Negara: Amerika Serikat

  • Tekan Putin, AS Buat Sanksi Ekonomi Baru untuk Rusia – Halaman all

    Tekan Putin, AS Buat Sanksi Ekonomi Baru untuk Rusia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang mempersiapkan paket sanksi ekonomi baru yang akan dikenakan terhadap Rusia.

    Sanksi ini ditujukan untuk meningkatkan tekanan pada Presiden Rusia Vladimir Putin agar setuju dengan gencatan senjata di Ukraina.

    Sanksi yang sedang disusun akan menyasar sektor perbankan dan energi Rusia, termasuk raksasa energi Gazprom.

    Menurut sejumlah pejabat AS dan sumber tepercaya, sanksi ini juga akan mencakup beberapa entitas besar lainnya yang beroperasi di sektor sumber daya alam dan perbankan.

    Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian apakah Presiden AS Donald Trump akan memberikan persetujuan akhir terhadap paket sanksi tersebut.

    “Keputusan sanksi ini menunggu persetujuan Trump,” ungkap salah satu pejabat AS.

    Upaya Diplomatik yang Gagal

    Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, James Hewitt, menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut mengenai negosiasi gencatan senjata di Ukraina.

    “Sejak awal, presiden telah jelas soal komitmennya untuk mencapai gencatan senjata yang menyeluruh,” ujarnya.

    Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan perubahan signifikan dalam pendekatan mereka terhadap konflik di Ukraina.

    Mereka akan mengurangi peran sebagai mediator dan menyerahkan tanggung jawab utama kepada Kyiv dan Moskow untuk menemukan solusi konkret.

    “Kami tidak akan terus menerus terbang ke seluruh dunia untuk memediasi pertemuan. Sekarang adalah saatnya kedua belah pihak mengajukan ide nyata soal bagaimana konflik ini akan berakhir,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Tammy Bruce.

    Pengumuman sanksi baru ini muncul setelah berbulan-bulan upaya diplomatik AS yang tidak membuahkan hasil.

    Menteri Luar Negeri Marco Rubio sebelumnya mengingatkan bahwa Washington mungkin akan melanjutkan upaya gencatan senjata jika tidak ada kemajuan dalam waktu dekat.

    Awal tahun ini, pemerintahan Trump telah meningkatkan diplomasi dengan menawarkan proposal gencatan senjata selama 30 hari, termasuk penghentian serangan terhadap infrastruktur energi sipil.

    Namun, hingga saat ini, Rusia masih menunda atau menolak semua usulan perdamaian, sementara intensitas serangan mereka di Ukraina justru meningkat.

    Dengan langkah sanksi baru ini, AS berharap dapat memberikan sinyal tegas bahwa mereka serius dalam mendesak penyelesaian konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • TikTok Didenda Rp9,8 Triliun Imbas Langgar Privasi di Uni Eropa

    TikTok Didenda Rp9,8 Triliun Imbas Langgar Privasi di Uni Eropa

    Bisnis.com, JAKARTA – TikTok dijatuhi denda sebesar 530 juta euro atau sekitar Rp9,8 triliun oleh regulator perlindungan data utama Uni Eropa menyusul kekhawatiran serius terhadap praktik perlindungan data pengguna.

    Regulator juga memerintahkan TikTok untuk menghentikan transfer data ke China dalam waktu enam bulan jika mekanisme pemrosesannya tidak sesuai dengan hukum privasi Eropa.

    Melansir Reuters, Sabtu (3/5/2025), Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC), yang merupakan otoritas utama pengawas privasi di UE untuk perusahaan global, menyatakan bahwa TikTok tidak mampu menunjukkan bahwa data pengguna UE yang diakses secara jarak jauh oleh staf di China dijaga sesuai standar perlindungan tinggi yang diatur dalam hukum UE.

