Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025

Menguji Keadilan Tunjangan DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

Menguji Keadilan Tunjangan DPR
Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta

Bangsa Mati di Tangan Politikus
” -M. Subhan S.D.
HIDUP
dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
 
Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
fiat justitia ruat caelum
, yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
Asas Keadilan (
Principle of Justice
) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
Principle of Utility
). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
Principle of Appropriateness and Reasonableness
).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
 
Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.