Jakarta –
Pemerintah belum lama ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Salah satu yang diatur terkait pengendalian konsumsi gula, garam dan lemak untuk penanggulangan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat.
Menanggapi itu, Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengaku mendukung tujuan baik pemerintah untuk menciptakan masyarakat Indonesia lebih sehat. Hanya saja ia memandang aturan tersebut seolah membebankan seluruh permasalahan PTM kepada produsen pangan olahan semata.
“Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja,” kata Adhi dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2024).
Adhi menilai risiko PTM disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres, serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.
Dia membeberkan kajian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2019, yang menyebut bahwa produk pangan olahan hanya menyumbang sebagian kecil dari konsumsi gula, garam dan lemak masyarakat yakni 30%. Konsumsi masyarakat terhadap gula, garam dan lemak didominasi oleh pangan non-olahan seperti kuliner dan makanan sehari-hari yang dimasak di rumah tangga sebesar 70%.
“Sehingga menentukan batas maksimal gula, garam dan lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka PTM dikarenakan konsumsi gula, garam dan lemak masyarakat hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Adhi menilai penentuan satu batas maksimum gula, garam dan lemak untuk berbagai kategori produk makanan dan minuman akan sangat sulit diterapkan, mengingat setiap produk memiliki karakteristik tertentu yang sangat bervariasi.
Gula, garam dan lemak disebut memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan di mana produsen pangan olahan menggunakannya untuk berbagai tujuan dan alasan termasuk rasa, tekstur dan pengawetan. Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak dinilai akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan olahan tersebut.
“Pelarangan penggunaan gula, garam dan lemak dalam produksi pangan sangat tidak dimungkinkan karena ketiga bahan tersebut memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan. Hampir tidak ada produk pangan yang tidak memiliki kandungan gula, garam dan lemak kecuali air mineral,” bebernya.
Adhi juga menyoroti rencana pengenaan cukai dan pelarangan iklan, promosi, serta sponsor kegiatan pada waktu, lokasi dan kelompok sasaran tertentu untuk produk- produk pangan olahan yang melebihi batas gula, garam dan lemak tersebut. Ia mengingatkan dampak ngerinya.
“Di tengah perlambatan pertumbuhan industri makanan minuman saat ini, industri makanan minuman akan makin sulit berkembang, kehilangan daya saing, serta berisiko untuk tutup beroperasi dan mengurangi lapangan pekerjaan,” imbuhnya.
Padahal industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor strategis penopang ekonomi nasional dan penyumbang pendapatan domestik bruto (PDB) industri nonmigas sebesar 39,10% dan 6,55% terhadap PDB nasional pada tahun 2023.
GAPMMI meminta agar pemerintah melakukan review secara menyeluruh terhadap PP Nomor 28 tahun 2024 dan peraturan pelaksanaannya. Dengan mengedepankan kajian risiko dan melibatkan stakeholder terkait, utamanya industri makanan dan minuman pangan olahan selaku pelaku utama serta pembina industri agar tujuan nasional untuk masyarakat sehat dan industri nasional yang berdaya saing dapat berjalan beriringan.
“Mengutamakan edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya konsumsi makanan dan minuman yang seimbang sesuai dengan kebutuhan setiap individu, istirahat dan aktivitas fisik yang cukup. Dengan demikian konsumen dapat memilih produk pangan yang dikonsumsi berdasarkan kandungan gula, garam dan lemak sesuai kebutuhannya,” saran Adhi.
(aid/rrd)