    DPC menegaskan bahwa TikTok tidak memberikan perlindungan memadai atas potensi akses data oleh otoritas China, sebagaimana diatur dalam undang-undang kontra-spionase dan regulasi lain yang disebut TikTok sendiri menyimpang secara signifikan dari norma perlindungan data di Eropa.

    TikTok menyampaikan bantahan keras terhadap keputusan tersebut, menyatakan bahwa pihaknya telah menggunakan mekanisme hukum UE, termasuk klausul kontrak standar, untuk mengatur akses jarak jauh secara terbatas dan diawasi secara ketat. TikTok juga menyatakan akan mengajukan banding atas putusan ini.

    Perusahaan mengklaim regulator mengabaikan sistem keamanan baru yang diterapkan sejak 2023, termasuk pemantauan independen terhadap akses jarak jauh dan penyimpanan data pengguna UE di pusat data khusus di Eropa dan Amerika Serikat.

    TikTok, yang kini memiliki sekitar 175 juta pengguna di Eropa, menekankan bahwa mereka belum pernah menerima permintaan data pengguna dari otoritas China, dan tidak pernah memberikan data tersebut.

    “Keputusan ini berpotensi menciptakan preseden yang berdampak luas terhadap perusahaan dan industri global yang beroperasi di Eropa,” kata TikTok seperti dikutip Reuters, Sabtu (3/5/2025).

    DPC juga menemukan bahwa meskipun TikTok selama proses investigasi selama empat tahun menyatakan tidak menyimpan data UE di China, perusahaan mengungkapkan bulan lalu bahwa mereka baru menyadari pada Februari bahwa sebagian kecil data tersimpan di China dan kini telah dihapus.

    “DPC memandang serius perkembangan ini dan tengah mempertimbangkan apakah langkah regulasi lanjutan perlu diambil,” ujar Wakil Komisioner Graham Doyle.

    Ini merupakan sanksi kedua terhadap TikTok dari DPC. Pada 2023, perusahaan dikenai denda 345 juta euro atas pelanggaran perlindungan data pribadi anak-anak di kawasan UE.

    Sebagai otoritas utama GDPR di Eropa, DPC Irlandia memegang peran kunci dalam menindak perusahaan teknologi global seperti Microsoft, LinkedIn, X (dulu Twitter), dan Meta, berkat keberadaan kantor pusat regional mereka di Irlandia.

    Berdasarkan aturan GDPR yang juga mencakup Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia, regulator dapat menjatuhkan denda hingga 4% dari pendapatan global perusahaan pelanggar.

  • 5 Konser Musik Sepanjang Mei 2025, Didominasi Musisi Mancanegara

    5 Konser Musik Sepanjang Mei 2025, Didominasi Musisi Mancanegara

    Liputan6.com, Yogyakarta – Bulan ini, panggung musik Indonesia dimeriahkan oleh beberapa konser musik. Sejumlah musisi dijadwalkan bakal menggelar konser pada Mei 2025.

    Sejauh ini, ada lima jadwal konser yang akan digelar sepanjang Mei 2025. Beberapa konser tersebut didominasi oleh musisi mancanegara. Berikut daftar konser musik Mei 2025:

    1. Day6 3rd World Tour Forever Young (3 Mei 2025)

    Grup band asal Korea Selatan, Day6, bakal kembali menghibur para penggemarnya di Indonesia. Mereka akan menggelar konser bertajuk Day6 3rd World Tour Forever Young di Jakarta pada 3 Mei 2025.

    Awalnya, konser ini aknan digelar di Jakarta International Stadium (JIS). Namun karena adanya jadwal kompetisi Liga 1 Indonesia, venue konser pun dialihkan ke Stadion Madya Gelora Bung Karno Jakarta.

    2. j-hope Tour Hope On The Stage (3 dan 4 Mei 2025)

    Masih dari Korea Selatan, ada juga j-hope yang menjadwalkan konser di Jakarta pada 3 dan 4 Mei 2025. Konser salah satu rapper BTS yang bertajuk Hope On The Stage ini bakal berlangsung di Indonesia Arena, GBK, Jakarta Pusat.

