruh sektor ekonomi, temasuk pertanian dan transparasi, serta selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius.
Sebaliknya, blok Like-Minded Developing Countries (LMDC), didalamnya seringkali terdapat China, India, dan Arab Saudi yang menolak mandat yang terlalu preskriptif (mengatur).
Mereka berargumen bahwa Perjanjian Paris bersifat bottom-up (dari bawah ke atas), dimana setiap negara berdaulat menentukan targetnya sendiri sesuai kapabilitas nasional.
Bagi pada negara berkembang, mereka menyetujui target ambisiis tanpa adanya jaminan dukungan implementasi (uang dan teknologi) adalah tindakan bunuh diri dalam politik didalam negeri mereka, mengingat tekanan kebutuhan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Hantu Pasal 6 (Pasar Karbon)
Pembahsaan lain yang harus dieselesaikan pada menteri adalah operasionalisasi Pasal 6 Perjanjian Paris mengenai pasar karbon global.
Meski kerangka dasarnya telah disepakati di COP sebelumnya, detail integrasi lingkungan dan pencegahan perhitungan ganda masi macet.
Di Belém, para menteri dihdapkan pada pilihan sulit, yaitu meloloskan aturan yang longgar demi memacu aliran dana investasi dengan cepat, atau memperketat aturan demi integrasi lingkungan namun dengan resiko memperlambat pasar.
Brasil, sebagai negara yang memiliki potensi kredit karbosn hutan terbesar,bekepentingan besar agar pasar ini segara berjalan, namum juga ditekan oleh kelompok masyarakat sipil untuk memastikan mekanismen ini tidak menjadi alat greenwashing bagi korporasi pencemar.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5410867/original/062448700_1762948336-Untitled.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)