Natal di Tengah Dunia yang Rapuh

Natal di Tengah Dunia yang Rapuh

Natal di Tengah Dunia yang Rapuh
Gabriel Abdi Susanto adalah seorang jurnalis, penulis, dan pemikir publik asal Indonesia yang aktif dalam bidang komunikasi, filsafat, dan spiritualitas. Ia merupakan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, lulus pada tahun 2001 .
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
NATAL
selalu datang membawa janji tentang terang dan harapan. Namun, Natal tahun ini hadir di tengah dunia yang terasa semakin rapuh.
Bangsa ini sedang berduka. Bencana alam melanda berbagai wilayah Sumatera—banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan yang merenggut rumah, penghidupan, bahkan nyawa.
Pada saat yang sama, dunia diliputi perang yang tak kunjung usai, krisis kemanusiaan, gejolak ekonomi global, dan ketegangan geopolitik yang membuat masa depan terasa semakin tak pasti.
Dalam situasi seperti ini,
Natal
mudah terdengar sebagai bahasa iman yang terlalu indah, seolah terpisah dari kenyataan pahit yang dihadapi banyak orang setiap hari.
Namun, justru di tengah dunia yang luka inilah pesan Natal menemukan daya kritis dan relevansinya yang paling mendalam.
Pesan Natal KWI–PGI 2025 mengingatkan bahwa Natal bukan pelarian dari realitas, melainkan undangan untuk menghadapi kenyataan dengan keberanian, kepedulian, dan tanggung jawab bersama (Pesan Natal KWI–PGI 2025).
Kabar kelahiran Kristus bukanlah kisah sentimental, melainkan peristiwa iman yang menyentuh persoalan paling konkret dalam hidup manusia: penderitaan, ketidakadilan, dan kerentanan.
Bencana yang terjadi di berbagai wilayah Sumatera tidak dapat dilihat semata-mata sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia adalah cermin dari krisis ekologis yang telah lama terabaikan.
Deforestasi, alih fungsi lahan tak terkendali, lemahnya penegakan hukum lingkungan, dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam telah memperbesar dampak bencana.
Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, yang runtuh bukan hanya tanah dan rumah warga, tetapi juga sistem perlindungan sosial dan ekologis yang seharusnya menjaga kehidupan.
Korban bencana sering kali berasal dari kelompok yang paling rentan: keluarga miskin, petani kecil, masyarakat adat, perempuan, anak-anak, dan lansia. Mereka kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan rasa aman dalam waktu yang bersamaan.
Natal berbicara tentang Allah yang memilih hadir di dunia yang rapuh. Yesus lahir bukan di pusat kekuasaan, melainkan di tempat yang sederhana dan rentan.
Kisah ini menegaskan bahwa iman Kristen tidak pernah berakar pada kenyamanan, melainkan pada keberpihakan kepada kehidupan yang terancam.
Pesan Natal KWI–PGI secara tegas mengaitkan iman dengan tanggung jawab merawat ciptaan dan melindungi kehidupan bersama (Pesan Natal KWI–PGI 2025).
Situasi global hari ini menunjukkan betapa rapuhnya tatanan dunia. Perang berkepanjangan, jutaan pengungsi kehilangan tanah air, krisis pangan dan energi, serta ketimpangan ekonomi global memperlihatkan kegagalan dunia modern dalam menjadikan martabat manusia sebagai pusat kebijakan.
Dalam pusaran krisis global ini, keluarga kembali menjadi pihak yang paling terdampak. Banyak keluarga terpisah oleh konflik, dipaksa mengungsi, atau hidup dalam ketidakpastian tanpa jaminan masa depan.
Dunia yang dipenuhi persaingan dan kepentingan politik sering kali kehilangan kepekaan terhadap penderitaan manusia biasa.
Natal hadir sebagai kritik moral terhadap dunia yang memuja kekuatan dan mengabaikan yang lemah. Allah yang datang sebagai bayi di palungan menantang logika kekuasaan yang mengandalkan dominasi, senjata, dan keuntungan ekonomi.
Pesan Natal KWI–PGI menegaskan bahwa solidaritas lintas bangsa, agama, dan budaya adalah panggilan iman yang tidak bisa ditunda (Pesan Natal KWI–PGI 2025).
Natal sering dipahami sebagai perayaan keluarga. Namun, bagi banyak keluarga hari ini, Natal dirayakan dalam suasana cemas.