    Konser ini merupakan konser solo pertama j-hope. Tour HOPE ON THE STAGE sekaligus menjadi kunjungan pertamanya ke Indonesia tanpa rekan satu grupnya yang lain.

    3. Boyz II Men with Very Special Guest Kahitna (21 Mei 2025)

    Tak hanya dari Korea Selatan, panggung musik Tanah Air juga bakal dimeriahkan oleh penampilan grup vokal legendaris asal Amerika Serikat, Boyz II Men. Mereka akan menggelar konser bertajuk Boyz II Men with Very Special Guest Kahitna.

    Sebelumnya, mereka telah beberapa kali menggelar konser di Indonesia. Sesuai tajuk konser tersebut, kali ini panggung mereka juga akan dimerahkan grup musik asal Bandung Kahitna. Boyz II Men with Very Special Guest Kahitna akan digelar pada 21 Mei 2025 di di Istora Senayan, Jakarta.

     

  • Apple Pertimbangkan Produksi iPhone di AS, Ini Syarat dari Tim Cook – Page 3

    Apple Pertimbangkan Produksi iPhone di AS, Ini Syarat dari Tim Cook – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Wacana untuk memproduksi iPhone langsung di Amerika Serikat ternyata sudah sempat dibahas bersama CEO Apple Tim Cook. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Amerika Serikat Howard Lutnick.

    Dalam wawancara dengan CNBC seperti dikutip dari Phone Arena, Sabtu (3/5/2025), Howard menuturkan, sempat bertanya langsung pada Tim Cook Apple soal kapan Apple akan mulai memproduksi iPhone di wilayah Amerika Serikat.

    Menjawab hal tersebut, Tim Cook menegaskan ada satu syarat penting agar upaya ambisius itu benar-benar bisa terjadi. Adapun syarat tersebut adalah kehadiran teknologi robotik yang mumpuni.

    “Saya butuh lengan robotik yang mampu bekerja dengan skala dan presisi tinggi untuk memungkinkan produksi dilakukan di sini (Amerika Serikat),” tutur Tim Cook menjawab pertanyaan tersebut.

    Untuk diketahui, meski tidak dikenal sebagai pendukung Presiden Donald Trump, Tim Cook merupakan salah satu pemimpin industri teknologi yang masih memiliki hubungan baik dengan Gedung Putih.

    Hubungan ini pun disebut telah memberikan keuntungan strategis bagi Apple. Salah satunya adalah pembebasan sementara iPhone dari beban tarif tinggi selama masa pemerintahan Donald Trump.

    Sebagai informasi, Pemerintahan Donald Trump memang tengah menetapkan tarif impor hingga 145 persen terhadap produk dari China, termasuk smartphone.

    Padahal, China merupakan lokasi utama perakitan dan produksi iPhone, yang sebagian besar dilakukan oleh perusahaan manufaktur termasuk Foxconn.

    Robotisasi pabrik juga disebut sebagai upaya perusahaan untuk menekan biaya tenaga kerja. Sebagai gambaran, di China, pekerja perakitan iPhone dilaporkan hanya menerima bayar antara USD 3 (Rp 48.000) hingga USD 3,7 (59.200) per jam.

    Sementara di Amerika Serikat, Apple harus membayar setidaknya upah minimum federal yakni USD 7,25 (Rp 116.000) per jam, dua kali lipat dari biaya di China.

    Oleh sebab itu, pemakaian lengan robotik untuk tugas presisi tinggi dan berulang disebut bisa jadi solusi untuk menggantikan pekerja manusia. Kendati demikian, belum diketahui, kapan Apple akan merealisasikan rencana tersebut.

