Jakarta, Beritasatu.com – Amerika Serikat (AS) membuka ruang negosiasi selama masa penangguhan kebijakan tarif impor yang ditetapkan Presiden AS, Donald Trump, termasuk dengan Indonesia yang menjadi salah satu negara yang berkesempatan negosiasi pada gelombang pertama. Menteri Koordinator Perekonomian akan hadir dalam pertemuan negosiasi di Washington, pada 16-23 April 2025.
Lead Advisor Southeast Asia Region sekaligus Sekretaris Jenderal International Economic Association (IEA), Lili Yan Ing, mengusulkan sejumlah langkah strategis yang perlu diambil Indonesia untuk negosiasi.
“Pertama, Indonesia bersama negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya harus memiliki posisi yang sangat kuat,” ujar Lili dalam acara Investor Market Today di Beritasatu TV, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Menurutnya, prinsip utama yang harus dipegang adalah bahwa Indonesia dan ASEAN secara tegas menolak kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump. Indonesia hanya bersedia menawarkan skema tarif Most Favoured Nation (MFN) kepada AS, tanpa perlakuan istimewa atau diferensiasi apa pun.
Menurutnya, ruang negosiasi tetap terbuka selama AS menunjukkan sikap saling menghormati terhadap ASEAN dan berkomitmen mempertahankan sistem perdagangan multilateral yang berlaku.
Lili menilai kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump merupakan salah satu kebijakan perdagangan terburuk dalam satu abad terakhir. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut memiliki potensi besar menjerumuskan ekonomi global ke dalam resesi, bahkan lebih jauh lagi, menuju depresi, karena dampaknya terhadap sektor finansial.
“Kedua, Indonesia harus memahami secara tepat apa tujuan utama AS, khususnya apa yang sebenarnya diinginkan Trump,” tambah Lili.
Trump saat ini menganut prinsip proteksionisme, yang berarti akan membatasi perdagangan internasional dengan tujuan melindungi industri dalam negeri. Sehingga, Trump menurut Lili, tidak akan mendengarkan suara dari kawasan Asia Tenggara.
Maka dari itu, Lili menyarankan agar Indonesia memanfaatkan peran para pelaku usaha asal AS yang beroperasi di kawasan ASEAN, khususnya di Indonesia, sebagai alat diplomasi ekonomi.
“Banyak sekali perusahaan Amerika yang bergerak di Indonesia dan Asia Tenggara, yang meraup keuntungan miliaran hingga triliunan dolar AS setiap tahunnya. Kita harus menggunakan pelaku-pelaku usaha AS untuk berbicara kepada Trump,” pungkas Lili.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Indonesia juga perlu mengidentifikasi sektor-sektor yang yang diinginkan Trump, serta mengetahui negara bagian mana saja yang menjadi basis dukungan politiknya. Informasi tersebut akan sangat berguna dalam merumuskan strategi negosiasi tarif impor Trump yang efektif, baik itu tarif jasa maupun investasi AS di Indonesia.