Tekanan ekonomi, naiknya biaya hidup, ketidakpastian pekerjaan, dan lemahnya perlindungan sosial menciptakan beban psikologis yang berat. Di balik pintu-pintu rumah, banyak keluarga berjuang dalam kelelahan yang tak terlihat.
Kerentanan keluarga tidak hanya bersifat ekonomi. Kekerasan dalam rumah tangga, krisis kesehatan mental, retaknya relasi, serta kesepian menjadi realitas yang semakin sering terjadi.
Anak-anak tumbuh dalam situasi tidak stabil, sementara orang tua dipaksa menanggung beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus penjaga keutuhan keluarga.
Pesan Natal KWI–PGI mengingatkan bahwa keluarga adalah tempat pertama di mana martabat manusia harus dijaga dan dihormati (Pesan Natal KWI–PGI 2025).
Namun, keluarga tidak bisa dibiarkan menanggung beban sendirian. Kerentanan keluarga hari ini adalah cerminan dari persoalan struktural: sistem ekonomi yang timpang, kebijakan publik tidak memadai, dan budaya sosial yang menormalisasi kelelahan serta ketidakpedulian.
Kisah Natal sendiri adalah kisah tentang keluarga yang rentan. Maria dan Yusuf bukan keluarga yang hidup dalam kenyamanan. Mereka menghadapi stigma sosial, tekanan politik, dan ancaman kekerasan.
Bahkan sejak awal, keluarga ini harus mengungsi demi menyelamatkan hidup anaknya.
Keluarga Kudus bukan gambaran keluarga ideal tanpa masalah. Justru sebaliknya, mereka adalah keluarga yang bertahan di tengah ketidakpastian.
Dalam konteks dunia hari ini—ketika jutaan keluarga menjadi pengungsi akibat perang, bencana, dan kemiskinan—kisah Natal menjadi sangat aktual.
Natal mengingatkan bahwa kerentanan bukanlah kegagalan iman. Allah justru memilih hadir dalam keluarga yang tidak sempurna, dalam situasi yang penuh risiko.
Pesan ini penting di tengah budaya yang sering menuntut keluarga untuk selalu tampak kuat dan harmonis, sambil menutup mata terhadap luka yang ada di dalamnya.
Bencana di Sumatera dan krisis keluarga di berbagai lapisan masyarakat menguji kehadiran negara. Apakah negara hadir hanya pada saat darurat, atau sungguh-sungguh berkomitmen pada pemulihan jangka panjang dan keadilan sosial?
Apakah keluarga yang terdampak dilihat sebagai subjek dengan hak penuh, atau sekadar angka dalam laporan kebijakan?
Pesan Natal KWI–PGI menegaskan bahwa negara, masyarakat sipil, dan komunitas agama memiliki tanggung jawab bersama untuk melindungi yang rentan (Pesan Natal KWI–PGI 2025). Natal menolak sikap acuh tak acuh dan bahasa kekuasaan yang dingin.
Terang Natal tidak lahir dari pencitraan, melainkan dari keberanian untuk mengakui kegagalan dan memperbaikinya.
Di tengah krisis global dan nasional, keluarga tetap menjadi ruang penting untuk menanamkan nilai kemanusiaan.
Namun, keluarga hanya bisa menjadi sumber harapan jika didukung oleh lingkungan sosial yang adil dan peduli.
Kebijakan yang berpihak pada keluarga, perlindungan sosial memadai, dan solidaritas komunitas adalah bagian tak terpisahkan dari perwujudan iman.
Natal mengajarkan bahwa harapan sering kali tumbuh dari hal-hal kecil: perhatian pada anak yang trauma, dukungan bagi orang tua yang kelelahan, dan keberanian komunitas untuk saling menopang. Harapan tidak lahir dari slogan, tetapi dari kehadiran yang setia.
Natal bukan sekadar perayaan liturgis. Ia adalah panggilan untuk bertobat secara sosial—mengubah cara pandang, cara hidup, dan cara kita memperlakukan sesama.
Di tengah bencana di Sumatera, krisis keluarga, dan dunia yang terluka, Natal mengingatkan bahwa terang tidak pernah menunggu situasi ideal untuk menyala.
Jika Natal hanya berhenti pada ritual dan simbol, ia kehilangan daya transformatifnya. Namun, jika Natal dihayati sebagai komitmen untuk merawat kehidupan—di dalam keluarga, masyarakat, dan dunia—maka di tengah segala kerentanan, harapan tetap mungkin tumbuh.
Seperti bayi di palungan, harapan itu rapuh. Namun, justru di situlah kekuatannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.