  • Pangeran Harry Kecewa Fasilitas Pengawalan Polisinya Dicabut usai Mundur dari Kerajaan Inggris – Halaman all

    Pangeran Harry Kecewa Fasilitas Pengawalan Polisinya Dicabut usai Mundur dari Kerajaan Inggris – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pangeran Harry pada  Jumat (2/5/2025) waktu setempat menyatakan bahwa ia merasa “terpukul” setelah kehilangan banding mengenai fasilitas pengamanannya yang kini resmi dicabut.

    Seperti yang diketahui sebelumnya, Pangeran Harry mendapatkan fasilitas pengamanan dari Kepolisian Inggris karena statusnya sebagai anggota Kerajaan Britania.

    Namun demikian, fasilitas keamanan yang selama ini ia terima kemudian dicabut setelah dirinya mengundurkan diri dari tugas kerajaan.

    Keputusan mundur dari Kerajaan Inggris tersebut muncul setelah putra bungsu Raja Charles tersebut diketahui memantapkan diri untuk pindah berdomisili di Amerika Serikat bersama istrinya, Meghan Markle.

    Di wawancara bersama BBC, Pangeran Harry mengaku akan “kesulitan memaafkan” keputusan yang dikeluarkan oleh Kantor Home Office, kementerian yang bertanggung jawab atas kepolisian.

    Ia mengaku dengan menghilangnya fasilitas pengawalan polisi yang selama ini ia dapatkan, maka ia tidak dapat membawa keluarganya ke Britania dengan aman.

    Sebelumnya, Pemerintah Inggris pada Februari 2020 menyatakan bahwa Harry tidak akan otomatis menerima perlindungan polisi pribadi selama berada di Britania.

    Keputusan tersebut kemudian disahkan oleh Pengadilan Tinggi London pada tahun 2024 lalu.

    Keberatan dengan putusan tersebut, sosok bernama lengkap Henry Charles Albert David tersebut terus mengajukan banding.

    Pada hari Jumat lalu, pengadilan akhirnya menolak banding Pangeran Harry dan memutuskan untuk mempertahankan keputusan Pengadilan Tinggi London.

    Di sidang tersebut, tiga hakim Pengadilan Banding menyatakan bahwa meskipun Harry merasa dirugikan secara wajar, hal ini tidak mencerminkan kesalahan hukum.

    “Tentu saja, sangat terpukul dengan keputusan ini,” kata Harry, yang kini tinggal di California bersama Meghan dan dua anak mereka, kepada BBC.

    Ia menambahkan, “Status saya tidak berubah—tidak bisa berubah. Saya adalah diri saya sendiri, bagian dari apa yang saya bagian dari, dan saya tidak bisa melarikan diri dari itu.” sambungnya.

    Harry mengklaim bahwa “keamanan” dirinya digunakan sebagai “alat tekanan” untuk mempertahankan status dirinya dan Meghan dalam lingkaran kerajaan.

    Namun demikian, hal itu tak menyurutkan langkah bagi Harry untuk memutuskan pindah ke Amerika Serikat bersama keluarga kecilnya.

    “Apa yang sulit saya maafkan, dan mungkin akan selalu kesulitan saya maafkan, adalah keputusan yang dibuat pada 2020 yang memengaruhi setiap hari saya dan secara sadar menempatkan saya dan keluarga dalam bahaya,” ujarnya dalam wawancara dari California.

    Istana Buckingham pun turut buka suara terkait putusan pengadilan Inggris untuk Harry.

    “Semua isu ini telah diperiksa berulang kali dan secara cermat oleh pengadilan, dengan kesimpulan yang sama pada setiap kesempatan,” tegas pihak Kerajaan Inggris.

    PANGERAN HARRY – Pangeran Harry dan Meghan Markle dalam acara ESPY Awards 2024. Pangeran Harry pada hari Jumat (2/5/2025) waktu setempat menyatakan bahwa ia merasa “terpukul” setelah kehilangan banding mengenai fasilitas pengamanannya yang kini resmi dicabut.(Screenshot ABC Live)

     

    Hakim Geoffrey Vos menyatakan bahwa pengacara Harry telah menyampaikan argumen yang kuat dan “mengharukan” tentang dampak perubahan keamanan, tetapi hal ini tidak membuat perubahan tersebut melanggar hukum.

