Salah satu implikasi besar dari kebijakan tarif Trump adalah perubahan persepsi global terhadap AS sebagai mitra dagang. Beberapa analis menilai bahwa slogan “America First” kini mulai bergeser menjadi “America Alone”, di mana negara-negara lain mulai mencari mitra dagang baru yang lebih stabil dan dapat diandalkan.
Jika tren ini berlanjut, dampaknya bisa meluas ke sektor keuangan global. Bank-bank sentral di seluruh dunia kemungkinan akan mempercepat diversifikasi cadangan devisa mereka dari dolar AS. Dalam skenario seperti ini, emas menjadi pilihan utama karena perannya sebagai aset moneter yang independen dan bebas dari risiko politik satu negara.
Meskipun emas masih menunjukkan ketahanan, logam mulia lainnya seperti perak mengalami nasib berbeda. Harga perak anjlok hampir 14% dalam seminggu, turun di bawah USD30 per ons. Penurunan ini terjadi karena lebih dari setengah permintaan perak berasal dari sektor industri, yang sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi dan gangguan perdagangan global.
Rasio emas terhadap perak kini melonjak di atas angka 100—level tertinggi sejak Juni 2020 menandakan bahwa emas saat ini jauh lebih unggul dalam menarik minat investor.
Namun, para analis belum menyerah terhadap perak. Dalam jangka panjang, tren global menuju elektrifikasi dan energi bersih akan terus mendukung permintaan logam industri, termasuk perak. Diharapkan, setelah gejolak perdagangan mereda dan stabilitas kembali tercipta, harga perak akan mulai mengejar ketertinggalannya terhadap emas.