Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Metodologi Penilaian Korupsi oleh OCCRP Tidak Ilmiah dan Bias

Metodologi Penilaian Korupsi oleh OCCRP Tidak Ilmiah dan Bias

Whisnu Mardiansyah • 01 Januari 2025 17:03

Jakarta: Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bung Karno, Faisyal Chaniago, menilai laporan Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang mengategorikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia tidak valid. Metodologi dalam laporan tersebut patut dipertanyakan.

Menurutnya, penilaian yang dilakukan oleh OCCRP perlu diselidiki lebih lanjut. Dia mengingatkan, metodologi yang digunakan oleh lembaga tersebut dirasa tidak valid dan tidak berbasis pada data hukum yang sahih.

Faisyal menyoroti metode yang digunakan OCCRP dalam menilai seorang pemimpin negara, yang menurutnya sangat meragukan.

“Berdasarkan informasi yang saya temukan, metode yang digunakan oleh OCCRP tidak berbasis pada data hukum dan fakta. Mereka menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas-jelas tidak ilmiah,” ungkap Faisyal.

Menurutnya, penggunaan platform seperti Google Form untuk polling merupakan metode yang tidak tepat untuk menilai sebuah fenomena besar seperti korupsi, yang memerlukan analisis mendalam dan validitas data yang kuat.

Faisyal juga mengkritik konsep yang digunakan oleh OCCRP dalam memberikan penilaian terhadap pemimpin-pemimpin dunia. Ia berpendapat bahwa lembaga tersebut membuat indikator-indikator sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan “korupsi” tanpa adanya data dan fakta yang jelas.

“OCCRP membuat indikator sendiri tentang makna korupsi. Kalau semua lembaga bebas membuat variabel-variabel untuk menyusun konsep, maka akan melahirkan konsep-konsep yang bias dan salah,” tegasnya.

Dia menambahkan, apabila konsep ini terus dipakai tanpa keilmiahan yang jelas, maka bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan politis.

“Konsep tersebut bisa dipakai oleh orang atau lembaga tertentu dengan niat yang tidak baik, misalnya untuk menyerang tokoh atau pemimpin yang tidak mereka sukai,” lanjut Faisyal.

Faisyal juga menilai bahwa salah satu variabel yang digunakan oleh OCCRP, yakni “menjarah sumber daya alam”, sangat bias. Menurutnya, jika variabel ini digunakan untuk menilai korupsi, maka banyak pemimpin negara industri yang juga seharusnya masuk dalam kategori pemimpin terkorup.

“Jika variabel ini yang digunakan, maka banyak pemimpin negara-negara industri yang sudah merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam, yang seharusnya juga bisa dikategorikan sebagai pemimpin korup. Kenapa OCCRP tidak memasukkan presiden negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah nyata merusak lingkungan?” jelas Faisyal.

Ia menekankan penggunaan indikator semacam ini dapat merugikan banyak pihak, terutama jika dilihat dari perspektif global yang lebih luas.

Selain itu, Faisyal juga mengkritik bahwa banyak pihak yang mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar yang terjadi di negara-negara lain, khususnya yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

“Presiden yang paling banyak melanggar hak asasi manusia itu bukan Jokowi. Kasus perang di kawasan Timur Tengah, seperti perang Irak, misalnya. Semua dunia tahu siapa yang jadi dalangnya,” katanya.

Menurutnya, dalam konteks ini, Amerika Serikat telah menjadi aktor utama dalam hilangnya hak-hak rakyat Irak selama perang, namun tidak ada yang menyebut pemimpin negara tersebut sebagai pemimpin terkorup.

Faisyal juga menilai bahwa laporan OCCRP ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi tertentu yang tidak menyukai Jokowi untuk menyerang citra Presiden.

“Berita OCCRP ini digunakan oleh politisi-politisi yang tak suka dengan Jokowi sebagai senjata untuk menyudutkan Jokowi,” kata Faisyal.

Namun, dia juga menegaskan bahwa Jokowi tetap pantas mendapat apresiasi atas berbagai pencapaian yang telah diraihnya selama memimpin Indonesia.

“Harus kita akui, Jokowi banyak jasanya untuk bangsa ini. Di era kepemimpinannyalah pembangunan infrastruktur berjalan maksimal dan efeknya sudah dirasakan oleh rakyat. Mobilitas masyarakat sekarang menjadi lebih baik,” ujarnya.

Faisyal menilai bahwa laporan OCCRP terhadap Jokowi sebagai pemimpin terkorup perlu dikaji lebih dalam, baik dari sisi metodologi yang digunakan maupun variabel-variabel yang diangkat.

Ia mengimbau agar semua pihak tidak langsung mempercayai penilaian tersebut tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan fakta yang lebih objektif.

Menurutnya, situasi ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih kritis terhadap sumber-sumber informasi yang ada, terutama dalam ranah politik global yang sering kali dipenuhi dengan agenda tersembunyi.