    Harry yang kini berusia 40 tahun, diketahui selalu menghadiri sidang tersebut selama dua hari pada April lalu.

    Saat ditanya apakah ia berniat mengajukan banding lagi atas keputusan hari Jumat ke Mahkamah Agung Inggris, Harry pun buka suara

    “Saya tidak ingin ada pertarungan berlanjut… ini, pada intinya, adalah sengketa keluarga.” pungkas Harry.

    (Tribunnews.com/Bobby)

  • Status Bebas Pajak Harvard Dicabut, Kampus Elite Jadi Korban Kebijakan Agresif Trump – Halaman all

    Status Bebas Pajak Harvard Dicabut, Kampus Elite Jadi Korban Kebijakan Agresif Trump – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana mencabut status bebas pajak Harvard, universitas elite tertua di AS, Sabtu (3/5/2025).

    Rencana itu diungkap Trump usai kampus Harvard menolak tuntutan pemerintah AS terkait penanganan aktivitas demonstrasi pro-Palestina.

     “Kami akan mencabut Status Bebas Pajak Harvard. Itulah yang pantas mereka dapatkan!” tulis Trump dalam unggahan media sosial miliknya, seperti dikutip dari CNN International.

    Adapun pencabutan status ini dilakukan setelah pemerintahan Trump melaporkan Harvard kepada Internal Revenue Service (IRS) untuk melakukan penyelidikan dan audit kepada Harvard.

    Pencabutan status bebas pajak dari sebuah institusi pendidikan tinggi merupakan hal yang sangat jarang.

    Bahkan selama beberapa puluh tahun, Internal Revenue Service (IRS) diketahui hanya melakukan pencabutan status terhadap Universitas Bob Jones karena sekolah tersebut tidak mengizinkan hubungan antaras di antara para mahasiswanya,

    Imbas pencabutan status pajak kampus Harvard, yang selama ini menikmati status bebas pajak sebagai lembaga nonprofit, kini harus membayar pajak atas sebagian dari pendapatannya.

    Terutama dari Endowment (dana abadi) yang nilainya mencapai lebih dari 50 miliar dolar AS serta Investasi dan properti.

    Akibatnya  Harvard bisa menghadapi beban pajak ratusan juta dolar per tahun.

    Lebih lanjut pencabutan status bebas pajak berpotensi menaikkan biaya kuliah serta memangkas dana beasiswa dan bantuan keuangan serta riset akademik.

    Harvard Tuding Trump Melanggar Hukum

    Merespons ancaman yang dilontarkan Trump, Presiden Universitas Harvard Alan Garber dengan tegas mengecam usulan tersebut.

    Dalam sebuah wawancara dengan The Wall Street Journal ia mengatakan bahwa tindakan tersebut akan “sangat melanggar hukum” dan “merusak” universitas.

    “Tindakan itu sangat ilegal kecuali ada beberapa alasan yang belum kami ketahui yang dapat membenarkan tindakan dramatis ini,” ujar Garber dikutip dari CNN International.

    “Ini akan membuat pendidikan dan penelitian Harvard akan sangat terganggu, mengakibatkan berkurangnya bantuan keuangan bagi mahasiswa, pengabaian program penelitian medis yang penting, dan hilangnya peluang untuk inovasi,” imbuhnya.

    Kecaman serupa juga dilontarkan Senator Demokrat Ed Markey dari Massachusetts.

    Ia mengatakan bahwa tindakan Trump merupakan upaya untuk memaksa Harvard mematuhi ideologinya dan menggambarkan tindakan tersebut sebagai inkonstitusional.

    Ia menambahkan gangguan yang disebabkan oleh ancaman Trump telah berdampak negatif pada penelitian yang menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian masyarakat.

