MK Putuskan Tidak Terima Gugatan Partai Buruh soal Ambang Batas Parlemen Nasional 16 Oktober 2025

MK Putuskan Tidak Terima Gugatan Partai Buruh soal Ambang Batas Parlemen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 Oktober 2025

MK Putuskan Tidak Terima Gugatan Partai Buruh soal Ambang Batas Parlemen
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan yang diajukan Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal, tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard, atau putusan NO.
“Mengadili: menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, dalam sidang perkara nomor 131/PUU-XXIII/2025 yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menjelaskan, permohonan terkait kerugian hak konstitusional Pemohon atas ambang batas parlemen (
parliamentary threshold
) pada dasarnya telah pernah diuji dan dimaknai secara bersyarat dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
Salah satu amar putusan tersebut menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera melakukan perubahan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029 dengan melibatkan seluruh kalangan.
“Namun, hingga permohonan a quo diputus, pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas ketentuan mengenai ambang batas parlemen,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi menambahkan, dalam permohonan ini, anggapan kerugian konstitusional yang disampaikan Partai Buruh tidak didasarkan pada norma undang-undang yang telah berlaku sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
“Oleh karena itu, permohonan a quo belum saatnya untuk diajukan ke MK,” ucap Saldi.
Dalam gugatan ini, Partai Buruh menilai, pembatasan representasi berdasarkan ambang batas semata adalah langkah yang tidak proporsional.
Representasi sebagian kelompok masyarakat hilang hanya karena faktor statistik, bukan karena tidak adanya dukungan riil dari pemilih.
Pemohon juga menyoroti inkonsistensi antara penerapan sistem pemilu proporsional dengan keberadaan ambang batas parlemen.
Sistem proporsional sejatinya bertujuan meminimalkan suara terbuang dan memastikan perbandingan proporsional antara persentase perolehan suara dan kursi.
Sebaliknya, sistem mayoritarian membuang suara yang kalah.
Karena itu, Pemohon berpendapat, ambang batas dalam sistem proporsional merupakan kontradiksi yang menimbulkan ketidakadilan dalam proses dan hasil pemilu, serta mengurangi kesetaraan warga negara di hadapan hukum.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menghapus aturan ambang batas parlemen secara nasional.
Namun, apabila menurut MK aturan ambang batas parlemen tetap diperlukan, Pemohon mengajukan petitum alternatif berupa pemberlakuan ambang batas parlemen yang berbasis dapil, dan bukan berbasis pada suara sah nasional.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.