Jakarta –
Perhitungan kerugian negara sebesar Rp 271 triliun yang diungkap Guru Besar dan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo terkait dugaan korupsi sektor timah banyak dipertanyakan.
Keraguan muncul setelah Bambang tidak dapat menunjukkan bukti perhitungan yang rinci dan tidak memisahkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki oleh PT Timah dari IUP lainnya saat bersaksi pada persidangan lanjutan yang digelar pada 15 November lalu.
Salah satu sorotan ditujukan pada penggunaan peta citra satelit yang dipakai sebagai dasar penelitian dalam menghitung kerugian tersebut.
Mengingat cakupan area penelitian yang sangat luas, kualitas citra satelit yang digunakan akan sangat menentukan akurasi perhitungan nilai kerusakan lingkungan dalam kasus ini.
Ahli Citra Satelit sekaligus Praktisi sektor Pertambangan, Albert Septario Tempessy mengatakan, meskipun peta citra satelit gratis dapat memberikan gambaran kasar tentang luas area yang terdampak oleh aktivitas pertambangan, kualitas gambar yang lebih tinggi sangat dibutuhkan untuk melakukan perhitungan yang lebih akurat.
“Kami menggunakan citra satelit resolusi menengah dari layanan Copernicus untuk menganalisis luas area terbuka akibat aktivitas pertambangan timah. Namun, kami menyarankan untuk menggunakan citra satelit berbayar yang menawarkan resolusi lebih tinggi agar hasil interpretasinya lebih tajam dan akurat,” kata Albert di Jakarta, Minggu (24/11/2024).
Penggunaan peta dengan resolusi tinggi sangat penting untuk memastikan akurasi perhitungan luas area yang terdampak, terutama mengingat luasnya wilayah pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Albert juga menyoroti metode purposive sampling yang digunakan oleh Bambang Hero dalam perhitungan kerugian negara.
Ia menjelaskan bahwa purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memilih sampel berdasarkan kriteria tertentu yang relevan dengan topik penelitian.
Meskipun metode ini efisien dalam hal waktu, Albert menekankan bahwa ada kelemahan dalam pendekatan ini.
“Sampel yang diambil dengan metode ini berpotensi tidak mewakili populasi secara keseluruhan,” katanya.
Oleh karena itu, dalam konteks kawasan Bangka Belitung yang memiliki berbagai formasi geologi yang berbeda, metode ini perlu dikaji kembali untuk memastikan bahwa sampel yang digunakan benar-benar representatif.
Terpisah, Praktisi Pertambangan, Syahrul menjelaskan, dalam menghitung kerugian negara akibat pertambangan timah, bukanlah hal yang sederhana.
Menurutnya, menghitung nilai kerusakan alam, apalagi yang berkaitan dengan aktivitas tambang, tidak bisa dihitung hanya berdasarkan luas lahan terbuka.
“Perhitungan kewajiban reklamasi misalnya, harus merujuk pada peraturan yang jelas, seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2014, yang mengatur pelaksanaan reklamasi dan pascatambang,” jelas dia.
Oleh karena itu, selain luas lahan, banyak faktor lain yang harus diperhatikan dalam menghitung kewajiban reklamasi, yang memerlukan pemahaman mendalam dari berbagai disiplin ilmu.
Proses tersebut memerlukan kolaborasi antara berbagai ahli dari disiplin ilmu yang berbeda, serta pemilihan metode yang tepat agar hasilnya akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Syahrul menegaskan pentingnya pendekatan multidisiplin dan penggunaan alat yang berkualitas untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat dipercaya, sehingga upaya perbaikan dan pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
“Kami tidak menghitung kerugian negara tetapi kami menyarankan untuk melakukan perhitungan kerugian negara perlu dilihat dari berbagai aspek dan kerjasama lintas kementerian dengan disiplin ilmu berbeda seperti geologi, geodesi, pertambangan, geodesi, lingkungan hidup, kehutanan, biologi dan keuangan,” imbuhnya.
(rrd/rir)