    “Saya mendukung Harvard dalam perjuangannya melawan otoritarianisme. Saya mendukung Harvard dalam tuntutan mereka untuk proses hukum yang wajar,” katanya.

    “Saya mendukung Harvard dalam melawan tindakan berlebihan pemerintahan Trump untuk mencoba mengintimidasi dan menindas tidak hanya Harvard tetapi juga universitas-universitas di seluruh negeri kita.” tambah Markey.

    Kronologi Konflik Trump VS Universitas Harvard

    Konflik panas ini bermula ketika Pemerintah AS secara mengejutkan membekukan dana federal sebesar 2,2 miliar dollar AS untuk Universitas Harvard pada 14 April kemarin.

    Pemerintah AS berdalih pembekuan dana dilakukan karena memandang universitas Harvard gagal mengendalikan antisemitisme lantaran menoleransi aksi pro-Palestina.

    Selain itu pemerintah menilai universitas Harvard tak patuh karena menolak perintah penutupan program dan inisiatif keberagaman, kesetaraan, dan inklusi, termasuk dalam perekrutan dan penerimaan mahasiswa.

    Namun Harvard beralasan bahwa penolakan tersebut dilakukan karena mereka untuk menolak menyerahkan kendali universitas terkemuka dunia itu kepada pemerintah.

    “Harvard tidak akan tunduk pada tekanan dari pemerintah dan tidak akan menyerahkan haknya untuk mengatur independensi akademiknya,” ujar Garber dalam surat kepada sivitas akademika, dikutip kantor berita AFP.

    Sebagai respons atas penolakan tersebut, Satuan Tugas Gabungan Trump untuk Memerangi Anti-Semitisme mengumumkan pembekuan dana hibah multi-tahun senilai 2,2 miliar dollar AS, serta kontrak pemerintah sebesar 60 juta dollar AS.

    Selain itu pemerintah juga meminta Harvard melakukan audit internal atas pandangan mahasiswa dan staf fakultas, serta meninjau ulang kebijakan disiplin dan proses perekrutan

    “Harvard memperlihatkan pola pikir meresahkan yang sudah menjadi endemik di universitas-universitas bergengsi di negara ini,” demikian pernyataan dari satuan tugas tersebut.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Trump Bakal Pangkas Anggaran Pendidikan hingga Kesehatan Rp2,6 Kuadriliun

    Trump Bakal Pangkas Anggaran Pendidikan hingga Kesehatan Rp2,6 Kuadriliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengusulkan untuk memotong anggaran belanja domestik senilai US$163 miliar atau setara Rp2,6 kuadriliun.

    Dilansir Reuters pada Sabtu (3/5/2025), usulan belanja domestik itu dilakukan untuk pengurangan biaya pendidikan, perumahan, penelitian medis pada anggaran tahun depan.

    Usulan itu akan memangkas lebih dari US$2 miliar dari dana pajak Internal Revenue Service (IRS) dan akan memotong anggaran National Institutes of Health dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) lebih dari 40%.

    Kantor Manajemen dan Anggaran atau OMB menyampaikan pengurangan anggaran direksional non-pertahanan ini bakal dipotong sebesar 23%. Jumlah itu, turun ke tingkat terendah sejak 2017.

    Sementara itu, Trump justru bakal meningkatkan belanja untuk pertahanan dan keamanan perbatasan. Total kenaikan anggaran keamanan ini hampir 65% dibandingkan dengan 2025.

    “Pada momen kritis ini, kita membutuhkan anggaran bersejarah. Anggaran yang mengakhiri pendanaan kemunduran kita, mengutamakan rakyat Amerika, dan memberikan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi militer dan keamanan dalam negeri kita,” kata Direktur OMB Russ Vought, dikutip reuters, Sabtu (3/5/2025).

    Adapun, anggaran pertama Trump sejak kembali menjabat berupaya memenuhi janjinya untuk meningkatkan anggaran keamanan perbatasan sekaligus memangkas birokrasi federal. 

