Menyoal Susunan Komisi Reformasi Polri
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
BARU
-baru ini, Presiden Prabowo Subianto melantik sepuluh tokoh dalam Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang dikenal sebagai Komisi Reformasi Polri.
Pembentukan lembaga non-struktural ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025, dengan mandat mempercepat reformasi kelembagaan, profesionalisme, dan tata kelola Polri.
Secara formal, langkah ini seolah menjadi penegasan komitmen pemerintah untuk menghadirkan kepastian hukum dan memperkuat prinsip
rule of law
dalam tubuh aparat penegak hukum.
Kendati demikian, wajah reformasi itu tampak berlapis. Di balik jargon percepatan dan profesionalisme, komisi ini justru diisi oleh tokoh-tokoh yang selama ini menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang hendak direformasi.
Kehadiran para mantan Kapolri, pejabat aktif, dan figur politik di dalamnya menimbulkan kesan kuat bahwa proses reformasi justru dikembalikan ke tangan elite lama.
Alih-alih membuka ruang pembaruan yang segar, langkah ini memperlihatkan bagaimana reformasi sering kali dimaknai sebagai upaya penataan dari atas, bukan pembenahan dari akar.
Di sinilah paradoks reformasi itu lahir. Komisi yang seharusnya menjadi instrumen koreksi terhadap penyimpangan struktural justru berpotensi terperangkap dalam jejaring kekuasaan yang ingin dikritisinya.
Reformasi Polri, dalam hal ini, tampak lebih sebagai proyek legitimasi politik ketimbang agenda perubahan yang berorientasi pada keadilan substantif.
Reformasi Polri sejatinya bukan sekadar urusan administratif atau perombakan struktural, melainkan soal etika kekuasaan dan kepercayaan publik.
Selama dua dekade pasca-Reformasi 1998, kepolisian telah menjadi simbol dilema antara negara hukum dan negara kekuasaan.
Di satu sisi, Polri diharapkan menjadi pelindung masyarakat dan penegak keadilan; di sisi lain, Polri kerap menjadi instrumen politik dan kekuasaan yang rawan penyimpangan.
Maka, gagasan pembentukan
Komisi Reformasi Polri
seharusnya menjadi momentum moral untuk menata ulang arah institusi, bukan sekadar menambal luka lama dengan wajah baru.
Namun, jika menengok komposisinya, idealisme reformasi itu justru tampak kabur. Komisi ini nyaris seluruhnya diisi oleh laki-laki, para elite, dan sebagian besar berlatar belakang kepolisian itu sendiri.
Sebuah formasi yang lebih mencerminkan reproduksi kekuasaan ketimbang perombakan nilai.
Dari sini, bisa dilihat pesan simbolik yang tak tersurat: suara perempuan, suara kelas bawah, dan suara warga sipil ternyata tidak dianggap penting dalam wacana reformasi lembaga sebesar Polri.
Padahal, reformasi sejati menuntut keterlibatan mereka yang selama ini menjadi korban dari wajah koersif kekuasaan.
Tanpa representasi masyarakat sipil, akademisi independen, dan kelompok rentan, reformasi kehilangan sudut pandang moral yang paling mendasar: empati terhadap mereka yang lemah di hadapan hukum.
Persoalan Polri sejatinya bukan hanya soal teknis manajerial, tetapi juga soal paradigma—tentang bagaimana aparat penegak hukum memaknai kekuasaan yang mereka emban.
Reformasi yang dilakukan oleh orang-orang dari lingkaran kekuasaan yang sama berisiko terjebak dalam lingkaran status quo, yang mana jargon “reformasi” hanya menjadi selubung bagi kontinuitas kekuasaan lama.
Dalam hal ini, kepercayaan publik menjadi taruhan terbesar. Komisi Reformasi Polri tidak akan diukur dari seberapa banyak rapat yang digelar atau laporan yang disusun, melainkan dari keberanian mereka membuka ruang bagi suara yang selama ini dibungkam.