Jakarta: Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bung Karno, Faisyal Chaniago, menilai laporan Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang mengategorikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia tidak valid. Metodologi dalam laporan tersebut patut dipertanyakan.
 
Menurutnya, penilaian yang dilakukan oleh OCCRP perlu diselidiki lebih lanjut. Dia mengingatkan, metodologi yang digunakan oleh lembaga tersebut dirasa tidak valid dan tidak berbasis pada data hukum yang sahih.
 
Faisyal menyoroti metode yang digunakan OCCRP dalam menilai seorang pemimpin negara, yang menurutnya sangat meragukan.
“Berdasarkan informasi yang saya temukan, metode yang digunakan oleh OCCRP tidak berbasis pada data hukum dan fakta. Mereka menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas-jelas tidak ilmiah,” ungkap Faisyal.
 
Menurutnya, penggunaan platform seperti Google Form untuk polling merupakan metode yang tidak tepat untuk menilai sebuah fenomena besar seperti korupsi, yang memerlukan analisis mendalam dan validitas data yang kuat.
 
Faisyal juga mengkritik konsep yang digunakan oleh OCCRP dalam memberikan penilaian terhadap pemimpin-pemimpin dunia. Ia berpendapat bahwa lembaga tersebut membuat indikator-indikator sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan “korupsi” tanpa adanya data dan fakta yang jelas.
 
“OCCRP membuat indikator sendiri tentang makna korupsi. Kalau semua lembaga bebas membuat variabel-variabel untuk menyusun konsep, maka akan melahirkan konsep-konsep yang bias dan salah,” tegasnya.
 
Dia menambahkan, apabila konsep ini terus dipakai tanpa keilmiahan yang jelas, maka bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan politis.
 
“Konsep tersebut bisa dipakai oleh orang atau lembaga tertentu dengan niat yang tidak baik, misalnya untuk menyerang tokoh atau pemimpin yang tidak mereka sukai,” lanjut Faisyal.
 
Faisyal juga menilai bahwa salah satu variabel yang digunakan oleh OCCRP, yakni “menjarah sumber daya alam”, sangat bias. Menurutnya, jika variabel ini digunakan untuk menilai korupsi, maka banyak pemimpin negara industri yang juga seharusnya masuk dalam kategori pemimpin terkorup.
 
“Jika variabel ini yang digunakan, maka banyak pemimpin negara-negara industri yang sudah merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam, yang seharusnya juga bisa dikategorikan sebagai pemimpin korup. Kenapa OCCRP tidak memasukkan presiden negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah nyata merusak lingkungan?” jelas Faisyal.
 
Ia menekankan penggunaan indikator semacam ini dapat merugikan banyak pihak, terutama jika dilihat dari perspektif global yang lebih luas.
 
Selain itu, Faisyal juga mengkritik bahwa banyak pihak yang mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar yang terjadi di negara-negara lain, khususnya yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
 
“Presiden yang paling banyak melanggar hak asasi manusia itu bukan Jokowi. Kasus perang di kawasan Timur Tengah, seperti perang Irak, misalnya. Semua dunia tahu siapa yang jadi dalangnya,” katanya.
 
Menurutnya, dalam konteks ini, Amerika Serikat telah menjadi aktor utama dalam hilangnya hak-hak rakyat Irak selama perang, namun tidak ada yang menyebut pemimpin negara tersebut sebagai pemimpin terkorup.
 
Faisyal juga menilai bahwa laporan OCCRP ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi tertentu yang tidak menyukai Jokowi untuk menyerang citra Presiden.
 
“Berita OCCRP ini digunakan oleh politisi-politisi yang tak suka dengan Jokowi sebagai senjata untuk menyudutkan Jokowi,” kata Faisyal.
 
Namun, dia juga menegaskan bahwa Jokowi tetap pantas mendapat apresiasi atas berbagai pencapaian yang telah diraihnya selama memimpin Indonesia.
 
“Harus kita akui, Jokowi banyak jasanya untuk bangsa ini. Di era kepemimpinannyalah pembangunan infrastruktur berjalan maksimal dan efeknya sudah dirasakan oleh rakyat. Mobilitas masyarakat sekarang menjadi lebih baik,” ujarnya.
 
Faisyal menilai bahwa laporan OCCRP terhadap Jokowi sebagai pemimpin terkorup perlu dikaji lebih dalam, baik dari sisi metodologi yang digunakan maupun variabel-variabel yang diangkat.
 
Ia mengimbau agar semua pihak tidak langsung mempercayai penilaian tersebut tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan fakta yang lebih objektif.
 
Menurutnya, situasi ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih kritis terhadap sumber-sumber informasi yang ada, terutama dalam ranah politik global yang sering kali dipenuhi dengan agenda tersembunyi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(WHS)