    Di lain sisi, anggota Kongres dari Partai Demokrat mengecam pemotongan anggaran dalam negeri ini. Namun, anggota Partai Republik justru menyerukan agar ada peningkatan anggaran pertahanan dan bidang lainnya.

  • Studi Terbaru Ungkap Dinosaurus Mungkin Masih Hidup, jika Asteroid Tak Hantam Bumi – Page 3

    Studi Terbaru Ungkap Dinosaurus Mungkin Masih Hidup, jika Asteroid Tak Hantam Bumi – Page 3

    Di sisi lain, predator karnivora terbesar dan terkuat di Amerika Utara ternyata bukan dinosaurus, melainkan seekor buaya purba. Deinosuchus, yang dalam bahasa Yunani berarti ‘buaya mengerikan’–diperkirakan hidup pada 75 juta tahun silam.

    Mengutip National Geographic, Kamis (1/5/2025), buaya purba ini diperkirakan memiliki panjang lebih dari 10 meter dan berat mencapai lebih dari lima ton.

    Bekas gigitan pada tulang-belulang purba menjadi bukti tak terbantahkan bahwa reptil raksasa ini memangsa dinosaurus. Namun, bagaimana Deinosuchus bisa tumbuh menjadi predator yang begitu besar dan tersebar luas menjadi misteri yang belum terpecahkan.

    Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Communications Biology mengklaim telah memecahkan teka-teki tersebut. Penelitian ini mengubah posisi Deinosuchus dalam bagan keluarga buaya dan berpotensi menjelaskan toleransi reptil purba ini terhadap habitat air asin.

    “Kami ingin memahami lebih baik bagaimana Deinosuchus menjadi predator puncak yang sukses di lahan basah pesisir di seluruh Amerika Utara, dan mengapa ia tumbuh begitu besar,” ujar Márton Rabi, seorang paleontolog dari Universitas Tübingen di Jerman yang juga merupakan salah satu penulis studi ini.

    Jejak Deinosuchus telah diikuti oleh para paleontolog sejak sepasang gigi fosil ditemukan di Carolina Utara pada 1858. Sejak saat itu, fosil gigi, perisai tulang, potongan tengkorak, dan bagian kerangka reptil ini telah ditemukan di Meksiko, Utah, Texas, Montana, Carolina Selatan, New Jersey, dan banyak lagi.

    Fosil-fosil buaya purba ini muncul di sepanjang tepi garis pantai prasejarah Amerika Utara dalam batuan berusia 82 hingga 72 juta tahun. Di rawa-rawa dataran rendah Amerika Utara pada Zaman Kapur, Deinosuchus mengintai dan menunggu mangsanya mendekat cukup untuk diterkam.

  • Trump Mau Pangkas Anggaran Belanja Rp 2.678 Triliun, Terkait Lingkungan hingga Bantuan Luar Negeri – Page 3

    Trump Mau Pangkas Anggaran Belanja Rp 2.678 Triliun, Terkait Lingkungan hingga Bantuan Luar Negeri – Page 3

    Sebelumnya telah dilaporkan bahwa Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih (OMB) mengajukan rencana pemotongan anggaran untuk Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Kemlu AS) hampir mencapai 50 persen. Rincian dari usulan ini mencakup penutupan beberapa misi diplomatik di luar negeri, pengurangan jumlah staf diplomatik, serta penghentian dana untuk hampir semua organisasi internasional, termasuk NATO dan PBB beserta lembaga-lembaga di bawahnya.

    Menurut laporan dari AP, informasi ini diperoleh dari sejumlah pejabat yang mengetahui rencana tersebut. Proposal yang diajukan kepada Kemlu AS pekan lalu ini masih berada pada tahap awal dan diperkirakan tidak akan mendapatkan persetujuan dari pimpinan kementerian maupun Kongres, yang nantinya akan menentukan anggaran federal dalam beberapa bulan ke depan. Seorang pejabat yang mengetahui usulan tersebut menyatakan bahwa draf ini harus melalui beberapa tahap evaluasi sebelum disampaikan kepada anggota Kongres, yang sering kali mengubah atau bahkan menolak permintaan anggaran dari Gedung Putih.