Sebab, tanpa keberanian untuk melibatkan yang-papa dan yang-liyan, yang tersisa hanyalah reformasi semu—reformasi yang tampak lahir dari dalam, tetapi mati di tangan para pemegang kuasa itu sendiri.
Reformasi institusi penegak hukum, termasuk kepolisian, tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu lahir dalam konteks politik hukum yang mencerminkan hubungan kekuasaan antara negara dan warga negara.
Satjipto Rahardjo (2009) menegaskan bahwa hukum sejatinya adalah “alat untuk memanusiakan manusia,” bukan sekadar sistem norma yang kaku.
Oleh karena itu, setiap agenda reformasi hukum semestinya berorientasi pada
justice-oriented reform
, yakni pembaruan yang bertumpu pada nilai keadilan substantif, bukan sekadar efisiensi kelembagaan.
Dalam kerangka politik hukum, Mahfud MD (2020) memandang bahwa hukum di Indonesia kerap bergerak mengikuti arah politik yang berkuasa (
law as a tool of politics
). Pandangan ini relevan untuk membaca pembentukan Komisi Reformasi Polri saat ini.
Ketika lembaga reformasi diisi oleh figur yang dekat dengan struktur kekuasaan, maka arah reformasi sangat mungkin berpijak pada kepentingan politik negara, bukan aspirasi masyarakat.
Reformasi yang lahir dari atas cenderung menjadi alat kontrol internal, bukan sarana koreksi eksternal terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, Lawrence Friedman (1975) dalam teori
legal system
-nya menekankan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen: struktur, substansi, dan kultur hukum. Reformasi yang hanya menyentuh aspek struktural—tanpa mengubah substansi hukum maupun kultur aparat—tidak akan menghasilkan transformasi berarti.
Dalam hal ini, perbaikan manajemen atau rotasi jabatan tidak akan cukup selama nilai-nilai dasar kekuasaan, loyalitas, dan impunitas masih mengakar dalam kultur institusionalnya.
Masalah mendasar dari
reformasi kepolisian
bukan terletak pada kurangnya niat politik, tetapi pada keberanian untuk memutus rantai kekuasaan yang menjerat institusi penegak hukum itu sendiri.
Polri selama ini berdiri di persimpangan antara alat negara dan pelindung warga negara, tetapi kecenderungan historisnya menunjukkan bahwa kekuasaan selalu lebih dominan daripada keadilan.
Komisi Reformasi Polri yang dibentuk dengan wajah-wajah lama memperlihatkan bagaimana kekuasaan berupaya mengendalikan ruang koreksi terhadap dirinya sendiri.
Dalam kerangka politik hukum, situasi ini mempertegas apa yang disebut Mahfud MD sebagai “hukum yang tergantung pada siapa yang berkuasa.”
Selama reformasi diletakkan di bawah kendali aktor-aktor yang memiliki kepentingan struktural, mustahil tercipta perubahan substantif.
Pola demikian melahirkan reformasi dalam bayang-bayang kekuasaan—proses yang tampak progresif, tetapi secara esensial menghindari pembongkaran akar masalah.
Tidak ada reformasi sejati tanpa keberanian membongkar privilese dan budaya impunitas yang telah lama berakar.
Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar teks yang menundukkan rakyat, tetapi alat untuk menundukkan kekuasaan agar berpihak pada kemanusiaan.
Oleh karena itu, tugas terbesar Komisi Reformasi Polri bukan sekadar memperindah laporan atau memperbaiki prosedur, melainkan mengembalikan hukum ke posisinya sebagai penyeimbang kekuasaan.
Tanpa kesadaran moral dan keberanian politik untuk menentang arus kepentingan, komisi ini akan menjadi simbol paradoks: dibentuk atas nama reformasi, tetapi bekerja dalam kerangka kekuasaan yang menolak perubahan.
Inilah bentuk paling halus dari konservatisme birokratik—reformasi yang dijaga agar tidak benar-benar terjadi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menyoal Susunan Komisi Reformasi Polri
/data/photo/2025/11/09/690feb973f447.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)