Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintahan Presiden Suriah Bashar Al Assad resmi berakhir usai pasukan milisi merebut ibu kota Damaskus pada Minggu (8/12) hingga membuat Al Assad melarikan diri ke Rusia.
Penggulingan Al Assad ini dipimpin oleh Hayat Tahrir Al Sham (HTS), kelompok milisi terkuat di Suriah yang telah menentang rezim Al Assad terutama sejak perang sipil berkecamuk di Suriah pada 2011.
Kelompok ini menjadi sumbu utama dalam kebangkitan faksi-faksi di Suriah hingga berhasil menggulingkan Presiden Al Assad yang telah memimpin negara itu sejak tahun 2000.
Menurut sejumlah pihak, aksi HTS menggulingkan Al Assad memiliki kaitan dengan Israel. Pasalnya, tak lama setelah Al Assad digulingkan, pasukan Israel melancarkan operasi ke wilayah perbatasan Suriah untuk merebut zona penyangga di Dataran Tinggi Golan.
Zona penyangga Dataran Tinggi Golan didirikan berdasarkan perjanjian gencatan senjata tahun 1974 antara Israel dan Suriah.
Israel merebut sebagian wilayah Dataran Tinggi Golan dalam Perang Enam Hari pada 1967 silam. Suriah berusaha merebut kembali pada 1973 namun gagal.
Oleh sebab itu, zona penyangga dibuat untuk memisahkan wilayah yang dikuasai Israel dan wilayah yang masih dikuasai Suriah.
“Saya memerintahkan [militer Israel] kemarin untuk merebut zona penyangga dan posisi komando di dekatnya. Kami tidak akan membiarkan kekuatan musuh apa pun membangun diri di perbatasan kami,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Minggu.
Seiring dengan ini, apakah mungkin Israel mendalangi konflik di Suriah yang menggulingkan Presiden Al Assad?
Punya dampak besar di Timur Tengah
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan serangan intensif Israel terhadap pos-pos milisi di Suriah yang berafiliasi dengan Iran memiliki dampak signifikan pada kejatuhan rezim Al Assad.
Yon berujar serangan Israel tersebut telah menguntungkan kelompok perlawanan Hayat Tahrir Al Sham (HTS) yang sejak awal memang berniat menggulingkan Al Assad.
“HTS diuntungkan oleh serangan-serangan intensif Israel terhadap pos-pos milisi yang berafiliasi dengan Iran termasuk juga beberapa Garda Iran, Al Quds, yang berada di Suriah, itu kan banyak mendapat serangan dan menjadi target pembunuhan yang dilakukan oleh Israel sehingga melemahkan posisi dukungan Iran terhadap Bashar Al Assad,” kata Yon kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/12).
“Nah ini yang menjadikan serangan dari HTS bisa berdampak sangat besar terhadap jatuhnya Bashar Al Assad,” lanjutnya.
Belum ada bukti kuat
Kendati begitu, meski ada pengaruh dari Israel atas penggulingan Al Assad oleh HTS, hingga kini belum ada bukti khusus bahwa Israel secara sengaja mendalangi situasi ini.
Yon menyatakan HTS tak punya hubungan dengan Israel karena belum ada bukti keduanya berkomunikasi terkait penggulingan sang Presiden.
Situasi yang terjadi di Suriah, menurutnya, hanyalah efek domino dari perang yang sedang berkecamuk belakangan, seperti perang Rusia vs Ukraina serta Israel vs Palestina.
Selain Iran, Rusia adalah salah satu negara pendukung utama rezim Al Assad. Namun, perang panas Rusia dan Ukraina belakangan telah membuat dukungan Kremlin terhadap Al Assad tak lagi optimal.
Serangan-serangan Israel terhadap Iran dan sekutunya, termasuk Hizbullah Lebanon, juga telah mengakibatkan Al Assad kehilangan penopang.
Oleh karenanya, situasi ini menjadi sangat menguntungkan baik bagi HTS maupun Israel sendiri.
“Aksi Israel saya kira menguntungkan pihak oposisi bersenjata dalam hal ini HTS. Sementara juga jatuhnya Bashar Al Assad memang menjadi peluang bagi Israel sendiri yang dengan jatuhnya rezim maka Israel mengeklaim bahwa perjanjian-perjanjian yang selama ini dilakukan antara Suriah dengan Israel pada masa Bashar Al Assad dianggap tidak berlaku lagi, terutama berkaitan dengan batas wilayah sehingga Israel mulai melakukan invasi ke wilayah Suriah di perbatasan,” kata Yon.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii, juga menilai bahwa kejatuhan pemerintahan Al Assad memiliki kaitan tak langsung dengan aksi Israel di Timur Tengah.
Ia berujar serangan Israel terhadap Iran dan Hizbullah telah menggoyahkan kekuatan Al Assad karena keduanya merupakan basis utama pendukung sang Presiden di Timur Tengah.
“Sebelum ada peristiwa serangan Israel, konsentrasi kekuatan Iran dan Hizbullah mem-backup pertahanan Suriah dari ancaman oposisi,” ujar Sya’roni kepada CNNIndonesia.com.
Meski begitu, menurut peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional Tel Aviv, Danny Citrinowicz, Israel tak pernah menyangka bahwa aksi mereka di Timur Tengah akan menjatuhkan rezim Al Assad yang telah berkuasa 24 tahun.
“Jelas bahwa apa yang dilakukan Israel pasti mengarah pada itu, tapi saya ragu bahwa mereka memiliki strategi untuk melakukannya,” kata Citrinowicz kepada AFP.
Citrinowicz mengatakan Israel tak pernah memperkirakan sebelumnya bahwa kekuatan oposisi dan milisi Suriah akan memanfaatkan kekacauan di Timur Tengah untuk menggulingkan Al Assad.
“Dia [PM Israel Benjamin Netanyahu] tidak pernah tahu bahwa Jolani bermaksud untuk memulai serangan. Dan, tentu saja, tidak ada yang memperkirakan bagaimana fakta bahwa Iran dan Hizbullah begitu lemah akan merusak kemampuan Assad untuk melindungi dirinya sendiri dan rezimnya,” ujarnya.
Citrinowicz juga menekankan bahwa situasi perang Rusia vs Ukraina, yang mengakibatkan Rusia tak bisa lagi memasok Al Assad seperti sedia kala, merupakan sesuatu yang berada di luar kendali Netanyahu.
“Ini seperti efek domino. Anda menggulingkan yang pertama dan kemudian yang kedua tumbang dan seterusnya,” kata Aviv Oreg, analis di Meir Amit Center dan mantan perwira intelijen militer.
Ubah arah politik Suriah
Kejatuhan rezim Al Assad disebut-sebut akan mengubah arah politik Suriah di masa depan.
Sya’roni menilai jatuhnya Al Assad tentu akan berdampak pada lingkungan sekitarnya, termasuk mengenai masa depan hubungan Suriah dengan Iran dan Rusia.
Ia meyakini bahwa bantul politik dan kebijakan luar negeri Suriah akan berbeda. Kendati begitu, saat ditanya mengenai prospek Suriah menjalin hubungan dengan Israel, Sya’roni menilai hal itu tergantung sikap penopang kekuatan eksternal.
“Ada Turki dan Qatar yang menjadi referensi HTS dalam politik luar negeri ke depan,” ucap Sya’roni.
Yon Machmudi, di lain pihak, juga belum bisa memastikan ke mana arah kebijakan luar negeri Suriah di bawah pemerintahan baru. Sebab, saat ini, faksi-faksi oposisi Al Assad tersebut baru berfokus untuk menumbangkan sang presiden.