    Meskipun belum final, proposal ini mencerminkan prioritas pemerintahan Donald Trump dan sejalan dengan pemotongan besar-besaran anggaran serta jabatan di berbagai lembaga federal, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Catatan hasil rapat internal mengenai proposal pemotongan anggaran ini telah beredar di grup percakapan online di kalangan pejabat kementerian luar negeri sejak akhir pekan, tetapi perhatian besar muncul pada Senin (14/4), bersamaan dengan tenggat waktu kementerian luar negeri untuk menyerahkan rencana restrukturisasi terpisah yang tidak terkait dengan proposal pemotongan ini kepada OMB.

    Seorang pejabat tinggi AS yang mengetahui proposal OMB menyebutnya sebagai “agresif” dalam hal penghematan, tetapi menekankan bahwa ini masih merupakan kerangka awal yang mirip dengan upaya Kepala OMB Russell Vought pada masa pemerintahan pertama Trump. Dua sumber lain yang mengonfirmasi adanya proposal ini, salah satunya menyebutkan bahwa usulan tersebut berasal dari OMB. Juru bicara OMB, Alexandra McCandless, menyatakan, “belum ada keputusan final tentang pendanaan.” Sementara itu, Dewan Keamanan Nasional tidak memberikan tanggapan terkait permintaan komentar mengenai rencana pemotongan anggaran ini.

  • Nike-Adidas Cs Minta Trump Bebaskan Industri Alas Kaki dari Tarif Resiprokal

    Nike-Adidas Cs Minta Trump Bebaskan Industri Alas Kaki dari Tarif Resiprokal

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi perdagangan distributor dan peritel sepatu AS atau Footwear Distributors & Retailers of America (FDRA) yang mencakup pemilik merek-merek seperti Nike dan Adidas, meminta Presiden AS Donald Trump untuk mempertimbangkan pembebasan tarif timbal balik atau tarif resiprokal terhadap industri alas kaki.

    Melansir dari Bloomberg, Sabtu (3/5/2025), permintaan ini tertulis dalam surat yang ditandatangani oleh Nike, Adidas America, Puma, hingga Skechers.

    Dalam surat tertanggal 29 April 2025, FDRA menyebut tarif tersebut akan menaikkan biaya sepatu di AS dan menyebabkan bisnis ditutup.

    FDRA mendesak agar Presiden Trump untuk mengecualikan produk alas kaki dari tarif timbal balik, lantaran bisnis ini menghadapi ancaman eksistensial akibat peningkatan biaya yang sangat besar.

    “Kami terdampak sangat berat oleh kebijakan tarif ini, karena pemerintah AS sudah membebankan tarif yang tinggi pada industri kami sebelum tarif baru ditambahkan,” demikian bunyi surat tersebut.

    Di samping itu, FDRA juga menyebut tarif ini tidak akan mendorong manufaktur sepatu kembali ke AS, sebab membutuhkan investasi modal yang besar dan perencanaan bertahun-tahun untuk mengubah sumber produksi.

    “Tarif baru ini justru menghilangkan kepastian bisnis yang dibutuhkan untuk melakukan investasi semacam itu dan menghapus hampir seluruh modal yang diperlukan,” tulisnya.

    Terlebih, FDRA menyampaikan tarif timbal balik juga dikenakan atas mesin dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat alas kaki di AS.

    Untuk itu, FDRA meminta agar Kepala Negara AS menghapus produk alas kaki dari tarif timbal balik.

    “Jika situasi ini terus berlanjut, para pekerja dan konsumen alas kaki Amerika akan menderita. Ini adalah keadaan darurat yang memerlukan tindakan dan perhatian segera,” katanya.